Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Oktober 2025

Kebijakan Publik Lebih Tinggi dari Hukum: Saat Legalitas Menutupi Kebenaran


“Jokowi berkata: ijazah akan ditunjukkan hanya jika hakim meminta.
Tetapi rakyat berkata: gaji, fasilitas, dan kekuasaan yang Anda nikmati berasal dari pajak kami — bukan dari hakim.
Kebijakan publik tidak menunggu hakim, karena keadilan tidak bisa ditunda.”
#KebijakanPublikLebihTinggiDariHukum #RakyatSebagaiHukum
— Dr. Bonatua Silalahi

🟥 Kebijakan Publik Lebih Tinggi dari Hukum: Saat Legalitas Menutupi Kebenaran

Oleh: Bonatua Silalahi

(Doktor Kebijakan Publik / Peneliti Independen)


Hukum sering dianggap sebagai puncak tertinggi dari sistem kekuasaan. Tetapi dalam kenyataannya, hukum sering kali tidak lagi melindungi kebenaran, melainkan menjadi perisai bagi kekuasaan.

H. R. Rodgers Jr.  “Law as an Instrument of Public Policy”
Rodgers menulis bahwa hukum dapat dipandang sebagai alat kebijakan publik, sebagai instrumen negara untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu.

Saya mengatakan:

“Law is one of the forms of public policy that has been legitimized through formal authority.”

Artinya, hukum hanyalah salah satu bentuk kebijakan publik yang diformalisasi secara politik. Tidak semua kebijakan harus menjadi hukum, tetapi semua hukum pada dasarnya lahir dari keputusan politik.

Maka, hukum bisa adil jika politiknya jujur, dan bisa jahat jika politiknya busuk.
Itulah sebabnya, kebijakan publik sebenarnya lebih tinggi dari hukum — karena hukum hanya bermakna jika ia mengabdi pada kepentingan publik dan keadilan sosial.


Jokowi dan Paradoks Legalitas

Pada Mei 2025, Presiden Joko Widodo membuat pernyataan yang menjadi sorotan publik. Ia berkata:

“Saya sampaikan, kalau ijazah asli diminta hakim, diminta pengadilan untuk ditunjukkan, saya siap datang dan menunjukkan ijazah asli yang ada. Tapi hakim yang meminta, pengadilan yang meminta.”
— (DetikNews, 20 Mei 2025)

Pernyataan ini terdengar sah secara hukum, tapi bertentangan dengan semangat kebijakan publik keterbukaan.

Ijazah seorang pejabat bukanlah dokumen pribadi. Ia adalah dokumen publik — karena menjadi dasar seseorang menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas negara yang berasal dari uang rakyat.

Ketika seorang pejabat menolak membuka dokumen publik dengan alasan “menunggu hakim”, maka hukum sedang digunakan untuk menutupi kebenaran. Padahal, menurut UU/14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, prinsip dasarnya adalah keterbukaan sejak awal (transparency by default), bukan keterbukaan setelah diperintah.


Dilema Keterbukaan

Inilah ironi yang menyakitkan:
Ketika rakyat meminta transparansi dari pejabat publik, yang terjadi justru sebaliknya — hukum menjadi benteng untuk menolak keterbukaan.

Ijazah Presiden disebut rahasia dan tak boleh diperiksa tanpa perintah hakim. Namun di sisi lain, rekening masyarakat biasa bisa diintip kapan saja oleh lembaga negara tanpa izin pengadilan.

Pemerintah bisa melacak transaksi keuangan rakyat kecil dengan dalih pajak dan bantuan sosial. Bahkan data penerima bansos dibuka secara publik — siapa pun bisa memeriksanya di situs resmi pemerintah.

Sementara itu, aset dan harta kekayaan ASN wajib diumumkan ke publik melalui KPK. Nama, nilai, dan aset pribadinya tercantum dalam sistem terbuka.

Percakapan publik di media sosial bisa direkam, dipantau, dan dipelintir tanpa perintah hakim. Polisi siber, intelijen, dan lembaga negara lainnya memiliki akses terhadap komunikasi digital rakyat — atas nama keamanan nasional.

Belum lagi data kesehatan di BPJSdata pendidikan di Dapodikdata kependudukan di Dukcapil, dan jejak digital masyarakat di aplikasi pemerintah — semuanya bisa diakses, dibagikan, bahkan dijual untuk kepentingan politik dan bisnis.

Ironisnya, di tengah keterbukaan ekstrem terhadap rakyat, dokumen yang seharusnya paling terbuka — seperti ijazah pejabat negara — justru dianggap paling tertutup.

Inilah bentuk nyata dilema keterbukaan di negeri ini:

Ketika yang berkuasa dilindungi oleh hukum, dan yang dikuasai justru dibuka atas nama hukum.


Rakyat dan Kebijakan Publik yang Hidup

Di tengah ketimpangan itu, muncul fenomena Neval — Negara Validasi Publik.
Gerakan ini lahir dari kesadaran masyarakat bahwa jika negara menutup informasi, maka rakyat harus membukanya.

Ketika KPU, PPID, atau Komisi Informasi menolak memberikan salinan dokumen publik, masyarakat mengambil alih. Mereka menelusuri arsip, memverifikasi tanda tangan, dan menyebarkan kebenaran yang ditutup oleh kekuasaan.

Eugen Ehrlich menyebut hal ini sebagai living law — hukum yang hidup di tengah masyarakat, bukan di dalam lembaran undang-undang.

Gerakan Neval membuktikan: ketika hukum digunakan untuk melindungi pejabat dari transparansi, rakyat menggunakan kebijakan publik untuk mengembalikan kebenaran.
Di sini, kebijakan publik rakyat berdiri di atas hukum formal.


Reformasi 1998: Rakyat Mengoreksi Negara

Kita sudah pernah melihat hal serupa.
Pada tahun 1998, jutaan rakyat Indonesia turun ke jalan. Secara hukum, tindakan mereka melanggar aturan formal: unjuk rasa tanpa izin, pendudukan gedung, tekanan terhadap Presiden. Tapi secara moral, tindakan itu benar.

Seperti kata Gustav Radbruch,

“When law becomes deeply unjust, justice must prevail over legal certainty.”

Reformasi bukan pemberontakan, tapi pembebasan hukum dari penindasan moral.

“Hukumlah yang mengangkat Soeharto menjadi Presiden, namun Kebijakan Publik yang menjatuhkannya.” — Dr. Bonatua Silalahi

Rakyat tidak menolak hukum, mereka menegakkan tujuan sejatinya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Revolusi Prancis dan Lahirnya Konstitusi

Sejarah dunia mencatat peristiwa serupa pada Revolusi Prancis 1789.
Hukum kerajaan waktu itu melindungi bangsawan dan menindas rakyat. Tapi rakyat bangkit, menulis ulang arah bangsa, dan melahirkan Konstitusi 1791 — yang memperkenalkan istilah constitution dan prinsip baru: Law is the expression of the general will.

Rakyat Prancis tidak hanya menumbangkan raja, tapi mengganti sumber hukum itu sendiri — dari kekuasaan menuju kehendak rakyat.
Sejak saat itulah, konstitusi modern berdiri sebagai wujud kebijakan publik rakyat.


Hukum yang Menutupi Kebenaran

Kini, kita menyaksikan bentuk baru dari ketidakadilan hukum: legalitas yang menutupi kebenaran.

Undang-undang seperti UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) kini digunakan untuk menolak keterbukaan pejabat, padahal undang-undang yang sama tidak pernah digunakan untuk melindungi rakyat dari eksploitasi data mereka.

Pasal 6 ayat (3) huruf c UU KIP sebenarnya sudah jelas:

“Data pribadi dapat dibuka apabila berkaitan dengan jabatan publik.”

Namun yang terjadi justru sebaliknya:
pejabat menggunakan hukum untuk menolak transparansi, sedangkan rakyat tidak pernah benar-benar dilindungi privasinya.

Inilah bentuk rule by law, bukan rule of law — hukum yang digunakan untuk mengatur rakyat, bukan untuk mengatur kekuasaan.


Hukum dan Legitimasi

Hukum memberikan kepastian, tetapi kebijakan publik memberi arah moral.
Keduanya seharusnya saling menguatkan, bukan bertentangan.

Namun ketika hukum kehilangan hati nuraninya, rakyat berhak menegakkan kembali keadilan dengan cara mereka sendiri. Karena sejatinya, rakyatlah hukum tertinggi.


“Hukum boleh menutup mulut rakyat,
tetapi kebijakan publik rakyat akan membuka kebenaran.
Dan ketika hukum kehilangan nuraninya,
rakyatlah yang menjadi hukum tertinggi.”
— Dr. Bonatua Silalahi


Postingan Populer