Cari Blog Ini

Minggu, 14 September 2025

Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi

Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi

Dalam beberapa waktu terakhir, saya sedang menempuh upaya resmi meminta duplikat ijazah Joko Widodo ke sejumlah Kementerian, Lembaga, dan Perangkat Daerah (K/L/PD), termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Kementerian Sekretariat Negara, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Pemerintah Kota Surakarta, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Langkah ini telah saya uraikan secara lebih luas dalam artikel sebelumnya di blog: Ontologi Bangsa Indonesia.

Tujuannya sederhana: memastikan keterbukaan arsip statis yang seharusnya dikelola oleh badan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Perkembangan di Surakarta

Pada tahap awal, PPID Pemkot Surakarta menolak permohonan informasi publik terkait duplikat ijazah tersebut. Penolakan itu kemudian diperkuat oleh Atasan PPID. Jumat lalu, saya secara resmi menerima jawaban tertulis dari Atasan PPID yang tetap menyatakan penolakan. Dengan demikian, upaya memperoleh arsip melalui jalur keberatan di Surakarta telah tertutup.

Sesuai mekanisme UU KIP, langkah berikutnya adalah membawa perkara ini ke Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Tengah. Sengketa di tingkat KI Jateng inilah yang akan menguji apakah alasan penolakan PPID dapat dipertahankan secara hukum, atau justru dibatalkan karena bertentangan dengan prinsip keterbukaan.

Perkembangan di DKI Jakarta

Situasi serupa juga terjadi di Pemprov DKI Jakarta. Permohonan informasi publik melalui PPID Pemprov DKI ditolak. Menanggapi hal itu, saya sudah mengajukan keberatan kepada Atasan PPID, yaitu Sekretaris Daerah (Sekda), pada 08 Agustus 2025.

Berdasarkan Pasal 36 UU KIP, atasan PPID wajib memberikan jawaban atas keberatan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima. Artinya, batas waktu jawaban seharusnya jatuh pada penghujung bulan September 2025.

Pertanyaan penting kemudian muncul: apakah Sekda telah berkonsultasi dengan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, sebelum memutuskan? Jika Sekda tetap menolak, maka jalan berikutnya adalah melanjutkan sengketa ini ke Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta.

Konflik Kepentingan Politik

Latar belakang politik Gubernur DKI Jakarta menambah kompleksitas persoalan ini. Pramono Anung adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang juga menaungi Presiden Joko Widodo. Rekam jejaknya panjang: dari anggota DPR RI, pimpinan fraksi, hingga menjabat Sekretaris Kabinet sebelum dipercaya rakyat memimpin DKI Jakarta.

Kedekatan politik tersebut menimbulkan potensi konflik kepentingan. Di satu sisi, sebagai pejabat daerah, Gubernur berkewajiban menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara, beliau adalah kader PDIP yaitu Partai yang belakangan berseberangan dengan Jokowi namun Publik juga tahu bagaimana kedekatannya dengan Jokowi, ia terikat pada kepentingan diantara menjaga citra partai atau relasi politik.

Inilah yang menempatkan Gubernur DKI di persimpangan: apakah ia akan menegakkan hak publik atas informasi, atau justru membiarkan kepentingan politik mendikte arah kebijakan keterbukaan?

Persimpangan Keterbukaan

Kedua kasus di Surakarta dan DKI memperlihatkan pola serupa: badan publik berusaha berlindung di balik alasan “informasi pribadi.” Padahal, Pasal 18 ayat (2) UU KIP secara tegas membuka ruang, bahwa data pribadi dapat dibuka bila “pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik”. Dengan demikian, ijazah yang digunakan untuk mendaftar sebagai Calon Walikota maupun jabatan publik lain tidak bisa dipandang semata sebagai dokumen pribadi.

Namun, publik juga perlu mencermati aspek independensi. Baik KI Jateng maupun KI DKI dibiayai melalui APBD, komisionernya dilantik oleh gubernur, dan pegawai sekretariatnya adalah aparatur pemerintah daerah. Kondisi ini membuat keputusan KI berpotensi rawan intervensi politik.

Padahal, hak atas informasi publik adalah hak asasi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945, dan ditegaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (1) UU KIP: “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik”.

Kini, publik menanti sikap Pemprov DKI. Apakah Gubernur Pramono Anung—sebagai pejabat daerah sekaligus kader PDIP—akan berpihak pada keterbukaan dan akuntabilitas, atau justru membiarkan hak masyarakat tersandera birokrasi dan kepentingan politik?

Postingan Populer