Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Oktober 2025

PKPU Nomor 19 Tahun 2023: Ketika Regulasi Pemilu Berubah Arah Politik

 


⚖️ PKPU Nomor 19 Tahun 2023: Ketika Regulasi Pemilu Berubah Arah Politik

Oleh: Dr. Bonatua Silalahi (Doktor Kebijakan Publik)
ontologibangsaindonesia.blogspot.com


🏛️ Pengantar

Perubahan peraturan pemilu sering kali dianggap sekadar penyempurnaan teknis. Namun, tidak demikian halnya dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PKPU/19/2023).
Jika ditelusuri dengan cermat, peraturan ini bukan hanya revisi administratif dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2018 (PKPU/22/2018), melainkan pergeseran arah hukum dan politik dalam sistem pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Tulisan ini menelusuri kronologi, perubahan substansi, dan implikasi hukumnya—serta mengapa revisi ini menjadi sorotan publik, terutama pada pasal yang membuka pengecualian terhadap bukti kelulusan pendidikan menengah atas.


🗓️ Identitas Regulasi

AspekPKPU/22/2018PKPU/19/2023
Judul LengkapPeraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil PresidenPeraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Tanggal Penetapan31 Agustus 201823 Oktober 2023
Tanggal Pengundangan6 September 2018 (Berita Negara RI No. 1101/2018)25 Oktober 2023 (Berita Negara RI No. 1036/2023)
Ketua KPU yang MengesahkanArief BudimanHasyim Asy’ari
Konteks PolitikMenjelang Pemilu 2019Menjelang Pemilu 2024

Kedua PKPU ini sama-sama mengatur mekanisme pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, konteks politik dan tekanan hukum di baliknya sangat berbeda. Tahun 2018, KPU masih berperan sebagai pelaksana teknis pemilu yang relatif steril dari kontroversi hukum. Tahun 2023, KPU berada di bawah sorotan publik karena dua isu besar: putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia calon, dan dugaan inkonsistensi verifikasi ijazah calon.


⚙️ Perbandingan Substansi Pokok

AspekPKPU/22/2018PKPU/19/2023Analisis
Dasar HukumUndang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU/7/2017)Sama, ditambah Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023Menyesuaikan putusan MK terkait batas usia 40 tahun bagi calon presiden/wakil presiden.
Syarat AdministratifPasal 13 huruf m: menyerahkan fotokopi ijazah terakhir yang dilegalisasi oleh instansi penerbit.Pasal 18 ayat (1) huruf m tetap sama, tetapi ditambah ayat (3) yang menyatakan pengecualian bagi calon yang tidak memiliki bukti kelulusan SMA dan telah memiliki ijazah perguruan tinggi.Perubahan paling kontroversial karena mengubah struktur logika pendidikan formal yang telah diatur dalam UU/7/2017.
Usia CalonMinimal 40 tahun tanpa pengecualian.Minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat kepala daerah.Penyesuaian terhadap Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
Verifikasi IjazahWajib menyerahkan salinan terlegalisasi dan dapat diverifikasi.Tidak mewajibkan klarifikasi ke perguruan tinggi penerbit.Menurunkan standar keabsahan administratif dokumen publik.
Metode PendaftaranManual di kantor KPU RI.Elektronik melalui SILON dan fisik (hybrid).Adaptasi teknologi, tetapi meningkatkan risiko manipulasi digital.

📜 Kronologi Pembentukan PKPU/19/2023

Proses penyusunan PKPU/19/2023 tidak sepenuhnya transparan di mata publik. Berdasarkan penelusuran terhadap arsip JDIH KPU dan pemberitaan media nasional, diperoleh garis waktu berikut:

  1. Akhir September 2023 — Rancangan PKPU mulai dibahas internal KPU, menindaklanjuti hasil Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka ruang bagi calon di bawah 40 tahun.

  2. Awal Oktober 2023 — Rancangan PKPU dikonsultasikan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk harmonisasi. Tidak ada catatan publik mengenai uji publik sebagaimana lazim dilakukan sebelumnya.

  3. 9 Oktober 2023 — KPU menggelar rapat pleno internal untuk menetapkan naskah akhir rancangan PKPU.

  4. 23 Oktober 2023 — Ketua KPU Hasyim Asy’ari menandatangani naskah final PKPU/19/2023.

  5. 25 Oktober 2023 — PKPU/19/2023 diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1036 Tahun 2023.

Tidak ditemukan publikasi resmi mengenai berita acara pleno KPU, risalah konsultasi publik, atau pendapat masyarakat dalam penyusunan peraturan ini. Padahal, menurut prinsip good governance dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), setiap perubahan kebijakan publik wajib melewati mekanisme partisipasi masyarakat dan uji konsekuensi kebijakan.


⚖️ Analisis Kebijakan Publik dan Hukum

  1. Norma Baru yang Melampaui Undang-Undang (Ultra Vires)
    Pasal 18 ayat (3) PKPU/19/2023 menambahkan norma baru yang tidak terdapat dalam UU/7/2017.
    Artinya, KPU tidak hanya melaksanakan undang-undang, tetapi justru menciptakan norma hukum baru yang bersifat substantif. Ini melanggar asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan teknis tidak boleh menambah atau mengurangi isi undang-undang.

  2. Pelemahan Prinsip Verifikasi Administratif
    Ketika PKPU/22/2018 mewajibkan penyerahan ijazah yang dilegalisasi dan dapat diverifikasi, PKPU/19/2023 tidak lagi memerintahkan KPU untuk melakukan klarifikasi ke universitas penerbit.
    Hal ini melemahkan fungsi pengawasan administratif dan membuka ruang fraud dokumen publik.

  3. Keterbukaan Informasi yang Terkunci
    Dokumen ijazah yang diserahkan ke KPU merupakan dokumen publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU/14/2008).
    Namun, tidak ada mekanisme transparansi publik untuk memastikan keaslian dokumen tersebut. KPU justru menambahkan klausul pernyataan bermaterai yang membatasi hak publik untuk memeriksa.

  4. Aspek Politik Hukum
    Secara substansial, PKPU/19/2023 memperlihatkan kecenderungan politisasi lembaga penyelenggara pemilu.
    Ketentuan “pengecualian ijazah SMA” dan “penyesuaian usia” dibuat tepat menjelang tahapan pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, yang secara politis menguntungkan pihak tertentu.
    Ini menggeser posisi KPU dari pelaksana teknis menjadi aktor politik dalam kebijakan hukum pemilu.


📚 Implikasi terhadap Integritas Pemilu

Revisi PKPU/19/2023 menimbulkan sedikitnya tiga konsekuensi serius:

  1. Krisis Kepercayaan Publik terhadap KPU.
    Ketika lembaga penyelenggara pemilu mengubah norma substantif, publik mulai meragukan independensinya.

  2. Potensi Sengketa Hukum di Masa Depan.
    Pasal 18 ayat (3) berpotensi digugat ke Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

  3. Menurunnya Standar Etika Birokrasi Pemilu.
    Tanpa kewajiban verifikasi ijazah ke lembaga penerbit, standar administrasi calon pejabat publik menjadi lebih rendah dari standar ASN biasa.


🧩 Penutup

Dari sisi kebijakan publik, PKPU/19/2023 adalah pergeseran paradigma, bukan sekadar revisi.
Ia menunjukkan bahwa di Indonesia, peraturan teknis pun dapat diarahkan oleh kepentingan politik.
Ketika hukum dijalankan tanpa uji publik, tanpa berita acara yang terbuka, dan tanpa akuntabilitas administratif, maka yang sesungguhnya berubah bukan hanya pasalnya—tetapi juga fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga negara.

“Hukum adalah kebijakan publik yang telah dilembagakan.”
Dan ketika kebijakan publik disusupi oleh kepentingan politik,
maka hukum kehilangan rohnya.


📖 Referensi

  1. PKPU/22/2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

  2. PKPU/19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

  3. UU/7/2017 tentang Pemilihan Umum.

  4. Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.

  5. UU/14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

  6. UU/25/2009 tentang Pelayanan Publik.

  7. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU/37/2008).


🕊️ Salam Keterbukaan
Dr. Bonatua Silalahi
(Doktor Kebijakan Publik)

Senin, 13 Oktober 2025

EKSKLUSIF: KPU Arsipkan 17 Kali, Tapi Dokumen Ijazah Jokowi Tak Pernah Ada

BREAKING NEWS - KPU DKI Jakarta Serahkan Salinan Ijazah Jokowi kepada Bonatua Silalahi

Sempat Ditolak KPU Jakarta, Bonatua Silalahi Resmi Kantongi Ijazah Asli Jokowi | iNews Terkini

[Full] Bukti Kunci Kasus Ijazah Jokowi? I Dipo Investigasi

MetroTV: Roy Suryo, Refly Harun, dan Bonatua Silalahi Ambil Salinan Ijazah Jokowi di KPU Jakarta

Perkara Salinan Ijazah Jokowi Sempat Dihalangi KPU, Bonatua Ceritakan Kronologinya

Salinan Ijazah Jokowi Diperlihatkan, Tak Ada Perbedaan dengan Asli |iNews Sore (13/10)

Sabtu, 11 Oktober 2025

Kebijakan Publik Lebih Tinggi dari Hukum: Saat Legalitas Menutupi Kebenaran


“Jokowi berkata: ijazah akan ditunjukkan hanya jika hakim meminta.
Tetapi rakyat berkata: gaji, fasilitas, dan kekuasaan yang Anda nikmati berasal dari pajak kami — bukan dari hakim.
Kebijakan publik tidak menunggu hakim, karena keadilan tidak bisa ditunda.”
#KebijakanPublikLebihTinggiDariHukum #RakyatSebagaiHukum
— Dr. Bonatua Silalahi

🟥 Kebijakan Publik Lebih Tinggi dari Hukum: Saat Legalitas Menutupi Kebenaran

Oleh: Bonatua Silalahi

(Doktor Kebijakan Publik / Peneliti Independen)


Hukum sering dianggap sebagai puncak tertinggi dari sistem kekuasaan. Tetapi dalam kenyataannya, hukum sering kali tidak lagi melindungi kebenaran, melainkan menjadi perisai bagi kekuasaan.

H. R. Rodgers Jr.  “Law as an Instrument of Public Policy”
Rodgers menulis bahwa hukum dapat dipandang sebagai alat kebijakan publik, sebagai instrumen negara untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu.

Saya mengatakan:

“Law is one of the forms of public policy that has been legitimized through formal authority.”

Artinya, hukum hanyalah salah satu bentuk kebijakan publik yang diformalisasi secara politik. Tidak semua kebijakan harus menjadi hukum, tetapi semua hukum pada dasarnya lahir dari keputusan politik.

Maka, hukum bisa adil jika politiknya jujur, dan bisa jahat jika politiknya busuk.
Itulah sebabnya, kebijakan publik sebenarnya lebih tinggi dari hukum — karena hukum hanya bermakna jika ia mengabdi pada kepentingan publik dan keadilan sosial.


Jokowi dan Paradoks Legalitas

Pada Mei 2025, Presiden Joko Widodo membuat pernyataan yang menjadi sorotan publik. Ia berkata:

“Saya sampaikan, kalau ijazah asli diminta hakim, diminta pengadilan untuk ditunjukkan, saya siap datang dan menunjukkan ijazah asli yang ada. Tapi hakim yang meminta, pengadilan yang meminta.”
— (DetikNews, 20 Mei 2025)

Pernyataan ini terdengar sah secara hukum, tapi bertentangan dengan semangat kebijakan publik keterbukaan.

Ijazah seorang pejabat bukanlah dokumen pribadi. Ia adalah dokumen publik — karena menjadi dasar seseorang menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas negara yang berasal dari uang rakyat.

Ketika seorang pejabat menolak membuka dokumen publik dengan alasan “menunggu hakim”, maka hukum sedang digunakan untuk menutupi kebenaran. Padahal, menurut UU/14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, prinsip dasarnya adalah keterbukaan sejak awal (transparency by default), bukan keterbukaan setelah diperintah.


Dilema Keterbukaan

Inilah ironi yang menyakitkan:
Ketika rakyat meminta transparansi dari pejabat publik, yang terjadi justru sebaliknya — hukum menjadi benteng untuk menolak keterbukaan.

Ijazah Presiden disebut rahasia dan tak boleh diperiksa tanpa perintah hakim. Namun di sisi lain, rekening masyarakat biasa bisa diintip kapan saja oleh lembaga negara tanpa izin pengadilan.

Pemerintah bisa melacak transaksi keuangan rakyat kecil dengan dalih pajak dan bantuan sosial. Bahkan data penerima bansos dibuka secara publik — siapa pun bisa memeriksanya di situs resmi pemerintah.

Sementara itu, aset dan harta kekayaan ASN wajib diumumkan ke publik melalui KPK. Nama, nilai, dan aset pribadinya tercantum dalam sistem terbuka.

Percakapan publik di media sosial bisa direkam, dipantau, dan dipelintir tanpa perintah hakim. Polisi siber, intelijen, dan lembaga negara lainnya memiliki akses terhadap komunikasi digital rakyat — atas nama keamanan nasional.

Belum lagi data kesehatan di BPJSdata pendidikan di Dapodikdata kependudukan di Dukcapil, dan jejak digital masyarakat di aplikasi pemerintah — semuanya bisa diakses, dibagikan, bahkan dijual untuk kepentingan politik dan bisnis.

Ironisnya, di tengah keterbukaan ekstrem terhadap rakyat, dokumen yang seharusnya paling terbuka — seperti ijazah pejabat negara — justru dianggap paling tertutup.

Inilah bentuk nyata dilema keterbukaan di negeri ini:

Ketika yang berkuasa dilindungi oleh hukum, dan yang dikuasai justru dibuka atas nama hukum.


Rakyat dan Kebijakan Publik yang Hidup

Di tengah ketimpangan itu, muncul fenomena Neval — Negara Validasi Publik.
Gerakan ini lahir dari kesadaran masyarakat bahwa jika negara menutup informasi, maka rakyat harus membukanya.

Ketika KPU, PPID, atau Komisi Informasi menolak memberikan salinan dokumen publik, masyarakat mengambil alih. Mereka menelusuri arsip, memverifikasi tanda tangan, dan menyebarkan kebenaran yang ditutup oleh kekuasaan.

Eugen Ehrlich menyebut hal ini sebagai living law — hukum yang hidup di tengah masyarakat, bukan di dalam lembaran undang-undang.

Gerakan Neval membuktikan: ketika hukum digunakan untuk melindungi pejabat dari transparansi, rakyat menggunakan kebijakan publik untuk mengembalikan kebenaran.
Di sini, kebijakan publik rakyat berdiri di atas hukum formal.


Reformasi 1998: Rakyat Mengoreksi Negara

Kita sudah pernah melihat hal serupa.
Pada tahun 1998, jutaan rakyat Indonesia turun ke jalan. Secara hukum, tindakan mereka melanggar aturan formal: unjuk rasa tanpa izin, pendudukan gedung, tekanan terhadap Presiden. Tapi secara moral, tindakan itu benar.

Seperti kata Gustav Radbruch,

“When law becomes deeply unjust, justice must prevail over legal certainty.”

Reformasi bukan pemberontakan, tapi pembebasan hukum dari penindasan moral.

“Hukumlah yang mengangkat Soeharto menjadi Presiden, namun Kebijakan Publik yang menjatuhkannya.” — Dr. Bonatua Silalahi

Rakyat tidak menolak hukum, mereka menegakkan tujuan sejatinya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Revolusi Prancis dan Lahirnya Konstitusi

Sejarah dunia mencatat peristiwa serupa pada Revolusi Prancis 1789.
Hukum kerajaan waktu itu melindungi bangsawan dan menindas rakyat. Tapi rakyat bangkit, menulis ulang arah bangsa, dan melahirkan Konstitusi 1791 — yang memperkenalkan istilah constitution dan prinsip baru: Law is the expression of the general will.

Rakyat Prancis tidak hanya menumbangkan raja, tapi mengganti sumber hukum itu sendiri — dari kekuasaan menuju kehendak rakyat.
Sejak saat itulah, konstitusi modern berdiri sebagai wujud kebijakan publik rakyat.


Hukum yang Menutupi Kebenaran

Kini, kita menyaksikan bentuk baru dari ketidakadilan hukum: legalitas yang menutupi kebenaran.

Undang-undang seperti UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) kini digunakan untuk menolak keterbukaan pejabat, padahal undang-undang yang sama tidak pernah digunakan untuk melindungi rakyat dari eksploitasi data mereka.

Pasal 6 ayat (3) huruf c UU KIP sebenarnya sudah jelas:

“Data pribadi dapat dibuka apabila berkaitan dengan jabatan publik.”

Namun yang terjadi justru sebaliknya:
pejabat menggunakan hukum untuk menolak transparansi, sedangkan rakyat tidak pernah benar-benar dilindungi privasinya.

Inilah bentuk rule by law, bukan rule of law — hukum yang digunakan untuk mengatur rakyat, bukan untuk mengatur kekuasaan.


Hukum dan Legitimasi

Hukum memberikan kepastian, tetapi kebijakan publik memberi arah moral.
Keduanya seharusnya saling menguatkan, bukan bertentangan.

Namun ketika hukum kehilangan hati nuraninya, rakyat berhak menegakkan kembali keadilan dengan cara mereka sendiri. Karena sejatinya, rakyatlah hukum tertinggi.


“Hukum boleh menutup mulut rakyat,
tetapi kebijakan publik rakyat akan membuka kebenaran.
Dan ketika hukum kehilangan nuraninya,
rakyatlah yang menjadi hukum tertinggi.”
— Dr. Bonatua Silalahi


Minggu, 05 Oktober 2025

SALINAN IJAZAH (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI

 



SALINAN IJAZAH PEJABAT PUBLIK (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI

Banyak orang masih salah paham soal dokumen ijazah pejabat publik. Padahal, secara hukum, salinan ijazah terlegalisir yang diserahkan tanpa syarat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi milik pribadi, melainkan sudah menjadi milik publik.

Setiap calon pejabat negara seperti presiden, kepala daerah, anggota DPR, atau DPD wajib menyerahkan salinan ijazah terlegalisir sebagai syarat pendaftaran. Begitu dokumen itu diterima dan disimpan oleh KPU, statusnya langsung berubah menjadi informasi publik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU/14/2008 KIP).

Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Artinya, sejak ijazah itu diserahkan ke KPU, dokumen tersebut sudah menjadi bagian dari penyelenggaraan negara dan otomatis menjadi hak publik untuk diakses.

Setelah masa pemilihan berakhir, dokumen-dokumen seperti ijazah tidak dikembalikan lagi kepada calon, termasuk kepada pihak yang kalah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU/43/2009 Kearsipan), dokumen tersebut berubah status menjadi arsip statis — yaitu arsip yang memiliki nilai sejarah dan menjadi milik negara. Pasal 48 undang-undang ini menegaskan bahwa arsip statis dikuasai dan dikelola oleh lembaga kearsipan, yaitu Lembaga Kearsipan Daerah (LKD) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Dengan demikian, ijazah pejabat yang pernah digunakan untuk pendaftaran tetap menjadi milik negara, bukan lagi milik pribadi, dan tetap disimpan selamanya sebagai bagian dari sejarah penyelenggaraan negara.

Hal penting lainnya, ketika para calon pejabat menyerahkan dokumen ke KPU, mereka menandatangani surat pernyataan keaslian dokumen tanpa mencantumkan keberatan atas publikasi. Tidak ada satu pun klausul dalam formulir pendaftaran yang melarang publikasi atau akses publik terhadap dokumen yang diserahkan. Artinya, para calon tidak pernah menyatakan keberatan jika dokumennya dibuka untuk publik. Dalam hukum administrasi, jika tidak ada keberatan tertulis, hal itu dianggap sebagai persetujuan diam-diam (tacit consent). Maka, publik berhak penuh untuk mengetahui dan memeriksa isi dokumen tersebut.

Sering kali, alasan yang dipakai untuk menolak permohonan informasi adalah dalih perlindungan data pribadi. Padahal, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU/27/2022 PDP) secara jelas menyatakan pengecualian terhadap dokumen publik. Pasal 2 ayat (2) menyebut bahwa ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap pemrosesan data pribadi untuk kepentingan penegakan hukum, pertahanan dan keamanan, serta penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh lembaga negara dan lembaga publik lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan kata lain, apabila data pribadi diproses oleh badan publik seperti KPU, ANRI, pemerintah daerah, BUMN, atau Sekretariat Negara dalam rangka penyelenggaraan negara, maka UU PDP tidak berlaku. Salinan ijazah pejabat publik yang diserahkan ke KPU merupakan bagian dari penyelenggaraan negara, sehingga tidak dilindungi oleh UU PDP. Karena itu, menolak permohonan publik dengan alasan “data pribadi” tidak memiliki dasar hukum.

Keterbukaan informasi seperti ini bukan untuk mempermalukan siapa pun, melainkan untuk menjaga kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas pejabat publik. Tujuan utama dari Keterbukaan Informasi Publik dalam UU/14/2008 KIP adalah untuk menjamin hak warga negara mengetahui proses kebijakan publik, mendorong partisipasi masyarakat, dan menciptakan penyelenggaraan negara yang transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Maka membuka ijazah pejabat publik bukan tindakan mencari-cari kesalahan, melainkan bagian dari pengawasan rakyat terhadap pejabat yang digaji oleh rakyat.

Setelah dokumen menjadi arsip statis, lembaga yang berwenang menyimpannya adalah KPU, LKD, dan ANRI. Ketiganya wajib membuka akses kepada masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam Pasal 86 UU/43/2009 Kearsipan disebutkan bahwa pejabat yang dengan sengaja menolak menyerahkan atau menghilangkan arsip statis dapat dipidana hingga 10 tahun penjara. Begitu juga dalam Pasal 52 UU/14/2008 KIP, pejabat yang menolak memberikan informasi publik dapat dipidana penjara selama 1 tahun atau denda paling banyak Rp5 juta.

Maka, jika badan publik seperti KPU, KPUD, ANRI, Setneg, Pemda, BUMN, atau BHMN menolak membuka salinan ijazah pejabat publik yang sudah menjadi dokumen publik, penolakan itu jelas melanggar hukum. Dokumen tersebut bukan rahasia pribadi, bukan rahasia negara, dan tidak termasuk kategori data pribadi yang dilindungi UU PDP.

Menutup akses publik terhadap ijazah pejabat publik sama saja menutup kebenaran yang menjadi hak rakyat. Kita tidak sedang membuka aib seseorang, tetapi sedang menegakkan hak konstitusional rakyat atas informasi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Ketika seseorang memutuskan menjadi pejabat negara, semua dokumen yang menjadi dasar pencalonannya otomatis menjadi dokumen publik yang dapat diperiksa oleh rakyat.

Keterbukaan ijazah pejabat publik adalah cermin kejujuran negara. Demokrasi tidak akan hidup tanpa transparansi.
Karena itu, ijazah pejabat publik bukan data pribadi, bukan rahasia negara, dan bukan milik individu — melainkan milik rakyat Indonesia.


#KeterbukaanInformasiPublik
#NoViralNoJustice
#ArsipMilikPublik
#IjazahBukanDataPribadi
#DemokrasiTanpaTransparansiBukanDemokrasi

Kamis, 25 September 2025

TERNYATA PRAMONO ANUNG IKUT SEMBUNYIKAN IJAZAH JOKOWI!!

KPU RI Menutup dengan KepKPU 731, KPU DKI Menolak dengan KepKPU 1351: Jejak Penolakan Ijazah Jokowi


Mengapa begitu sulit meminta salinan duplikat ijazah Presiden Joko Widodo? Padahal ijazah itu bukan sekadar dokumen pribadi, melainkan syarat sah pencalonan jabatan publik tertinggi di negeri ini. Saya sudah mencoba meminta secara resmi, tetapi jawabannya sama: ditolak. Bahkan, penolakan ini dilakukan lewat keputusan formal KPU yang kemudian memicu kegaduhan publik.


Permohonan ke KPU RI Ditolak

Pada 3 Agustus 2025, saya mengajukan permohonan informasi publik ke KPU RI dengan Formulir Nomor 2025/KPU/0000/PPID/M/VIII/1. Dua minggu kemudian, lewat email tertanggal 25 Agustus 2025, KPU RI menjawab: permohonan saya tidak bisa dipenuhi.

Alasannya? Karena pada 21 Agustus 2025, KPU sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 yang menetapkan seluruh dokumen persyaratan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, termasuk fotokopi ijazah, sebagai informasi publik yang dikecualikan.


Permohonan ke KPU DKI Jakarta Pun Ditolak

Saya tidak berhenti di pusat. Pada 24 Agustus 2025, saya mengirim permohonan lewat email ke KPU Provinsi DKI Jakarta. Jawaban datang lewat Surat Nomor 1215/HM.03-SD/31/2025 tanggal 4 September 2025. Lagi-lagi ditolak.

Kali ini, dasar hukumnya adalah Keputusan KPU Nomor 1351 Tahun 2024 tanggal 26 September 2024 tentang pengecualian dokumen pencalonan dalam Pilkada (Gubernur, Bupati, Walikota). Aneh, karena yang saya minta adalah dokumen pencalonan Presiden, bukan Pilkada. Tetapi KPU DKI tetap bersikukuh menolaknya.


Apa Bedanya Kedua Keputusan Itu?

Sepintas terlihat sama—sama-sama menutup akses publik. Namun kalau dibandingkan, ada perbedaan yang signifikan.

Perbandingan Aspek Formil

AspekKepKPU 1351/2024KepKPU 731/2025
Tanggal Penetapan26 September 202421 Agustus 2025
Ketua KPU PenandatanganMochammad AfifuddinMochammad Afifuddin
Objek PengaturanInformasi publik pencalonan Pilkada (Gubernur, Bupati, Walikota) yang dikecualikan.Dokumen persyaratan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dikecualikan.
Dasar Hukum- UU 7/2017 jo. UU 7/2023 (Pemilu).
- PKPU 8/2019 (Tata Kerja).
- PKPU 14/2020 jo. 21/2023 (Sekretariat Jenderal).
- PKPU 22/2023 jo. 11/2024 (Informasi Publik).
- PKPU 8/2024 jo. 10/2024 (Pencalonan Pilkada).
- UU 7/2017 jo. UU 7/2023 (Pemilu).
- PKPU 8/2019 (Tata Kerja).
- PKPU 14/2020 jo. 21/2023 (Sekretariat Jenderal).
- PKPU 19/2023 jo. 23/2023 (Pencalonan Presiden/Wapres).
- PKPU 22/2023 jo. 11/2024 (Informasi Publik).
Pihak Uji KonsekuensiInternal KPU (Ringkasan Lembar Uji Konsekuensi No. 11/2024). Personel tidak dijelaskan.KPU RI bersama IR Komarudin, S.H., M.M. & Partners (Lembar Uji Konsekuensi No. 1/2025).
Bentuk KeputusanMenetapkan formulir pencalonan Pilkada (dukungan, pencalonan parpol, persetujuan parpol, riwayat hidup, pernyataan calon) sebagai informasi publik yang dikecualikan.Menetapkan dokumen syarat pencalonan Presiden/Wapres (KTP, akta lahir, SKCK, kesehatan, LHKPN, NPWP, riwayat hidup, ijazah, pernyataan, surat pengunduran diri, dll) sebagai informasi publik yang dikecualikan.
Jangka Waktu Pengecualian5 (lima) tahun.5 (lima) tahun, dapat dibuka bila ada persetujuan tertulis calon atau terkait jabatan publik.
Kelemahan FormilTidak jelas siapa tim uji konsekuensi. Transparansi rendah.Uji konsekuensi melibatkan pihak eksternal, bertentangan dengan Perki SLIP 1/2021 Pasal 21 ayat (1). Potensi cacat formil.

Perbandingan Aspek Materil

AspekKepKPU 1351/2024KepKPU 731/2025
Jenis Dokumen yang DikecualikanFormulir dukungan, pencalonan, persetujuan, riwayat hidup, pernyataan.Semua dokumen syarat Pilpres, termasuk ijazah.
Alasan PengecualianData pribadi (NIK, alamat, agama, dll).Data pribadi, tapi juga diakui ada kepentingan publik.
Konsekuensi Jika DibukaMembuka rahasia pribadi calon Pilkada.Bisa membuka data pribadi, tapi juga membuktikan keaslian ijazah.
Kepentingan PublikBisa dipenuhi dengan menghitamkan data pribadi.Diakui ada kepentingan publik, tapi tetap ditutup.
KontradiksiKonsisten menutup data pribadi.Kontradiktif: mengakui kepentingan publik tapi tetap menutup dokumen penting.
Kelemahan MaterilMenutup dokumen yang seharusnya bisa diakses dengan masking.Menutup dokumen vital (ijazah Presiden), padahal menyangkut jabatan publik tertinggi.

Reaksi Publik: Geram hingga Keputusan Dicabut

Keputusan KPU Nomor 731/2025 ini ternyata cepat viral. Publik geram karena KPU menutup rapat dokumen yang menyangkut pencalonan Presiden. Gelombang kritik datang dari media, akademisi, hingga masyarakat sipil.

Akhirnya, KPU mencabut Keputusan 731/2025 lewat Keputusan KPU Nomor 805 Tahun 2025 tanggal 16 September 2025, yang ditandatangani Ketua KPU Mochammad Afifuddin.

Pencabutan ini menunjukkan bahwa tekanan publik bisa membalik keputusan lembaga negara. Namun, pencabutan itu tidak otomatis berarti permohonan informasi saya dipenuhi.


Status Terbaru: Menunggu Jawaban Keberatan

Saat ini, saya telah mengajukan keberatan resmi terhadap penolakan KPU RI maupun KPU DKI Jakarta. Saya masih menunggu jawaban formal dari kedua lembaga tersebut.

Apakah KPU akan membuka dokumen—setidaknya dengan cara menghitamkan data pribadi—atau tetap menutup rapat semuanya? Jawaban mereka akan menjadi ujian serius: apakah prinsip keterbukaan informasi publik benar-benar dijunjung tinggi, atau sekadar jargon belaka.


Dr. Bonatua Silalahi
Peneliti Independen (Scopus Author ID: 58787855000)

YANG DIMINTA IJAZAH GIBRAN, MENTERI PENDIDIKAN MALAH KELUARKAN SURAT MISTERIUS !!!

Minggu, 14 September 2025

Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi

Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi

Dalam beberapa waktu terakhir, saya sedang menempuh upaya resmi meminta duplikat ijazah Joko Widodo ke sejumlah Kementerian, Lembaga, dan Perangkat Daerah (K/L/PD), termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Kementerian Sekretariat Negara, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Pemerintah Kota Surakarta, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Langkah ini telah saya uraikan secara lebih luas dalam artikel sebelumnya di blog: Ontologi Bangsa Indonesia.

Tujuannya sederhana: memastikan keterbukaan arsip statis yang seharusnya dikelola oleh badan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Perkembangan di Surakarta

Pada tahap awal, PPID Pemkot Surakarta menolak permohonan informasi publik terkait duplikat ijazah tersebut. Penolakan itu kemudian diperkuat oleh Atasan PPID. Jumat lalu, saya secara resmi menerima jawaban tertulis dari Atasan PPID yang tetap menyatakan penolakan. Dengan demikian, upaya memperoleh arsip melalui jalur keberatan di Surakarta telah tertutup.

Sesuai mekanisme UU KIP, langkah berikutnya adalah membawa perkara ini ke Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Tengah. Sengketa di tingkat KI Jateng inilah yang akan menguji apakah alasan penolakan PPID dapat dipertahankan secara hukum, atau justru dibatalkan karena bertentangan dengan prinsip keterbukaan.

Perkembangan di DKI Jakarta

Situasi serupa juga terjadi di Pemprov DKI Jakarta. Permohonan informasi publik melalui PPID Pemprov DKI ditolak. Menanggapi hal itu, saya sudah mengajukan keberatan kepada Atasan PPID, yaitu Sekretaris Daerah (Sekda), pada 08 Agustus 2025.

Berdasarkan Pasal 36 UU KIP, atasan PPID wajib memberikan jawaban atas keberatan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima. Artinya, batas waktu jawaban seharusnya jatuh pada penghujung bulan September 2025.

Pertanyaan penting kemudian muncul: apakah Sekda telah berkonsultasi dengan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, sebelum memutuskan? Jika Sekda tetap menolak, maka jalan berikutnya adalah melanjutkan sengketa ini ke Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta.

Konflik Kepentingan Politik

Latar belakang politik Gubernur DKI Jakarta menambah kompleksitas persoalan ini. Pramono Anung adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang juga menaungi Presiden Joko Widodo. Rekam jejaknya panjang: dari anggota DPR RI, pimpinan fraksi, hingga menjabat Sekretaris Kabinet sebelum dipercaya rakyat memimpin DKI Jakarta.

Kedekatan politik tersebut menimbulkan potensi konflik kepentingan. Di satu sisi, sebagai pejabat daerah, Gubernur berkewajiban menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara, beliau adalah kader PDIP yaitu Partai yang belakangan berseberangan dengan Jokowi namun Publik juga tahu bagaimana kedekatannya dengan Jokowi, ia terikat pada kepentingan diantara menjaga citra partai atau relasi politik.

Inilah yang menempatkan Gubernur DKI di persimpangan: apakah ia akan menegakkan hak publik atas informasi, atau justru membiarkan kepentingan politik mendikte arah kebijakan keterbukaan?

Persimpangan Keterbukaan

Kedua kasus di Surakarta dan DKI memperlihatkan pola serupa: badan publik berusaha berlindung di balik alasan “informasi pribadi.” Padahal, Pasal 18 ayat (2) UU KIP secara tegas membuka ruang, bahwa data pribadi dapat dibuka bila “pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik”. Dengan demikian, ijazah yang digunakan untuk mendaftar sebagai Calon Walikota maupun jabatan publik lain tidak bisa dipandang semata sebagai dokumen pribadi.

Namun, publik juga perlu mencermati aspek independensi. Baik KI Jateng maupun KI DKI dibiayai melalui APBD, komisionernya dilantik oleh gubernur, dan pegawai sekretariatnya adalah aparatur pemerintah daerah. Kondisi ini membuat keputusan KI berpotensi rawan intervensi politik.

Padahal, hak atas informasi publik adalah hak asasi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945, dan ditegaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (1) UU KIP: “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik”.

Kini, publik menanti sikap Pemprov DKI. Apakah Gubernur Pramono Anung—sebagai pejabat daerah sekaligus kader PDIP—akan berpihak pada keterbukaan dan akuntabilitas, atau justru membiarkan hak masyarakat tersandera birokrasi dan kepentingan politik?

Jumat, 05 September 2025

Ijazah Publik yang Tertutup: Potret Lemahnya Keterbukaan Informasi di Indonesia


Saya telah mengajukan permohonan informasi publik mengenai duplikat ijazah Presiden Joko Widodo ke delapan Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (K/L/PD) serta satu badan publik terkait investasi, yang secara normatif memiliki kewenangan atau keterkaitan dengan pengelolaan arsip pencalonan pejabat publik.

Hasilnya mengecewakan.

“Mayoritas lembaga justru menutup akses, mengelak, atau bahkan diam seribu bahasa.”

Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU Kearsipan) secara tegas menyatakan bahwa informasi publik harus disediakan secara mudah, cepat, dan semurah-murahnya. Realitas yang saya temukan jauh dari semangat itu.

1.    Alasan Rahasia Pribadi: Penolakan yang Mengada-ada

Sebagian K/L/PD menolak dengan alasan ijazah termasuk rahasia pribadi sebagaimana Pasal 17 huruf h angka 5 UU KIP: “catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal.”

Namun, alasan ini problematis. Ijazah berbeda dengan rapor atau catatan internal pendidikan. Ia adalah dokumen resmi yang bersifat deklaratif dan memang ditujukan untuk dipakai keluar: melamar pekerjaan, mengajukan beasiswa, atau menjadi syarat pencalonan pejabat publik.

Bahkan jika pun dianggap dokumen rahasia, tidak semua informasi di dalam ijazah bersifat rahasia. Tulisan gelar, nama lembaga pendidikan, nomor seri, logo, tanda pengesahan institusi—semuanya bersifat administratif, bukan data privat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (PP 61 Tahun 2010) membuka jalan bagi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan uji konsekuensi dan memberikan dokumen dengan redaksi (menghitamkan data pribadi seperti Nomor Induk Mahasiswa atau tanda tangan). Jadi, menutup akses sepenuhnya adalah pelanggaran terhadap asas “ketat dan terbatas” yang ditegaskan UU KIP.

Lebih jauh lagi, dalam kasus permohonan informasi duplikat ijazah ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya berselang tiga hari setelah permohonan saya (3 Agustus 2025) langsung mengadakan uji konsekuensi pada Rabu, 6 Agustus 2025, dan kemudian menetapkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 pada 21 Agustus 2025. Keputusan ini dipakai sebagai dasar hukum baru untuk menetapkan duplikat ijazah sebagai informasi yang dikecualikan. Tindakan tergesa ini memperlihatkan bahwa penolakan KPU bukanlah hasil pengujian obyektif yang matang, melainkan respons defensif untuk segera menutup akses atas dokumen yang diminta.

 

2.       Dalih Tidak Menguasai Dokumen: Lemah dan Bertentangan dengan UU

Tidak sedikit lembaga yang berkilah tidak menguasai dokumen. Beberapa di antaranya bahkan justru lembaga yang secara hukum mestinya paling berwenang atau berkewajiban menyimpannya:

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyatakan tidak menguasai informasi mengenai duplikat ijazah. Padahal, Pasal 46 ayat (1) UU Kearsipan menegaskan:

“Pencipta arsip wajib menyerahkan arsip statis kepada lembaga kearsipan.”

Bahkan Pasal 47 ayat (1) memberi daya paksa:

“ANRI dan lembaga kearsipan daerah berwenang memaksa pencipta arsip menyerahkan arsip statis yang seharusnya diserahkan.”

Dengan mandat sekuat ini, alasan ANRI sungguh tidak dapat diterima.

Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) juga menyatakan tidak menguasai duplikat ijazah Presiden, meskipun fungsi pokoknya menurut Perpres adalah membantu Presiden dalam penyelenggaraan administrasi kenegaraan, termasuk urusan arsip kepresidenan dan dokumen pribadi kedinasan Presiden. Dalih “tidak menguasai” dari Setneg jelas bertentangan dengan fungsi kelembagaan yang melekat padanya.

KPU Kota Surakarta berdalih tidak menguasai dokumen pencalonan Pilkada 2005 dan 2010, padahal sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU Kota adalah penyelenggara yang menerima langsung dokumen syarat calon (termasuk ijazah) dari kandidat. Dalih ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola arsip Pilkada di tingkat daerah.

Pemerintah Kota Surakarta, sebagai Lembaga Kearsipan Daerah (LKD), juga mengaku tidak menguasai dokumen, padahal mereka memiliki kewajiban menagih arsip dari KPU atau lembaga pencipta lainnya yang berkaitan dengan pencalonan pejabat publik asal daerahnya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menggunakan alasan serupa, seolah dokumen pencalonan Gubernur 2012 bukan bagian dari arsip statis penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalih “tidak menguasai” ini tidak hanya menunjukkan lemahnya komitmen, tetapi juga bertentangan langsung dengan mandat UU Kearsipan dan peraturan kelembagaan.

3.       Diamnya Danantara Indonesia: Badan Publik yang Melanggar UU KIP

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) adalah badan publik yang bergerak di bidang pengelolaan investasi negara. Dengan status tersebut, Danantara jelas terikat pada UU KIP serta Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kaitannya dengan kasus ijazah, Joko Widodo tercatat terakhir kali bekerja di Danantara dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Hal ini membuat Danantara memiliki tanggung jawab administratif dan arsip atas dokumen yang berkaitan dengan status pejabat publik yang pernah bekerja di dalamnya.

Namun, ketika diminta memberikan informasi terkait dokumen ijazah, Danantara justru tidak merespons sama sekali. Permohonan saya telah disampaikan melalui email ke contact@danantaraindonesia.com pada tanggal 4 Agustus 2025, dengan pertimbangan bahwa Pasal 22 ayat (1) UU KIP secara tegas menyatakan: “Permintaan Informasi Publik dapat diajukan dengan cara yang sederhana dan dengan biaya seminimal mungkin.” Artinya, mekanisme pengajuan lewat email resmi badan publik sah dan sesuai dengan perintah undang-undang.

Sikap diam Danantara jelas melanggar Pasal 22 ayat (7) UU KIP yang menyebut: “Badan Publik wajib memberikan jawaban atas permintaan informasi, baik berupa pemberian informasi maupun penolakan dengan alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Sebagai Badan Publik, Danantara tidak bisa berdalih atau menutup diri. Kewajibannya adalah merespons permintaan informasi secara resmi. Diam sama sekali justru lebih bermasalah daripada menolak, karena melanggar kewajiban hukum yang paling mendasar dalam UU KIP.

4.       Semangat Keterbukaan dan Ketidaklogisan Kerahasiaan Ijazah

UU KIP menegaskan:

Pasal 2 ayat (1):

“Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.”

Pasal 2 ayat (2):

“Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.”

Artinya, prinsip dasarnya adalah keterbukaan. Pengecualian hanyalah anomali, bukan norma. Namun, praktik lembaga-lembaga ini membalik logika: informasi justru ditutup rapat, tanpa uji konsekuensi yang transparan, tanpa jalan tengah berupa redaksi, dan tanpa kesediaan menjalankan mandat kearsipan.

Pertanyaannya: wajarkah duplikat ijazah, beserta informasi di dalamnya, dianggap rahasia?

Di dalam sebuah Duplikat ijazah terdapat:

1.       Desain ijazah seperti bentuk, ukuran, motif, jenis huruf, bahkan terdapat jejak forensik,

2.       Nama universitas/sekolah,

3.       Gelar akademik yang diberikan,

4.       Nomor ijazah,

5.       Tanggal kelulusan,

6.       Nama pejabat penandatangan,

7.       Logo dan stempel lembaga pendidikan.

Informasi ini bersifat deklaratif dan administratif, bukan rahasia pribadi dengan begitu untuk informasi dikecualikan (rahasia) pada Dokumen Publik Terbuka dapat dilakukan penghitaman Informasi yang tertutup sebagaimana ilustrasinya ditunjukkan pada gambar dibawah ini. 

Bandingkan dengan informasi lain yang jauh lebih sensitif namun justru terbuka lebar, seperti:

1.    Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan Komisi Pemberantas Korupsi.

2.   Data rekening dan transaksi keuangan yang dapat diakses oleh Kementerian Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

3.   Plat nomor kendaraan bermotor yang bisa dilacak untuk mengetahui identitas pemilik dan status pembayaran pajaknya.

4.  Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diumumkan KPU lengkap dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat.

Jika informasi setingkat kekayaan pribadi, rekening, atau kepemilikan kendaraan dapat diakses, tidak masuk akal bila duplikat ijazah pejabat publik justru ditutup rapat.

 

Kesimpulan: Transparansi Masih Jauh Panggang dari Api

Dari sembilan K/L/PD dan badan publik yang saya ajukan permohonan informasi:

  • Mayoritas menolak dengan alasan rahasia pribadi, padahal uji konsekuensi memungkinkan akses dengan redaksi. Bahkan KPU memperkuat penolakannya dengan menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 hanya 18 hari setelah permohonan masuk.
  • ANRI, Setneg, KPU Kota Surakarta, Pemkot Surakarta, dan Pemprov DKI Jakarta mengaku tidak menguasai, meskipun UU Kearsipan memberi mereka kewenangan daya paksa untuk menguasai arsip statis.
  • Danantara Indonesia sebagai badan publik tidak merespons sama sekali, meskipun permohonan sudah diajukan melalui email resmi contact@danantaraindonesia.com  pada 4 Agustus 2025, sesuai Pasal 22 ayat (1) UU KIP yang memerintahkan permohonan informasi diajukan dengan cara sederhana dan semurah-murahnya.

📌 Perlu digarisbawahi, data ini diperoleh sebatas tahap awal permohonan informasi publik.

  1. Danantara: hingga kini belum memberikan jawaban, padahal sudah melebihi batas 10 hari kerja.
  2. KPU Pusat, KPU DKI Jakarta, KPU Kota Surakarta, ANRI, LKD Surakarta, dan LKD DKI Jakarta: baru memberikan jawaban PPID tingkat pertama, dan saya sedang menunggu jawaban keberatan dari Atasan PPID masing-masing lembaga.
  3. Setneg dan UGM: sudah sampai pada tahap jawaban keberatan oleh Atasan PPID.

Fakta ini memperlihatkan bahwa prinsip keterbukaan informasi publik masih jauh dari kenyataan. Jika dokumen selevel ijazah pejabat publik saja ditutup rapat, wajar bila publik meragukan komitmen negara terhadap transparansi.

Keterbukaan bukanlah pilihan, tetapi amanat undang-undang dan esensi demokrasi. Menutup ijazah pejabat publik bukan hanya melawan akal sehat, tetapi juga pengingkaran terhadap hukum yang dibuat negara itu sendiri.

 

Tabel Status Jawaban 8 K/L/PD

No.

Lembaga/Daerah

Periode

Status Jawaban

1

KPU Kota Surakarta

2005 & 2010

Mengaku tidak menguasai

2

LKD Kota Surakarta

2005 & 2010

Mengaku tidak menguasai

3

KPU Provinsi DKI Jakarta

2012

Menolak (rahasia pribadi)

4

LKD Provinsi DKI Jakarta

2012

Mengaku tidak menguasai

5

KPU Pusat

2014 & 2019

Menolak (rahasia pribadi)

6

Setneg

2014 & 2019

Mengaku tidak menguasai

7

ANRI

2014 & 2019

Mengaku tidak menguasai

8

Danantara Indonesia

2008–2019

Tidak merespons

 

Catatan:

Tulisan ini adalah bagian dari kelanjutan penelitian saya yang artikelnya dapat didownload di https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=5373341, hak-hak penulis dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia tahun 1945.


"Pejabat menang banyak, Duit Publik mau tapi Privasinya tak boleh diusik, ini mah bukan re-PUBLIK tapi pembodohan PUBLIK, mengelola Negara serasa mengelola Perusahaan sendiri"-Bonatua Silalahi.


Postingan Populer