Cari Blog Ini
Senin, 27 Oktober 2025
Sabtu, 25 Oktober 2025
Sabtu, 18 Oktober 2025
PKPU Nomor 19 Tahun 2023: Ketika Regulasi Pemilu Berubah Arah Politik
⚖️ PKPU Nomor 19 Tahun 2023: Ketika Regulasi Pemilu Berubah Arah Politik
Oleh: Dr. Bonatua Silalahi (Doktor Kebijakan Publik)
ontologibangsaindonesia.blogspot.com
๐️ Pengantar
Perubahan peraturan pemilu sering kali dianggap sekadar penyempurnaan teknis. Namun, tidak demikian halnya dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PKPU/19/2023).
Jika ditelusuri dengan cermat, peraturan ini bukan hanya revisi administratif dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2018 (PKPU/22/2018), melainkan pergeseran arah hukum dan politik dalam sistem pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Tulisan ini menelusuri kronologi, perubahan substansi, dan implikasi hukumnya—serta mengapa revisi ini menjadi sorotan publik, terutama pada pasal yang membuka pengecualian terhadap bukti kelulusan pendidikan menengah atas.
๐️ Identitas Regulasi
| Aspek | PKPU/22/2018 | PKPU/19/2023 |
|---|---|---|
| Judul Lengkap | Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden | Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden |
| Tanggal Penetapan | 31 Agustus 2018 | 23 Oktober 2023 |
| Tanggal Pengundangan | 6 September 2018 (Berita Negara RI No. 1101/2018) | 25 Oktober 2023 (Berita Negara RI No. 1036/2023) |
| Ketua KPU yang Mengesahkan | Arief Budiman | Hasyim Asy’ari |
| Konteks Politik | Menjelang Pemilu 2019 | Menjelang Pemilu 2024 |
Kedua PKPU ini sama-sama mengatur mekanisme pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, konteks politik dan tekanan hukum di baliknya sangat berbeda. Tahun 2018, KPU masih berperan sebagai pelaksana teknis pemilu yang relatif steril dari kontroversi hukum. Tahun 2023, KPU berada di bawah sorotan publik karena dua isu besar: putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia calon, dan dugaan inkonsistensi verifikasi ijazah calon.
⚙️ Perbandingan Substansi Pokok
| Aspek | PKPU/22/2018 | PKPU/19/2023 | Analisis |
|---|---|---|---|
| Dasar Hukum | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU/7/2017) | Sama, ditambah Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 | Menyesuaikan putusan MK terkait batas usia 40 tahun bagi calon presiden/wakil presiden. |
| Syarat Administratif | Pasal 13 huruf m: menyerahkan fotokopi ijazah terakhir yang dilegalisasi oleh instansi penerbit. | Pasal 18 ayat (1) huruf m tetap sama, tetapi ditambah ayat (3) yang menyatakan pengecualian bagi calon yang tidak memiliki bukti kelulusan SMA dan telah memiliki ijazah perguruan tinggi. | Perubahan paling kontroversial karena mengubah struktur logika pendidikan formal yang telah diatur dalam UU/7/2017. |
| Usia Calon | Minimal 40 tahun tanpa pengecualian. | Minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat kepala daerah. | Penyesuaian terhadap Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. |
| Verifikasi Ijazah | Wajib menyerahkan salinan terlegalisasi dan dapat diverifikasi. | Tidak mewajibkan klarifikasi ke perguruan tinggi penerbit. | Menurunkan standar keabsahan administratif dokumen publik. |
| Metode Pendaftaran | Manual di kantor KPU RI. | Elektronik melalui SILON dan fisik (hybrid). | Adaptasi teknologi, tetapi meningkatkan risiko manipulasi digital. |
๐ Kronologi Pembentukan PKPU/19/2023
Proses penyusunan PKPU/19/2023 tidak sepenuhnya transparan di mata publik. Berdasarkan penelusuran terhadap arsip JDIH KPU dan pemberitaan media nasional, diperoleh garis waktu berikut:
-
Akhir September 2023 — Rancangan PKPU mulai dibahas internal KPU, menindaklanjuti hasil Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka ruang bagi calon di bawah 40 tahun.
-
Awal Oktober 2023 — Rancangan PKPU dikonsultasikan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk harmonisasi. Tidak ada catatan publik mengenai uji publik sebagaimana lazim dilakukan sebelumnya.
-
9 Oktober 2023 — KPU menggelar rapat pleno internal untuk menetapkan naskah akhir rancangan PKPU.
-
23 Oktober 2023 — Ketua KPU Hasyim Asy’ari menandatangani naskah final PKPU/19/2023.
-
25 Oktober 2023 — PKPU/19/2023 diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 1036 Tahun 2023.
Tidak ditemukan publikasi resmi mengenai berita acara pleno KPU, risalah konsultasi publik, atau pendapat masyarakat dalam penyusunan peraturan ini. Padahal, menurut prinsip good governance dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU/25/2009), setiap perubahan kebijakan publik wajib melewati mekanisme partisipasi masyarakat dan uji konsekuensi kebijakan.
⚖️ Analisis Kebijakan Publik dan Hukum
-
Norma Baru yang Melampaui Undang-Undang (Ultra Vires)
Pasal 18 ayat (3) PKPU/19/2023 menambahkan norma baru yang tidak terdapat dalam UU/7/2017.
Artinya, KPU tidak hanya melaksanakan undang-undang, tetapi justru menciptakan norma hukum baru yang bersifat substantif. Ini melanggar asas lex superior derogat legi inferiori, di mana peraturan teknis tidak boleh menambah atau mengurangi isi undang-undang. -
Pelemahan Prinsip Verifikasi Administratif
Ketika PKPU/22/2018 mewajibkan penyerahan ijazah yang dilegalisasi dan dapat diverifikasi, PKPU/19/2023 tidak lagi memerintahkan KPU untuk melakukan klarifikasi ke universitas penerbit.
Hal ini melemahkan fungsi pengawasan administratif dan membuka ruang fraud dokumen publik. -
Keterbukaan Informasi yang Terkunci
Dokumen ijazah yang diserahkan ke KPU merupakan dokumen publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU/14/2008).
Namun, tidak ada mekanisme transparansi publik untuk memastikan keaslian dokumen tersebut. KPU justru menambahkan klausul pernyataan bermaterai yang membatasi hak publik untuk memeriksa. -
Aspek Politik Hukum
Secara substansial, PKPU/19/2023 memperlihatkan kecenderungan politisasi lembaga penyelenggara pemilu.
Ketentuan “pengecualian ijazah SMA” dan “penyesuaian usia” dibuat tepat menjelang tahapan pendaftaran calon Presiden dan Wakil Presiden, yang secara politis menguntungkan pihak tertentu.
Ini menggeser posisi KPU dari pelaksana teknis menjadi aktor politik dalam kebijakan hukum pemilu.
๐ Implikasi terhadap Integritas Pemilu
Revisi PKPU/19/2023 menimbulkan sedikitnya tiga konsekuensi serius:
-
Krisis Kepercayaan Publik terhadap KPU.
Ketika lembaga penyelenggara pemilu mengubah norma substantif, publik mulai meragukan independensinya. -
Potensi Sengketa Hukum di Masa Depan.
Pasal 18 ayat (3) berpotensi digugat ke Mahkamah Agung melalui mekanisme judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. -
Menurunnya Standar Etika Birokrasi Pemilu.
Tanpa kewajiban verifikasi ijazah ke lembaga penerbit, standar administrasi calon pejabat publik menjadi lebih rendah dari standar ASN biasa.
๐งฉ Penutup
Dari sisi kebijakan publik, PKPU/19/2023 adalah pergeseran paradigma, bukan sekadar revisi.
Ia menunjukkan bahwa di Indonesia, peraturan teknis pun dapat diarahkan oleh kepentingan politik.
Ketika hukum dijalankan tanpa uji publik, tanpa berita acara yang terbuka, dan tanpa akuntabilitas administratif, maka yang sesungguhnya berubah bukan hanya pasalnya—tetapi juga fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga negara.
“Hukum adalah kebijakan publik yang telah dilembagakan.”
Dan ketika kebijakan publik disusupi oleh kepentingan politik,
maka hukum kehilangan rohnya.
๐ Referensi
-
PKPU/22/2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
-
PKPU/19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
-
UU/7/2017 tentang Pemilihan Umum.
-
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.
-
UU/14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
-
UU/25/2009 tentang Pelayanan Publik.
-
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU/37/2008).
๐️ Salam Keterbukaan
Dr. Bonatua Silalahi
(Doktor Kebijakan Publik)
Rabu, 15 Oktober 2025
Selasa, 14 Oktober 2025
Senin, 13 Oktober 2025
Sabtu, 11 Oktober 2025
Kebijakan Publik Lebih Tinggi dari Hukum: Saat Legalitas Menutupi Kebenaran
Tetapi rakyat berkata: gaji, fasilitas, dan kekuasaan yang Anda nikmati berasal dari pajak kami — bukan dari hakim.
Kebijakan publik tidak menunggu hakim, karena keadilan tidak bisa ditunda.”
#KebijakanPublikLebihTinggiDariHukum #RakyatSebagaiHukum
— Dr. Bonatua Silalahi
๐ฅ Kebijakan Publik Lebih Tinggi dari Hukum: Saat Legalitas Menutupi Kebenaran
Oleh: Bonatua Silalahi
(Doktor Kebijakan Publik / Peneliti Independen)
Hukum sering dianggap sebagai puncak tertinggi dari sistem kekuasaan. Tetapi dalam kenyataannya, hukum sering kali tidak lagi melindungi kebenaran, melainkan menjadi perisai bagi kekuasaan.
H. R. Rodgers Jr. — “Law as an Instrument of Public Policy”
Rodgers menulis bahwa hukum dapat dipandang sebagai alat kebijakan publik, sebagai instrumen negara untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu.
Saya mengatakan:
“Law is one of the forms of public policy that has been legitimized through formal authority.”
Artinya, hukum hanyalah salah satu bentuk kebijakan publik yang diformalisasi secara politik. Tidak semua kebijakan harus menjadi hukum, tetapi semua hukum pada dasarnya lahir dari keputusan politik.
Maka, hukum bisa adil jika politiknya jujur, dan bisa jahat jika politiknya busuk.
Itulah sebabnya, kebijakan publik sebenarnya lebih tinggi dari hukum — karena hukum hanya bermakna jika ia mengabdi pada kepentingan publik dan keadilan sosial.
Jokowi dan Paradoks Legalitas
Pada Mei 2025, Presiden Joko Widodo membuat pernyataan yang menjadi sorotan publik. Ia berkata:
“Saya sampaikan, kalau ijazah asli diminta hakim, diminta pengadilan untuk ditunjukkan, saya siap datang dan menunjukkan ijazah asli yang ada. Tapi hakim yang meminta, pengadilan yang meminta.”
— (DetikNews, 20 Mei 2025)
Pernyataan ini terdengar sah secara hukum, tapi bertentangan dengan semangat kebijakan publik keterbukaan.
Ijazah seorang pejabat bukanlah dokumen pribadi. Ia adalah dokumen publik — karena menjadi dasar seseorang menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas negara yang berasal dari uang rakyat.
Ketika seorang pejabat menolak membuka dokumen publik dengan alasan “menunggu hakim”, maka hukum sedang digunakan untuk menutupi kebenaran. Padahal, menurut UU/14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, prinsip dasarnya adalah keterbukaan sejak awal (transparency by default), bukan keterbukaan setelah diperintah.
Dilema Keterbukaan
Inilah ironi yang menyakitkan:
Ketika rakyat meminta transparansi dari pejabat publik, yang terjadi justru sebaliknya — hukum menjadi benteng untuk menolak keterbukaan.
Ijazah Presiden disebut rahasia dan tak boleh diperiksa tanpa perintah hakim. Namun di sisi lain, rekening masyarakat biasa bisa diintip kapan saja oleh lembaga negara tanpa izin pengadilan.
Pemerintah bisa melacak transaksi keuangan rakyat kecil dengan dalih pajak dan bantuan sosial. Bahkan data penerima bansos dibuka secara publik — siapa pun bisa memeriksanya di situs resmi pemerintah.
Sementara itu, aset dan harta kekayaan ASN wajib diumumkan ke publik melalui KPK. Nama, nilai, dan aset pribadinya tercantum dalam sistem terbuka.
Percakapan publik di media sosial bisa direkam, dipantau, dan dipelintir tanpa perintah hakim. Polisi siber, intelijen, dan lembaga negara lainnya memiliki akses terhadap komunikasi digital rakyat — atas nama keamanan nasional.
Belum lagi data kesehatan di BPJS, data pendidikan di Dapodik, data kependudukan di Dukcapil, dan jejak digital masyarakat di aplikasi pemerintah — semuanya bisa diakses, dibagikan, bahkan dijual untuk kepentingan politik dan bisnis.
Ironisnya, di tengah keterbukaan ekstrem terhadap rakyat, dokumen yang seharusnya paling terbuka — seperti ijazah pejabat negara — justru dianggap paling tertutup.
Inilah bentuk nyata dilema keterbukaan di negeri ini:
Ketika yang berkuasa dilindungi oleh hukum, dan yang dikuasai justru dibuka atas nama hukum.
Rakyat dan Kebijakan Publik yang Hidup
Di tengah ketimpangan itu, muncul fenomena Neval — Negara Validasi Publik.
Gerakan ini lahir dari kesadaran masyarakat bahwa jika negara menutup informasi, maka rakyat harus membukanya.
Ketika KPU, PPID, atau Komisi Informasi menolak memberikan salinan dokumen publik, masyarakat mengambil alih. Mereka menelusuri arsip, memverifikasi tanda tangan, dan menyebarkan kebenaran yang ditutup oleh kekuasaan.
Eugen Ehrlich menyebut hal ini sebagai living law — hukum yang hidup di tengah masyarakat, bukan di dalam lembaran undang-undang.
Gerakan Neval membuktikan: ketika hukum digunakan untuk melindungi pejabat dari transparansi, rakyat menggunakan kebijakan publik untuk mengembalikan kebenaran.
Di sini, kebijakan publik rakyat berdiri di atas hukum formal.
Reformasi 1998: Rakyat Mengoreksi Negara
Kita sudah pernah melihat hal serupa.
Pada tahun 1998, jutaan rakyat Indonesia turun ke jalan. Secara hukum, tindakan mereka melanggar aturan formal: unjuk rasa tanpa izin, pendudukan gedung, tekanan terhadap Presiden. Tapi secara moral, tindakan itu benar.
Seperti kata Gustav Radbruch,
“When law becomes deeply unjust, justice must prevail over legal certainty.”
Reformasi bukan pemberontakan, tapi pembebasan hukum dari penindasan moral.
“Hukumlah yang mengangkat Soeharto menjadi Presiden, namun Kebijakan Publik yang menjatuhkannya.” — Dr. Bonatua Silalahi
Rakyat tidak menolak hukum, mereka menegakkan tujuan sejatinya: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Revolusi Prancis dan Lahirnya Konstitusi
Sejarah dunia mencatat peristiwa serupa pada Revolusi Prancis 1789.
Hukum kerajaan waktu itu melindungi bangsawan dan menindas rakyat. Tapi rakyat bangkit, menulis ulang arah bangsa, dan melahirkan Konstitusi 1791 — yang memperkenalkan istilah constitution dan prinsip baru: Law is the expression of the general will.
Rakyat Prancis tidak hanya menumbangkan raja, tapi mengganti sumber hukum itu sendiri — dari kekuasaan menuju kehendak rakyat.
Sejak saat itulah, konstitusi modern berdiri sebagai wujud kebijakan publik rakyat.
Hukum yang Menutupi Kebenaran
Kini, kita menyaksikan bentuk baru dari ketidakadilan hukum: legalitas yang menutupi kebenaran.
Undang-undang seperti UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) kini digunakan untuk menolak keterbukaan pejabat, padahal undang-undang yang sama tidak pernah digunakan untuk melindungi rakyat dari eksploitasi data mereka.
Pasal 6 ayat (3) huruf c UU KIP sebenarnya sudah jelas:
“Data pribadi dapat dibuka apabila berkaitan dengan jabatan publik.”
Namun yang terjadi justru sebaliknya:
pejabat menggunakan hukum untuk menolak transparansi, sedangkan rakyat tidak pernah benar-benar dilindungi privasinya.
Inilah bentuk rule by law, bukan rule of law — hukum yang digunakan untuk mengatur rakyat, bukan untuk mengatur kekuasaan.
Hukum dan Legitimasi
Hukum memberikan kepastian, tetapi kebijakan publik memberi arah moral.
Keduanya seharusnya saling menguatkan, bukan bertentangan.
Namun ketika hukum kehilangan hati nuraninya, rakyat berhak menegakkan kembali keadilan dengan cara mereka sendiri. Karena sejatinya, rakyatlah hukum tertinggi.
“Hukum boleh menutup mulut rakyat,
tetapi kebijakan publik rakyat akan membuka kebenaran.
Dan ketika hukum kehilangan nuraninya,
rakyatlah yang menjadi hukum tertinggi.”
— Dr. Bonatua Silalahi
Senin, 06 Oktober 2025
Minggu, 05 Oktober 2025
SALINAN IJAZAH (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI
SALINAN IJAZAH PEJABAT PUBLIK (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI
Banyak orang masih salah paham soal dokumen ijazah pejabat publik. Padahal, secara hukum, salinan ijazah terlegalisir yang diserahkan tanpa syarat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi milik pribadi, melainkan sudah menjadi milik publik.
Setiap calon pejabat negara seperti presiden, kepala daerah, anggota DPR, atau DPD wajib menyerahkan salinan ijazah terlegalisir sebagai syarat pendaftaran. Begitu dokumen itu diterima dan disimpan oleh KPU, statusnya langsung berubah menjadi informasi publik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU/14/2008 KIP).
Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Artinya, sejak ijazah itu diserahkan ke KPU, dokumen tersebut sudah menjadi bagian dari penyelenggaraan negara dan otomatis menjadi hak publik untuk diakses.
Setelah masa pemilihan berakhir, dokumen-dokumen seperti ijazah tidak dikembalikan lagi kepada calon, termasuk kepada pihak yang kalah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU/43/2009 Kearsipan), dokumen tersebut berubah status menjadi arsip statis — yaitu arsip yang memiliki nilai sejarah dan menjadi milik negara. Pasal 48 undang-undang ini menegaskan bahwa arsip statis dikuasai dan dikelola oleh lembaga kearsipan, yaitu Lembaga Kearsipan Daerah (LKD) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Dengan demikian, ijazah pejabat yang pernah digunakan untuk pendaftaran tetap menjadi milik negara, bukan lagi milik pribadi, dan tetap disimpan selamanya sebagai bagian dari sejarah penyelenggaraan negara.
Hal penting lainnya, ketika para calon pejabat menyerahkan dokumen ke KPU, mereka menandatangani surat pernyataan keaslian dokumen tanpa mencantumkan keberatan atas publikasi. Tidak ada satu pun klausul dalam formulir pendaftaran yang melarang publikasi atau akses publik terhadap dokumen yang diserahkan. Artinya, para calon tidak pernah menyatakan keberatan jika dokumennya dibuka untuk publik. Dalam hukum administrasi, jika tidak ada keberatan tertulis, hal itu dianggap sebagai persetujuan diam-diam (tacit consent). Maka, publik berhak penuh untuk mengetahui dan memeriksa isi dokumen tersebut.
Sering kali, alasan yang dipakai untuk menolak permohonan informasi adalah dalih perlindungan data pribadi. Padahal, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU/27/2022 PDP) secara jelas menyatakan pengecualian terhadap dokumen publik. Pasal 2 ayat (2) menyebut bahwa ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap pemrosesan data pribadi untuk kepentingan penegakan hukum, pertahanan dan keamanan, serta penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh lembaga negara dan lembaga publik lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, apabila data pribadi diproses oleh badan publik seperti KPU, ANRI, pemerintah daerah, BUMN, atau Sekretariat Negara dalam rangka penyelenggaraan negara, maka UU PDP tidak berlaku. Salinan ijazah pejabat publik yang diserahkan ke KPU merupakan bagian dari penyelenggaraan negara, sehingga tidak dilindungi oleh UU PDP. Karena itu, menolak permohonan publik dengan alasan “data pribadi” tidak memiliki dasar hukum.
Keterbukaan informasi seperti ini bukan untuk mempermalukan siapa pun, melainkan untuk menjaga kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas pejabat publik. Tujuan utama dari Keterbukaan Informasi Publik dalam UU/14/2008 KIP adalah untuk menjamin hak warga negara mengetahui proses kebijakan publik, mendorong partisipasi masyarakat, dan menciptakan penyelenggaraan negara yang transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Maka membuka ijazah pejabat publik bukan tindakan mencari-cari kesalahan, melainkan bagian dari pengawasan rakyat terhadap pejabat yang digaji oleh rakyat.
Setelah dokumen menjadi arsip statis, lembaga yang berwenang menyimpannya adalah KPU, LKD, dan ANRI. Ketiganya wajib membuka akses kepada masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam Pasal 86 UU/43/2009 Kearsipan disebutkan bahwa pejabat yang dengan sengaja menolak menyerahkan atau menghilangkan arsip statis dapat dipidana hingga 10 tahun penjara. Begitu juga dalam Pasal 52 UU/14/2008 KIP, pejabat yang menolak memberikan informasi publik dapat dipidana penjara selama 1 tahun atau denda paling banyak Rp5 juta.
Maka, jika badan publik seperti KPU, KPUD, ANRI, Setneg, Pemda, BUMN, atau BHMN menolak membuka salinan ijazah pejabat publik yang sudah menjadi dokumen publik, penolakan itu jelas melanggar hukum. Dokumen tersebut bukan rahasia pribadi, bukan rahasia negara, dan tidak termasuk kategori data pribadi yang dilindungi UU PDP.
Menutup akses publik terhadap ijazah pejabat publik sama saja menutup kebenaran yang menjadi hak rakyat. Kita tidak sedang membuka aib seseorang, tetapi sedang menegakkan hak konstitusional rakyat atas informasi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Ketika seseorang memutuskan menjadi pejabat negara, semua dokumen yang menjadi dasar pencalonannya otomatis menjadi dokumen publik yang dapat diperiksa oleh rakyat.
Keterbukaan ijazah pejabat publik adalah cermin kejujuran negara. Demokrasi tidak akan hidup tanpa transparansi.
Karena itu, ijazah pejabat publik bukan data pribadi, bukan rahasia negara, dan bukan milik individu — melainkan milik rakyat Indonesia.
#KeterbukaanInformasiPublik
#NoViralNoJustice
#ArsipMilikPublik
#IjazahBukanDataPribadi
#DemokrasiTanpaTransparansiBukanDemokrasi
Sabtu, 04 Oktober 2025
Kamis, 02 Oktober 2025
Postingan Populer
-
Kisah ini saya terjemahkan dari buku Rebecca D. Catz berjudul THE TRAVELS OF MENDES PINTO pada tahun 1989, khusus BAB 13 sampai BAB ...
-
SALINAN IJAZAH PEJABAT PUBLIK (TERLEGALISIR) MILIK PUBLIK, BUKAN MILIK PRIBADI Banyak orang masih salah paham soal dokumen ijazah pejabat...
-
Negara Battak—Teluk Tappanuli—Perjalanan ke Pedalaman—Pohon Cassia—Pemerintahan—Senjata—Peperangan—Perdagangan—Pameran—Makanan—Tata Krama—Ba...
-
Mengapa begitu sulit meminta salinan duplikat ijazah Presiden Joko Widodo? Padahal ijazah itu bukan sekadar dokumen pribadi, melainkan syara...
-
Eduard Douwes Dekker Mungkin kita sudah sering mendengar tokoh Novel "Max Havelaar" terbit tahun 1860 yaitu sebuah roman karya Mul...
