⚖️ PKPU Nomor 19 Tahun 2023: Ketika Regulasi Pemilu Berubah Arah Politik
Oleh: Dr. Bonatua Silalahi (Doktor Kebijakan Publik)
ontologibangsaindonesia.blogspot.com
๐️ Pengantar
Perubahan peraturan pemilu sering kali dianggap sekadar penyempurnaan teknis. Namun, tidak demikian halnya dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PKPU/19/2023).
Jika ditelusuri dengan cermat, peraturan ini bukan hanya revisi administratif dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2018 (PKPU/22/2018), melainkan pergeseran arah hukum dan politik dalam sistem pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Tulisan ini menelusuri kronologi, perubahan substansi, dan implikasi hukumnya—serta mengapa revisi ini menjadi sorotan publik, terutama pada pasal yang membuka pengecualian terhadap bukti kelulusan pendidikan menengah atas.
๐️ Identitas Regulasi
Aspek | PKPU/22/2018 | PKPU/19/2023 |
---|---|---|
Judul Lengkap | Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden | Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden |
Tanggal Penetapan | 31 Agustus 2018 | 23 Oktober 2023 |
Tanggal Pengundangan | 6 September 2018 (Berita Negara RI No. 1101/2018) | 25 Oktober 2023 (Berita Negara RI No. 1036/2023) |
Ketua KPU yang Mengesahkan | Arief Budiman | Hasyim Asy’ari |
Konteks Politik | Menjelang Pemilu 2019 | Menjelang Pemilu 2024 |
Kedua PKPU ini sama-sama mengatur mekanisme pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, konteks politik dan tekanan hukum di baliknya sangat berbeda. Tahun 2018, KPU masih berperan sebagai pelaksana teknis pemilu yang relatif steril dari kontroversi hukum. Tahun 2023, KPU berada di bawah sorotan publik karena dua isu besar: putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia calon, dan dugaan inkonsistensi verifikasi ijazah calon.
⚙️ Perbandingan Substansi Pokok
Aspek | PKPU/22/2018 | PKPU/19/2023 | Analisis |
---|---|---|---|
Dasar Hukum | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU/7/2017) | Sama, ditambah Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 | Menyesuaikan putusan MK terkait batas usia 40 tahun bagi calon presiden/wakil presiden. |
Syarat Administratif | Pasal 13 huruf m: menyerahkan fotokopi ijazah terakhir yang dilegalisasi oleh instansi penerbit. | Pasal 18 ayat (1) huruf m tetap sama, tetapi ditambah ayat (3) yang menyatakan pengecualian bagi calon yang tidak memiliki bukti kelulusan SMA dan telah memiliki ijazah perguruan tinggi. | Perubahan paling kontroversial karena mengubah struktur logika pendidikan formal yang telah diatur dalam UU/7/2017. |
Usia Calon | Minimal 40 tahun tanpa pengecualian. | Minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat kepala daerah. | Penyesuaian terhadap Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. |
Verifikasi Ijazah | Wajib menyerahkan salinan terlegalisasi dan dapat diverifikasi. | Tidak mewajibkan klarifikasi ke perguruan tinggi penerbit. | Menurunkan standar keabsahan administratif dokumen publik. |
Metode Pendaftaran | Manual di kantor KPU RI. | Elektronik melalui SILON dan fisik (hybrid). | Adaptasi teknologi, tetapi meningkatkan risiko manipulasi digital. |
๐ Kronologi Pembentukan PKPU/19/2023
Proses penyusunan PKPU/19/2023 tidak sepenuhnya transparan di mata publik. Berdasarkan penelusuran terhadap arsip JDIH KPU dan pemberitaan media nasional, diperoleh garis waktu berikut:
-
Akhir September 2023 — Rancangan PKPU mulai dibahas internal KPU, menindaklanjuti hasil Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka ruang bagi calon di bawah 40 tahun.
-
Awal Oktober 2023 — Rancangan PKPU dikonsultasikan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk harmonisasi. Tidak ada catatan publik mengenai uji publik sebagaimana lazim dilakukan sebelumnya.
-
9 Oktober 2023 — KPU menggelar rapat pleno internal untuk menetapkan naskah akhir rancangan PKPU.
-
23 Oktober 2023 — Ketua KPU Hasyim Asy’ari menandatangani naskah final PKPU/19/2023.
-
25 Oktober 2023 — PKPU/19/2023 diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1036 Tahun 2023.
Tidak ditemukan publikasi resmi mengenai berita acara pleno KPU, risalah konsultasi publik, atau pendapat masyarakat dalam penyusunan peraturan ini. Padahal, menurut prinsip good governance dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), setiap perubahan kebijakan publik wajib melewati mekanisme partisipasi masyarakat dan uji konsekuensi kebijakan.
⚖️ Analisis Kebijakan Publik dan Hukum
-
Norma Baru yang Melampaui Undang-Undang (Ultra Vires)
Pasal 18 ayat (3) PKPU/19/2023 menambahkan norma baru yang tidak terdapat dalam UU/7/2017.
Artinya, KPU tidak hanya melaksanakan undang-undang, tetapi justru menciptakan norma hukum baru yang bersifat substantif. Ini melanggar asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan teknis tidak boleh menambah atau mengurangi isi undang-undang. -
Pelemahan Prinsip Verifikasi Administratif
Ketika PKPU/22/2018 mewajibkan penyerahan ijazah yang dilegalisasi dan dapat diverifikasi, PKPU/19/2023 tidak lagi memerintahkan KPU untuk melakukan klarifikasi ke universitas penerbit.
Hal ini melemahkan fungsi pengawasan administratif dan membuka ruang fraud dokumen publik. -
Keterbukaan Informasi yang Terkunci
Dokumen ijazah yang diserahkan ke KPU merupakan dokumen publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU/14/2008).
Namun, tidak ada mekanisme transparansi publik untuk memastikan keaslian dokumen tersebut. KPU justru menambahkan klausul pernyataan bermaterai yang membatasi hak publik untuk memeriksa. -
Aspek Politik Hukum
Secara substansial, PKPU/19/2023 memperlihatkan kecenderungan politisasi lembaga penyelenggara pemilu.
Ketentuan “pengecualian ijazah SMA” dan “penyesuaian usia” dibuat tepat menjelang tahapan pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, yang secara politis menguntungkan pihak tertentu.
Ini menggeser posisi KPU dari pelaksana teknis menjadi aktor politik dalam kebijakan hukum pemilu.
๐ Implikasi terhadap Integritas Pemilu
Revisi PKPU/19/2023 menimbulkan sedikitnya tiga konsekuensi serius:
-
Krisis Kepercayaan Publik terhadap KPU.
Ketika lembaga penyelenggara pemilu mengubah norma substantif, publik mulai meragukan independensinya. -
Potensi Sengketa Hukum di Masa Depan.
Pasal 18 ayat (3) berpotensi digugat ke Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. -
Menurunnya Standar Etika Birokrasi Pemilu.
Tanpa kewajiban verifikasi ijazah ke lembaga penerbit, standar administrasi calon pejabat publik menjadi lebih rendah dari standar ASN biasa.
๐งฉ Penutup
Dari sisi kebijakan publik, PKPU/19/2023 adalah pergeseran paradigma, bukan sekadar revisi.
Ia menunjukkan bahwa di Indonesia, peraturan teknis pun dapat diarahkan oleh kepentingan politik.
Ketika hukum dijalankan tanpa uji publik, tanpa berita acara yang terbuka, dan tanpa akuntabilitas administratif, maka yang sesungguhnya berubah bukan hanya pasalnya—tetapi juga fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
“Hukum adalah kebijakan publik yang telah dilembagakan.”
Dan ketika kebijakan publik disusupi oleh kepentingan politik,
maka hukum kehilangan rohnya.
๐ Referensi
-
PKPU/22/2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
-
PKPU/19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
-
UU/7/2017 tentang Pemilihan Umum.
-
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
-
UU/14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
-
UU/25/2009 tentang Pelayanan Publik.
-
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU/37/2008).
๐️ Salam Keterbukaan
Dr. Bonatua Silalahi
(Doktor Kebijakan Publik)