Cari Blog Ini

SALINAN IJAZAH (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI

 



SALINAN IJAZAH PEJABAT PUBLIK (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI

Banyak orang masih salah paham soal dokumen ijazah pejabat publik. Padahal, secara hukum, salinan ijazah terlegalisir yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi milik pribadi, melainkan sudah menjadi milik publik.

Setiap calon pejabat negara seperti presiden, kepala daerah, anggota DPR, atau DPD wajib menyerahkan salinan ijazah terlegalisir sebagai syarat pendaftaran. Begitu dokumen itu diterima dan disimpan oleh KPU, statusnya langsung berubah menjadi informasi publik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU/14/2008 KIP).

Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Artinya, sejak ijazah itu diserahkan ke KPU, dokumen tersebut sudah menjadi bagian dari penyelenggaraan negara dan otomatis menjadi hak publik untuk diakses.

Setelah masa pemilihan berakhir, dokumen-dokumen seperti ijazah tidak dikembalikan lagi kepada calon, termasuk kepada pihak yang kalah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU/43/2009 Kearsipan), dokumen tersebut berubah status menjadi arsip statis — yaitu arsip yang memiliki nilai sejarah dan menjadi milik negara. Pasal 48 undang-undang ini menegaskan bahwa arsip statis dikuasai dan dikelola oleh lembaga kearsipan, yaitu Lembaga Kearsipan Daerah (LKD) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Dengan demikian, ijazah pejabat yang pernah digunakan untuk pendaftaran tetap menjadi milik negara, bukan lagi milik pribadi, dan tetap disimpan selamanya sebagai bagian dari sejarah penyelenggaraan negara.

Hal penting lainnya, ketika para calon pejabat menyerahkan dokumen ke KPU, mereka menandatangani surat pernyataan keaslian dokumen tanpa mencantumkan keberatan atas publikasi. Tidak ada satu pun klausul dalam formulir pendaftaran yang melarang publikasi atau akses publik terhadap dokumen yang diserahkan. Artinya, para calon tidak pernah menyatakan keberatan jika dokumennya dibuka untuk publik. Dalam hukum administrasi, jika tidak ada keberatan tertulis, hal itu dianggap sebagai persetujuan diam-diam (tacit consent). Maka, publik berhak penuh untuk mengetahui dan memeriksa isi dokumen tersebut.

Sering kali, alasan yang dipakai untuk menolak permohonan informasi adalah dalih perlindungan data pribadi. Padahal, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU/27/2022 PDP) secara jelas menyatakan pengecualian terhadap dokumen publik. Pasal 2 ayat (2) menyebut bahwa ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap pemrosesan data pribadi untuk kepentingan penegakan hukum, pertahanan dan keamanan, serta penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh lembaga negara dan lembaga publik lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan kata lain, apabila data pribadi diproses oleh badan publik seperti KPU, ANRI, pemerintah daerah, BUMN, atau Sekretariat Negara dalam rangka penyelenggaraan negara, maka UU PDP tidak berlaku. Salinan ijazah pejabat publik yang diserahkan ke KPU merupakan bagian dari penyelenggaraan negara, sehingga tidak dilindungi oleh UU PDP. Karena itu, menolak permohonan publik dengan alasan “data pribadi” tidak memiliki dasar hukum.

Keterbukaan informasi seperti ini bukan untuk mempermalukan siapa pun, melainkan untuk menjaga kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas pejabat publik. Tujuan utama dari Keterbukaan Informasi Publik dalam UU/14/2008 KIP adalah untuk menjamin hak warga negara mengetahui proses kebijakan publik, mendorong partisipasi masyarakat, dan menciptakan penyelenggaraan negara yang transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Maka membuka ijazah pejabat publik bukan tindakan mencari-cari kesalahan, melainkan bagian dari pengawasan rakyat terhadap pejabat yang digaji oleh rakyat.

Setelah dokumen menjadi arsip statis, lembaga yang berwenang menyimpannya adalah KPU, LKD, dan ANRI. Ketiganya wajib membuka akses kepada masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam Pasal 86 UU/43/2009 Kearsipan disebutkan bahwa pejabat yang dengan sengaja menolak menyerahkan atau menghilangkan arsip statis dapat dipidana hingga 10 tahun penjara. Begitu juga dalam Pasal 52 UU/14/2008 KIP, pejabat yang menolak memberikan informasi publik dapat dipidana penjara selama 1 tahun atau denda paling banyak Rp5 juta.

Maka, jika badan publik seperti KPU, KPUD, ANRI, Setneg, Pemda, BUMN, atau BHMN menolak membuka salinan ijazah pejabat publik yang sudah menjadi dokumen publik, penolakan itu jelas melanggar hukum. Dokumen tersebut bukan rahasia pribadi, bukan rahasia negara, dan tidak termasuk kategori data pribadi yang dilindungi UU PDP.

Menutup akses publik terhadap ijazah pejabat publik sama saja menutup kebenaran yang menjadi hak rakyat. Kita tidak sedang membuka aib seseorang, tetapi sedang menegakkan hak konstitusional rakyat atas informasi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Ketika seseorang memutuskan menjadi pejabat negara, semua dokumen yang menjadi dasar pencalonannya otomatis menjadi dokumen publik yang dapat diperiksa oleh rakyat.

Keterbukaan ijazah pejabat publik adalah cermin kejujuran negara. Demokrasi tidak akan hidup tanpa transparansi.
Karena itu, ijazah pejabat publik bukan data pribadi, bukan rahasia negara, dan bukan milik individu — melainkan milik rakyat Indonesia.


#KeterbukaanInformasiPublik
#NoViralNoJustice
#ArsipMilikPublik
#IjazahBukanDataPribadi
#DemokrasiTanpaTransparansiBukanDemokrasi

POSTINGAN UNGGULAN

SALINAN IJAZAH (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI

  SALINAN IJAZAH PEJABAT PUBLIK (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI Banyak orang masih salah paham soal dokumen ijazah pejabat...