Saya telah mengajukan permohonan informasi publik mengenai duplikat ijazah Presiden Joko Widodo ke delapan Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (K/L/PD) serta satu badan publik terkait investasi, yang secara normatif memiliki kewenangan atau keterkaitan dengan pengelolaan arsip pencalonan pejabat publik.
Hasilnya
mengecewakan.
“Mayoritas lembaga
justru menutup akses, mengelak, atau bahkan diam seribu bahasa.”
Padahal,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU Kearsipan)
secara tegas menyatakan bahwa informasi publik harus disediakan secara mudah,
cepat, dan semurah-murahnya. Realitas yang saya temukan jauh dari
semangat itu.
1. Alasan Rahasia Pribadi: Penolakan yang
Mengada-ada
Sebagian K/L/PD menolak dengan alasan ijazah termasuk
rahasia pribadi sebagaimana Pasal 17 huruf h angka 5 UU KIP: “catatan yang
menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan
formal dan nonformal.”
Namun, alasan ini problematis. Ijazah berbeda dengan
rapor atau catatan internal pendidikan. Ia adalah dokumen resmi yang bersifat deklaratif
dan memang ditujukan untuk dipakai keluar: melamar pekerjaan, mengajukan
beasiswa, atau menjadi syarat pencalonan pejabat publik.
Bahkan jika pun dianggap dokumen rahasia, tidak semua
informasi di dalam ijazah bersifat rahasia. Tulisan gelar, nama lembaga
pendidikan, nomor seri, logo, tanda pengesahan institusi—semuanya bersifat
administratif, bukan data privat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (PP 61 Tahun 2010) membuka jalan bagi Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan uji
konsekuensi dan memberikan dokumen dengan redaksi (menghitamkan data pribadi
seperti Nomor Induk Mahasiswa atau tanda tangan). Jadi, menutup akses
sepenuhnya adalah pelanggaran terhadap asas “ketat dan terbatas” yang
ditegaskan UU KIP.
Lebih jauh lagi, dalam kasus permohonan informasi duplikat
ijazah ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya berselang tiga hari
setelah permohonan saya (3 Agustus 2025) langsung mengadakan uji konsekuensi
pada Rabu, 6 Agustus 2025, dan kemudian menetapkan Keputusan KPU Nomor 731
Tahun 2025 pada 21 Agustus 2025. Keputusan ini dipakai sebagai dasar hukum baru
untuk menetapkan duplikat ijazah sebagai informasi yang dikecualikan. Tindakan
tergesa ini memperlihatkan bahwa penolakan KPU bukanlah hasil pengujian
obyektif yang matang, melainkan respons defensif untuk segera menutup akses
atas dokumen yang diminta.
2. Dalih Tidak Menguasai Dokumen: Lemah dan
Bertentangan dengan UU
Tidak sedikit lembaga yang berkilah tidak menguasai
dokumen. Beberapa di antaranya bahkan justru lembaga yang secara hukum mestinya
paling berwenang atau berkewajiban menyimpannya:
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyatakan
tidak menguasai informasi mengenai duplikat ijazah. Padahal, Pasal 46 ayat (1) UU
Kearsipan menegaskan:
“Pencipta
arsip wajib menyerahkan arsip statis kepada lembaga kearsipan.”
Bahkan Pasal 47 ayat (1) memberi
daya paksa:
“ANRI
dan lembaga kearsipan daerah berwenang memaksa pencipta arsip menyerahkan arsip
statis yang seharusnya diserahkan.”
Dengan mandat sekuat ini, alasan
ANRI sungguh tidak dapat diterima.
Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) juga menyatakan
tidak menguasai duplikat ijazah Presiden, meskipun fungsi pokoknya menurut
Perpres adalah membantu Presiden dalam penyelenggaraan administrasi kenegaraan,
termasuk urusan arsip kepresidenan dan dokumen pribadi kedinasan Presiden.
Dalih “tidak menguasai” dari Setneg jelas bertentangan dengan fungsi
kelembagaan yang melekat padanya.
KPU Kota Surakarta berdalih tidak menguasai dokumen
pencalonan Pilkada 2005 dan 2010, padahal sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU Kota adalah
penyelenggara yang menerima langsung dokumen syarat calon (termasuk ijazah)
dari kandidat. Dalih ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola
arsip Pilkada di tingkat daerah.
Pemerintah Kota Surakarta, sebagai Lembaga Kearsipan Daerah (LKD),
juga mengaku tidak menguasai dokumen, padahal mereka memiliki kewajiban menagih
arsip dari KPU atau lembaga pencipta lainnya yang berkaitan dengan pencalonan
pejabat publik asal daerahnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menggunakan alasan serupa,
seolah dokumen pencalonan Gubernur 2012 bukan bagian dari arsip statis
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalih “tidak menguasai” ini tidak hanya menunjukkan
lemahnya komitmen, tetapi juga bertentangan langsung dengan mandat UU Kearsipan
dan peraturan kelembagaan.
3. Diamnya Danantara Indonesia: Badan Publik yang
Melanggar UU KIP
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara
Indonesia) adalah badan publik yang bergerak di bidang pengelolaan
investasi negara. Dengan status tersebut, Danantara jelas terikat pada UU KIP serta
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Kaitannya dengan kasus ijazah, Joko Widodo tercatat terakhir
kali bekerja di Danantara dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Hal ini
membuat Danantara memiliki tanggung jawab administratif dan arsip atas dokumen
yang berkaitan dengan status pejabat publik yang pernah bekerja di dalamnya.
Namun, ketika diminta memberikan informasi terkait dokumen
ijazah, Danantara justru tidak merespons sama sekali. Permohonan saya telah
disampaikan melalui email ke contact@danantaraindonesia.com
pada tanggal 4 Agustus 2025, dengan pertimbangan bahwa Pasal 22 ayat (1) UU KIP
secara tegas menyatakan: “Permintaan Informasi Publik dapat diajukan dengan
cara yang sederhana dan dengan biaya seminimal mungkin.” Artinya, mekanisme
pengajuan lewat email resmi badan publik sah dan sesuai dengan perintah
undang-undang.
Sikap diam Danantara jelas melanggar Pasal 22 ayat (7) UU KIP
yang menyebut: “Badan Publik wajib memberikan jawaban atas permintaan
informasi, baik berupa pemberian informasi maupun penolakan dengan alasan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Sebagai Badan Publik, Danantara tidak bisa berdalih atau
menutup diri. Kewajibannya adalah merespons permintaan informasi secara resmi.
Diam sama sekali justru lebih bermasalah daripada menolak, karena melanggar
kewajiban hukum yang paling mendasar dalam UU KIP.
4. Semangat Keterbukaan dan Ketidaklogisan
Kerahasiaan Ijazah
UU KIP menegaskan:
Pasal 2 ayat (1):
“Setiap
Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna
Informasi Publik.”
Pasal 2 ayat (2):
“Informasi
Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.”
Artinya, prinsip dasarnya adalah keterbukaan. Pengecualian
hanyalah anomali, bukan norma. Namun, praktik lembaga-lembaga ini membalik
logika: informasi justru ditutup rapat, tanpa uji konsekuensi yang
transparan, tanpa jalan tengah berupa redaksi, dan tanpa kesediaan menjalankan
mandat kearsipan.
Pertanyaannya: wajarkah duplikat ijazah, beserta informasi
di dalamnya, dianggap rahasia?
Di dalam sebuah Duplikat ijazah terdapat:
1. Desain
ijazah seperti bentuk, ukuran, motif, jenis huruf, bahkan terdapat jejak
forensik,
2. Nama
universitas/sekolah,
3. Gelar
akademik yang diberikan,
4. Nomor
ijazah,
5. Tanggal
kelulusan,
6. Nama
pejabat penandatangan,
7.
Logo dan stempel lembaga pendidikan.
Informasi ini bersifat deklaratif dan administratif, bukan rahasia pribadi dengan begitu untuk informasi dikecualikan (rahasia) pada Dokumen Publik Terbuka dapat dilakukan penghitaman Informasi yang tertutup sebagaimana ilustrasinya ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Bandingkan dengan informasi lain yang jauh lebih sensitif
namun justru terbuka lebar, seperti:
1. Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan Komisi Pemberantas
Korupsi.
2. Data
rekening dan transaksi keuangan yang dapat diakses oleh Kementerian Keuangan
dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
3. Plat
nomor kendaraan bermotor yang bisa dilacak untuk mengetahui identitas pemilik
dan status pembayaran pajaknya.
4. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diumumkan
KPU lengkap dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat.
Jika informasi setingkat kekayaan pribadi, rekening, atau
kepemilikan kendaraan dapat diakses, tidak masuk akal bila duplikat ijazah
pejabat publik justru ditutup rapat.
Kesimpulan:
Transparansi Masih Jauh Panggang dari Api
Dari sembilan K/L/PD dan badan publik yang saya ajukan permohonan informasi:
- Mayoritas menolak dengan alasan rahasia pribadi, padahal uji konsekuensi memungkinkan akses dengan redaksi. Bahkan KPU memperkuat penolakannya dengan menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 hanya 18 hari setelah permohonan masuk.
- ANRI, Setneg, KPU Kota Surakarta, Pemkot Surakarta, dan Pemprov DKI Jakarta mengaku tidak menguasai, meskipun UU Kearsipan memberi mereka kewenangan daya paksa untuk menguasai arsip statis.
- Danantara Indonesia sebagai badan publik tidak merespons sama sekali, meskipun permohonan sudah diajukan melalui email resmi contact@danantaraindonesia.com pada 4 Agustus 2025, sesuai Pasal 22 ayat (1) UU KIP yang memerintahkan permohonan informasi diajukan dengan cara sederhana dan semurah-murahnya.
š
Perlu digarisbawahi, data ini diperoleh sebatas tahap awal permohonan informasi
publik.
- Danantara: hingga kini belum memberikan jawaban, padahal sudah melebihi batas 10 hari kerja.
- KPU Pusat, KPU DKI Jakarta, KPU Kota Surakarta, ANRI, LKD Surakarta, dan LKD DKI Jakarta: baru memberikan jawaban PPID tingkat pertama, dan saya sedang menunggu jawaban keberatan dari Atasan PPID masing-masing lembaga.
- Setneg dan UGM: sudah sampai pada tahap jawaban keberatan oleh Atasan PPID.
Fakta
ini memperlihatkan bahwa prinsip keterbukaan informasi publik masih jauh dari
kenyataan. Jika dokumen selevel ijazah pejabat publik saja ditutup rapat, wajar
bila publik meragukan komitmen negara terhadap transparansi.
Keterbukaan
bukanlah pilihan, tetapi amanat undang-undang dan esensi demokrasi. Menutup
ijazah pejabat publik bukan hanya melawan akal sehat, tetapi juga pengingkaran
terhadap hukum yang dibuat negara itu sendiri.
Tabel
Status Jawaban 8 K/L/PD
|
No. |
Lembaga/Daerah |
Periode |
Status Jawaban |
|
1 |
KPU
Kota Surakarta |
2005
& 2010 |
Mengaku
tidak menguasai |
|
2 |
LKD
Kota Surakarta |
2005
& 2010 |
Mengaku
tidak menguasai |
|
3 |
KPU
Provinsi DKI Jakarta |
2012 |
Menolak
(rahasia pribadi) |
|
4 |
LKD
Provinsi DKI Jakarta |
2012 |
Mengaku
tidak menguasai |
|
5 |
KPU
Pusat |
2014
& 2019 |
Menolak
(rahasia pribadi) |
|
6 |
Setneg |
2014
& 2019 |
Mengaku
tidak menguasai |
|
7 |
ANRI |
2014
& 2019 |
Mengaku
tidak menguasai |
|
8 |
Danantara
Indonesia |
2008–2019 |
Tidak
merespons |
