Cari Blog Ini

Jumat, 05 September 2025

Ijazah Publik yang Tertutup: Potret Lemahnya Keterbukaan Informasi di Indonesia


Saya telah mengajukan permohonan informasi publik mengenai duplikat ijazah Presiden Joko Widodo ke delapan Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (K/L/PD) serta satu badan publik terkait investasi, yang secara normatif memiliki kewenangan atau keterkaitan dengan pengelolaan arsip pencalonan pejabat publik.

Hasilnya mengecewakan.

“Mayoritas lembaga justru menutup akses, mengelak, atau bahkan diam seribu bahasa.”

Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU Kearsipan) secara tegas menyatakan bahwa informasi publik harus disediakan secara mudah, cepat, dan semurah-murahnya. Realitas yang saya temukan jauh dari semangat itu.

1.    Alasan Rahasia Pribadi: Penolakan yang Mengada-ada

Sebagian K/L/PD menolak dengan alasan ijazah termasuk rahasia pribadi sebagaimana Pasal 17 huruf h angka 5 UU KIP: “catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal.”

Namun, alasan ini problematis. Ijazah berbeda dengan rapor atau catatan internal pendidikan. Ia adalah dokumen resmi yang bersifat deklaratif dan memang ditujukan untuk dipakai keluar: melamar pekerjaan, mengajukan beasiswa, atau menjadi syarat pencalonan pejabat publik.

Bahkan jika pun dianggap dokumen rahasia, tidak semua informasi di dalam ijazah bersifat rahasia. Tulisan gelar, nama lembaga pendidikan, nomor seri, logo, tanda pengesahan institusi—semuanya bersifat administratif, bukan data privat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (PP 61 Tahun 2010) membuka jalan bagi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan uji konsekuensi dan memberikan dokumen dengan redaksi (menghitamkan data pribadi seperti Nomor Induk Mahasiswa atau tanda tangan). Jadi, menutup akses sepenuhnya adalah pelanggaran terhadap asas “ketat dan terbatas” yang ditegaskan UU KIP.

Lebih jauh lagi, dalam kasus permohonan informasi duplikat ijazah ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya berselang tiga hari setelah permohonan saya (3 Agustus 2025) langsung mengadakan uji konsekuensi pada Rabu, 6 Agustus 2025, dan kemudian menetapkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 pada 21 Agustus 2025. Keputusan ini dipakai sebagai dasar hukum baru untuk menetapkan duplikat ijazah sebagai informasi yang dikecualikan. Tindakan tergesa ini memperlihatkan bahwa penolakan KPU bukanlah hasil pengujian obyektif yang matang, melainkan respons defensif untuk segera menutup akses atas dokumen yang diminta.

 

2.       Dalih Tidak Menguasai Dokumen: Lemah dan Bertentangan dengan UU

Tidak sedikit lembaga yang berkilah tidak menguasai dokumen. Beberapa di antaranya bahkan justru lembaga yang secara hukum mestinya paling berwenang atau berkewajiban menyimpannya:

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyatakan tidak menguasai informasi mengenai duplikat ijazah. Padahal, Pasal 46 ayat (1) UU Kearsipan menegaskan:

“Pencipta arsip wajib menyerahkan arsip statis kepada lembaga kearsipan.”

Bahkan Pasal 47 ayat (1) memberi daya paksa:

“ANRI dan lembaga kearsipan daerah berwenang memaksa pencipta arsip menyerahkan arsip statis yang seharusnya diserahkan.”

Dengan mandat sekuat ini, alasan ANRI sungguh tidak dapat diterima.

Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) juga menyatakan tidak menguasai duplikat ijazah Presiden, meskipun fungsi pokoknya menurut Perpres adalah membantu Presiden dalam penyelenggaraan administrasi kenegaraan, termasuk urusan arsip kepresidenan dan dokumen pribadi kedinasan Presiden. Dalih “tidak menguasai” dari Setneg jelas bertentangan dengan fungsi kelembagaan yang melekat padanya.

KPU Kota Surakarta berdalih tidak menguasai dokumen pencalonan Pilkada 2005 dan 2010, padahal sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU Kota adalah penyelenggara yang menerima langsung dokumen syarat calon (termasuk ijazah) dari kandidat. Dalih ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola arsip Pilkada di tingkat daerah.

Pemerintah Kota Surakarta, sebagai Lembaga Kearsipan Daerah (LKD), juga mengaku tidak menguasai dokumen, padahal mereka memiliki kewajiban menagih arsip dari KPU atau lembaga pencipta lainnya yang berkaitan dengan pencalonan pejabat publik asal daerahnya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menggunakan alasan serupa, seolah dokumen pencalonan Gubernur 2012 bukan bagian dari arsip statis penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalih “tidak menguasai” ini tidak hanya menunjukkan lemahnya komitmen, tetapi juga bertentangan langsung dengan mandat UU Kearsipan dan peraturan kelembagaan.

3.       Diamnya Danantara Indonesia: Badan Publik yang Melanggar UU KIP

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) adalah badan publik yang bergerak di bidang pengelolaan investasi negara. Dengan status tersebut, Danantara jelas terikat pada UU KIP serta Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kaitannya dengan kasus ijazah, Joko Widodo tercatat terakhir kali bekerja di Danantara dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Hal ini membuat Danantara memiliki tanggung jawab administratif dan arsip atas dokumen yang berkaitan dengan status pejabat publik yang pernah bekerja di dalamnya.

Namun, ketika diminta memberikan informasi terkait dokumen ijazah, Danantara justru tidak merespons sama sekali. Permohonan saya telah disampaikan melalui email ke contact@danantaraindonesia.com pada tanggal 4 Agustus 2025, dengan pertimbangan bahwa Pasal 22 ayat (1) UU KIP secara tegas menyatakan: “Permintaan Informasi Publik dapat diajukan dengan cara yang sederhana dan dengan biaya seminimal mungkin.” Artinya, mekanisme pengajuan lewat email resmi badan publik sah dan sesuai dengan perintah undang-undang.

Sikap diam Danantara jelas melanggar Pasal 22 ayat (7) UU KIP yang menyebut: “Badan Publik wajib memberikan jawaban atas permintaan informasi, baik berupa pemberian informasi maupun penolakan dengan alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Sebagai Badan Publik, Danantara tidak bisa berdalih atau menutup diri. Kewajibannya adalah merespons permintaan informasi secara resmi. Diam sama sekali justru lebih bermasalah daripada menolak, karena melanggar kewajiban hukum yang paling mendasar dalam UU KIP.

4.       Semangat Keterbukaan dan Ketidaklogisan Kerahasiaan Ijazah

UU KIP menegaskan:

Pasal 2 ayat (1):

“Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.”

Pasal 2 ayat (2):

“Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.”

Artinya, prinsip dasarnya adalah keterbukaan. Pengecualian hanyalah anomali, bukan norma. Namun, praktik lembaga-lembaga ini membalik logika: informasi justru ditutup rapat, tanpa uji konsekuensi yang transparan, tanpa jalan tengah berupa redaksi, dan tanpa kesediaan menjalankan mandat kearsipan.

Pertanyaannya: wajarkah duplikat ijazah, beserta informasi di dalamnya, dianggap rahasia?

Di dalam sebuah Duplikat ijazah terdapat:

1.       Desain ijazah seperti bentuk, ukuran, motif, jenis huruf, bahkan terdapat jejak forensik,

2.       Nama universitas/sekolah,

3.       Gelar akademik yang diberikan,

4.       Nomor ijazah,

5.       Tanggal kelulusan,

6.       Nama pejabat penandatangan,

7.       Logo dan stempel lembaga pendidikan.

Informasi ini bersifat deklaratif dan administratif, bukan rahasia pribadi dengan begitu untuk informasi dikecualikan (rahasia) pada Dokumen Publik Terbuka dapat dilakukan penghitaman Informasi yang tertutup sebagaimana ilustrasinya ditunjukkan pada gambar dibawah ini. 

Bandingkan dengan informasi lain yang jauh lebih sensitif namun justru terbuka lebar, seperti:

1.    Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan Komisi Pemberantas Korupsi.

2.   Data rekening dan transaksi keuangan yang dapat diakses oleh Kementerian Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

3.   Plat nomor kendaraan bermotor yang bisa dilacak untuk mengetahui identitas pemilik dan status pembayaran pajaknya.

4.  Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diumumkan KPU lengkap dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat.

Jika informasi setingkat kekayaan pribadi, rekening, atau kepemilikan kendaraan dapat diakses, tidak masuk akal bila duplikat ijazah pejabat publik justru ditutup rapat.

 

Kesimpulan: Transparansi Masih Jauh Panggang dari Api

Dari sembilan K/L/PD dan badan publik yang saya ajukan permohonan informasi:

  • Mayoritas menolak dengan alasan rahasia pribadi, padahal uji konsekuensi memungkinkan akses dengan redaksi. Bahkan KPU memperkuat penolakannya dengan menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 hanya 18 hari setelah permohonan masuk.
  • ANRI, Setneg, KPU Kota Surakarta, Pemkot Surakarta, dan Pemprov DKI Jakarta mengaku tidak menguasai, meskipun UU Kearsipan memberi mereka kewenangan daya paksa untuk menguasai arsip statis.
  • Danantara Indonesia sebagai badan publik tidak merespons sama sekali, meskipun permohonan sudah diajukan melalui email resmi contact@danantaraindonesia.com  pada 4 Agustus 2025, sesuai Pasal 22 ayat (1) UU KIP yang memerintahkan permohonan informasi diajukan dengan cara sederhana dan semurah-murahnya.

šŸ“Œ Perlu digarisbawahi, data ini diperoleh sebatas tahap awal permohonan informasi publik.

  1. Danantara: hingga kini belum memberikan jawaban, padahal sudah melebihi batas 10 hari kerja.
  2. KPU Pusat, KPU DKI Jakarta, KPU Kota Surakarta, ANRI, LKD Surakarta, dan LKD DKI Jakarta: baru memberikan jawaban PPID tingkat pertama, dan saya sedang menunggu jawaban keberatan dari Atasan PPID masing-masing lembaga.
  3. Setneg dan UGM: sudah sampai pada tahap jawaban keberatan oleh Atasan PPID.

Fakta ini memperlihatkan bahwa prinsip keterbukaan informasi publik masih jauh dari kenyataan. Jika dokumen selevel ijazah pejabat publik saja ditutup rapat, wajar bila publik meragukan komitmen negara terhadap transparansi.

Keterbukaan bukanlah pilihan, tetapi amanat undang-undang dan esensi demokrasi. Menutup ijazah pejabat publik bukan hanya melawan akal sehat, tetapi juga pengingkaran terhadap hukum yang dibuat negara itu sendiri.

 

Tabel Status Jawaban 8 K/L/PD

No.

Lembaga/Daerah

Periode

Status Jawaban

1

KPU Kota Surakarta

2005 & 2010

Mengaku tidak menguasai

2

LKD Kota Surakarta

2005 & 2010

Mengaku tidak menguasai

3

KPU Provinsi DKI Jakarta

2012

Menolak (rahasia pribadi)

4

LKD Provinsi DKI Jakarta

2012

Mengaku tidak menguasai

5

KPU Pusat

2014 & 2019

Menolak (rahasia pribadi)

6

Setneg

2014 & 2019

Mengaku tidak menguasai

7

ANRI

2014 & 2019

Mengaku tidak menguasai

8

Danantara Indonesia

2008–2019

Tidak merespons

 

Catatan:

Tulisan ini adalah bagian dari kelanjutan penelitian saya yang artikelnya dapat didownload di https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=5373341, hak-hak penulis dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia tahun 1945.


"Pejabat menang banyak, Duit Publik mau tapi Privasinya tak boleh diusik, ini mah bukan re-PUBLIK tapi pembodohan PUBLIK, mengelola Negara serasa mengelola Perusahaan sendiri"-Bonatua Silalahi.


Postingan Populer