Cari Blog Ini

Multatuli-vs-Karl Marx : Penderitaan Leluhur Bangsa Indonesia.

Eduard Douwes Dekker

Mungkin kita sudah sering mendengar tokoh Novel "Max Havelaar" terbit tahun 1860 yaitu sebuah roman karya Multatuli, nama samaran penulis Belanda, Eduard Douwes Dekker dengan judul asli berbahasa Belanda "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" (bahasa Indonesia: Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Karya ini menjadi kritikan berbentuk novel satir antikolonialis dari seorang warga negara Belanda terhadap Pemerintahnya sendiri khususnya untuk Pemerintahan Hindia Belanda yang saat ini wilayahnya dikenal dengan Republik Indonesia. Tulisannya dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk akibat sistem tanam paksa yang menindas kaum pribumi di daerah asisten residen Lebak, residen Banten (saat ini bernama Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). Selain Novel Max Havelaar, Multatuli juga tercatat menerbitkan buku lainnya seperti Ideën (Ideas) antara tahun 1862 dan 1877, Woutertje Pieterse (Walter Pieterse) serta Minnebrieven (Love Letters) pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.
 
Karl Marx

Pada Era yang sama, Karl Marx (tahun 1864) juga mengeluarkan Buku berjudul Das Kapital Volume I: a critical analysis of political economy. Buku ini menuangkan isi pemikirannya yang mengkritik kejayaan kapitalis yang diduga akibat besarnya pengaruh para pakar ekonomi politik seperti Adam SmithDavid RicardoJames Milldll. Buku ini terdiri atas 8 bagian yang terbagi lagi menjadi 33 Bab serta telah diterjemahkan kedalam banyak bahasa. Dalam terjemahan versi bahasa Inggris pertamakali diterbitkan pada tahun 1886 yang diterjemahkan oleh Frederick Engels. Sebagai kelanjutannya, Karl Marx telah pula menerbitkan volume lanjutan yaitu  Volume II: subtitled The Process of Circulation of Capital,(1885), Volume III: subtitled The Process of Capitalist Production as a Whole (1894) & Volume IV: subtitled a critical history of theories of surplus value of his time. Terkait isi Volume I yang menceritakan kebangkitan Kapitalisasi Industri, sama seperti karya Multatuli bahwa ternyata Karl Marx juga sangat lantang membeberkan nasib buruk yang dialami rakyat Hindia Belanda. Pandangan itu dapat dilihat pada Volume I, Bagian VIII: Akumulasi Primitif,  Bab 31: Kejadian Kapitalis Industri. Agar memudahkan pemahaman, saya telah mencoba menyajikan kutipan Bagian VIII kedalam terjemahan Bahasa Indonesia yang dibantu memakai Google Translate yang hasilnya dapat dibaca pada artikel : Terjemahan Buku Karl Marx "Capital" Vol.1, Buku 1, Bagian VIII (Untuk Kajian Kebijakan Publik)

Bersama Friedrich Engels, mereka menerbitkan buku yang sangat kontroversi saat itu yaitu Das Manifest der Kommunistischen Partei (The Manifesto of the Communist Party) pada tahun 1848, berkat buku ini mereka berdua dianggap pemimpin pergerakan kaum buruh modern dan selalu dikaitkan dengan Marxisme–LeninismeDalam konteks ini kita tidak membahas Ajaran Komunisme/Marxisme–Leninisme sebagaimana yang dilarang pada pasal 188-189 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA tapi kita fokus pada penderitaan leluhur kita menurut gambaran Karl Marx pada bukunya Das Kapital, khususnya Volume I.


Pada bukunya Karl Marx menyebutkan bahwa dampak Kapitalisasi Industri adalah munculnya Perdagangan Manusia model Perbudakan, ini sebagai response kebijakan pemilik modal guna meningkatkan kapasitas produksi dengan cara memperbanyak tenaga kerja, disisi lain untuk memperbesar keuntungan maka biaya pengeluaran ditekan sebanyak-banyaknya sehingga Perbudakan adalah solusi paling tepat karena Jumlah Produksi dapat diperbanyak dengan memakai tenaga kerja yang dibayar cukup murah bahkan diekploitasi melampaui batas-batas kemanusiaan. Buku Das Kapital menyebut bahwa Negara Belanda adalah Pimpinan negara kapitalistik di era abad ke-17, pada era ini Karl Marx mencatat telah terjadinya praktek-praktek pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan kekejaman yang paling luar biasa. Untuk mendapatkan Budak Laki-laki dari Jawa, kolonial menciptakan sistem Perdagangan Manusia yang terdiri dari Pencuri, Penerjemah, dan Penjual, dimana untuk para Pencuri terlebih dahulu diberi latihan khusus. Fakta lain yang menarik bahwa yang bertindak sebagai agen utama penjual budak ternyata adalah para Pangeran PribumiOrang-orang muda yang dicuri, disebutkan dilempar ke ruang bawah tanah rahasia di Sulawesi, sampai mereka siap untuk dikirim ke kapal budak. Disebutkan bahwa di Kota Makassar yang berada di Pulau Sulawesi banyak dibangun penjara rahasia dan mereka dirantai setelah direnggut paksa dari keluarga mereka. Sebagai perbandingan besarnya perdagangan manusia untuk perbudakan pada saat itu, di Banyuwangi (sekarang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur), pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari 80.000 jiwa namun pada tahun 1811 tersisa hanya 18.000 jiwa, terdapat perdagangan 62.000 jiwa kurun 61 tahun, dan jika dirata-ratakan diperdagangkan 1.000 jiwa pertahun.

Multatuli dan Karl Marx sama-sama tokoh Eropah yang mengangkat penderitaan leluhur Bangsa Indonesia kedalam tulisan yang dibaca banyak orang meskipun dari perspektif yang berbeda. Multatuli berangkat dari aspek sosial bagaimana perlakuan Bupati dan Demang terhadap rakyat jelata yang dijadikan pekerja kebun produksi tanam paksa, sedangkan Marx berangkat dari kritisi perspektif teori ekonomi klasik yang menekankan pentingnya penghematan dan investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan mereka (aliran klasik) berpendapat bahwa kekayaan dan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui akumulasi Kapital (modal) dan pengembangan teknologi yang menjadikan perbudakan sebagai tenaga kerja murah di perkebunan produksi yang menghasilkan bahan baku teknologi industri Kapas, kopi dan lainnya.

Multatuli dipandang hanya mengkritik bangsa sendiri yaitu Gubernur, Residence, Bupati dan Kepala Rendahan (Demang) yang merupakan para pelaksana Pemerintahan  Hindia Belanda sedangkan Marx mengkritik sistem Perekonomian para bangsa Kapitalis seperti Belanda, Perancis, Jerman, Inggris, Spanyol, Portugis dan lainnya yang saat ini sering disebut pihak Barat, menceritakan bagaimana kekejaman dan kehancuran akibat Kapitalisasi Koloni bagi rakyat pribumi. Konsekuensinya jelas berbeda dimana Multatuli didengar dan dilakukan perbaikan oleh pemerintahnya bahkan bagi masyarakat Hindia Belanda dan Republik Indonesia saat ini sering dianggap sebagai Pahlawan, sedangkan nasib Karl Marx sangat berbeda, dia mengalami penolakan secara politik di eropa barat dan tercatat meninggal tanpa memiliki status kewarganegaraan. 

Dampak buku Multatuli adalah dihentikannya praktek tanam paksa di Hindia Belanda dan dianggap pahlawan oleh masyarakat Hindia Belanda, sedangkan dampak buku Karl Marx munculnya gerakan sosialis, Das kapital secara umum mengkritisi ekonomi Kapitalistis yang mengutamakan keuntungan pemilik modal (kapital) dan kaum Borjuis sedangkan Marx menitikberatkan kesejahteraan sosial para buruh, pekerja dan kaum pinggiran. Tak heran jika Negara Kapitalis yang dianut mayoritas negara-negara di Eropa Barat sangat anti terhadap ajaran Marx yang justru berkembang pesat di negara-negara Eropa Timur seperti Rusia.

Praktek tanam paksa yang dikritik Multatuli sepertinya sudah tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia bahkan Dunia, sangat berbeda dengan Perdagangan Manusia yang diangkat Karl Marx. Dilansir dari www.liputan6.com, 30 Mei 2023, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut ada sebanyak 1.900 mayat dipulangkan ke Indonesia terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Data ini didapat Mahfud Md dari laporan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani saat rapat kabinet untuk membahas TPPO. Ini membuktikan kepedihan Karl Marx terhadap Perdagangan Manusia di Hindia Belanda ternyata masih terjadi di Republik Indonesia hingga saat ini. Mungkin yang berbeda hanya pelakunya, dimana dulu dilakukan oknum Bangsawan namun kini dilakukan banyak orang dengan di backingi para oknum aparat negara. 

Multatuli menceritakan penderitaan leluhur kita dengan pendekatan kualitatif yang kepedihannya dapat kita rasakan namun tidak dapat diukur, berbeda dengan Marx yang melakukan pendekatan Kuantitatif sehingga dahsyatnya jumlah perbudakan di Banyuwangi dapat diukur dan dirasakan, tentunya ini bisa memberikan gambaran kengerian apa yang terjadi apabila kejadian serupa dialami leluhur kita ditempat lain di wilayah Hindia Belanda. Kengerian itu sampai saat ini bekasnya dapat dilihat dan dibuktikan dengan terdapatnya 95.740 orang (22,8%) populasi orang Jawa bermukim di Negara Suriname yang mayoritas warganya berasal dari negara pendudukan Hindia Belanda. Mereka adalah keturunan orang Jawa yang dahulu dibawa Belanda untuk bekerja di perkebunan koloninya bersama korban perbudakan dari bangsa lainnya.

Buku Novel Karya Multatuli banyak beredar luas di masyarakat Hindia Belanda karena tidak ada larangan, sangat berbeda dengan karya Karl Marx yang tidak beredar bebas karena dibatasi menjadi konsumsi dunia kampus di Eropa Barat dan Koloninya karena pandangannya yang berpihak kepada Buruh di era Industriaisasi Barat. Karl Marx selalu dikaitkan sebagai sumber ajaran lahirnya paham Komunisme yang diadopsi oleh Vladimir Lenin (1870-1924), Joseph Stalin (1878-1953) dan Mao Zedong (1893-1976) dimana paham ini justru lahir dan berkembang pasca kematiannya ditahun 1883. 

Demikianlah kajian ini saya sampaikan dan berharap menjadi bahan diskusi Ilmiah terutama dalam rangka menggali buku-buku lama yang menceritakan kondisi leluhur bangsa Indonesia, bisa saja isinya sudah tidak valid pada kondisi saat ini dan untuk itu dimohon kebijakan pembaca untuk menelaahnya.

Salam.

Catt: 
Buku-buku dapat dibaca/pinjam di Perpustakaan Nasional dengan rincian sebagai berikut:

No. BarcodeNo. PanggilAkseslokasiketersediaan
00001552879831.31 MUL mBaca di tempatPerpustakaan Salemba
(Lantai 03C-Salemba)
Tersedia 

Das kapital / Karl Marx
No. BarcodeNo. PanggilAkseslokasiketersediaan
101137696550 : - 2024; 50 : - 2024Baca di tempatPerpustakaan Salemba
(Lantai 05C-Salemba)
Tersedia 

Intermezo : 
Ternyata begitu perihnya penderitaan leluhur bangsa kita sehingga kepedihan itu membuat Bung Karno bersikap Anti Eksploitasi Manusia terhadap Manusia lainnya yang disampaikan pada Pidato Kenegaraannya 17 Agustus 1964 sebagai berikut:

Dunia Baru tanpa Exploitation de l’homme par l’homme  (Eksploitasi Manusia atas Manusia lainnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

POSTINGAN UNGGULAN

Nasib Pemberantasan KOLUSI dan NEPOTISME.

     Akhir-akhir ini kembali ramai perbincangan di masyarakat seputar tentang Kolusi dan Nepotisme terutama dalam bentuk  Bisnis Keluarga da...