Cari Blog Ini

Kamis, 25 September 2025

TERNYATA PRAMONO ANUNG IKUT SEMBUNYIKAN IJAZAH JOKOWI!!

KPU RI Menutup dengan KepKPU 731, KPU DKI Menolak dengan KepKPU 1351: Jejak Penolakan Ijazah Jokowi


Mengapa begitu sulit meminta salinan duplikat ijazah Presiden Joko Widodo? Padahal ijazah itu bukan sekadar dokumen pribadi, melainkan syarat sah pencalonan jabatan publik tertinggi di negeri ini. Saya sudah mencoba meminta secara resmi, tetapi jawabannya sama: ditolak. Bahkan, penolakan ini dilakukan lewat keputusan formal KPU yang kemudian memicu kegaduhan publik.


Permohonan ke KPU RI Ditolak

Pada 3 Agustus 2025, saya mengajukan permohonan informasi publik ke KPU RI dengan Formulir Nomor 2025/KPU/0000/PPID/M/VIII/1. Dua minggu kemudian, lewat email tertanggal 25 Agustus 2025, KPU RI menjawab: permohonan saya tidak bisa dipenuhi.

Alasannya? Karena pada 21 Agustus 2025, KPU sudah mengeluarkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 yang menetapkan seluruh dokumen persyaratan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, termasuk fotokopi ijazah, sebagai informasi publik yang dikecualikan.


Permohonan ke KPU DKI Jakarta Pun Ditolak

Saya tidak berhenti di pusat. Pada 24 Agustus 2025, saya mengirim permohonan lewat email ke KPU Provinsi DKI Jakarta. Jawaban datang lewat Surat Nomor 1215/HM.03-SD/31/2025 tanggal 4 September 2025. Lagi-lagi ditolak.

Kali ini, dasar hukumnya adalah Keputusan KPU Nomor 1351 Tahun 2024 tanggal 26 September 2024 tentang pengecualian dokumen pencalonan dalam Pilkada (Gubernur, Bupati, Walikota). Aneh, karena yang saya minta adalah dokumen pencalonan Presiden, bukan Pilkada. Tetapi KPU DKI tetap bersikukuh menolaknya.


Apa Bedanya Kedua Keputusan Itu?

Sepintas terlihat sama—sama-sama menutup akses publik. Namun kalau dibandingkan, ada perbedaan yang signifikan.

Perbandingan Aspek Formil

AspekKepKPU 1351/2024KepKPU 731/2025
Tanggal Penetapan26 September 202421 Agustus 2025
Ketua KPU PenandatanganMochammad AfifuddinMochammad Afifuddin
Objek PengaturanInformasi publik pencalonan Pilkada (Gubernur, Bupati, Walikota) yang dikecualikan.Dokumen persyaratan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dikecualikan.
Dasar Hukum- UU 7/2017 jo. UU 7/2023 (Pemilu).
- PKPU 8/2019 (Tata Kerja).
- PKPU 14/2020 jo. 21/2023 (Sekretariat Jenderal).
- PKPU 22/2023 jo. 11/2024 (Informasi Publik).
- PKPU 8/2024 jo. 10/2024 (Pencalonan Pilkada).
- UU 7/2017 jo. UU 7/2023 (Pemilu).
- PKPU 8/2019 (Tata Kerja).
- PKPU 14/2020 jo. 21/2023 (Sekretariat Jenderal).
- PKPU 19/2023 jo. 23/2023 (Pencalonan Presiden/Wapres).
- PKPU 22/2023 jo. 11/2024 (Informasi Publik).
Pihak Uji KonsekuensiInternal KPU (Ringkasan Lembar Uji Konsekuensi No. 11/2024). Personel tidak dijelaskan.KPU RI bersama IR Komarudin, S.H., M.M. & Partners (Lembar Uji Konsekuensi No. 1/2025).
Bentuk KeputusanMenetapkan formulir pencalonan Pilkada (dukungan, pencalonan parpol, persetujuan parpol, riwayat hidup, pernyataan calon) sebagai informasi publik yang dikecualikan.Menetapkan dokumen syarat pencalonan Presiden/Wapres (KTP, akta lahir, SKCK, kesehatan, LHKPN, NPWP, riwayat hidup, ijazah, pernyataan, surat pengunduran diri, dll) sebagai informasi publik yang dikecualikan.
Jangka Waktu Pengecualian5 (lima) tahun.5 (lima) tahun, dapat dibuka bila ada persetujuan tertulis calon atau terkait jabatan publik.
Kelemahan FormilTidak jelas siapa tim uji konsekuensi. Transparansi rendah.Uji konsekuensi melibatkan pihak eksternal, bertentangan dengan Perki SLIP 1/2021 Pasal 21 ayat (1). Potensi cacat formil.

Perbandingan Aspek Materil

AspekKepKPU 1351/2024KepKPU 731/2025
Jenis Dokumen yang DikecualikanFormulir dukungan, pencalonan, persetujuan, riwayat hidup, pernyataan.Semua dokumen syarat Pilpres, termasuk ijazah.
Alasan PengecualianData pribadi (NIK, alamat, agama, dll).Data pribadi, tapi juga diakui ada kepentingan publik.
Konsekuensi Jika DibukaMembuka rahasia pribadi calon Pilkada.Bisa membuka data pribadi, tapi juga membuktikan keaslian ijazah.
Kepentingan PublikBisa dipenuhi dengan menghitamkan data pribadi.Diakui ada kepentingan publik, tapi tetap ditutup.
KontradiksiKonsisten menutup data pribadi.Kontradiktif: mengakui kepentingan publik tapi tetap menutup dokumen penting.
Kelemahan MaterilMenutup dokumen yang seharusnya bisa diakses dengan masking.Menutup dokumen vital (ijazah Presiden), padahal menyangkut jabatan publik tertinggi.

Reaksi Publik: Geram hingga Keputusan Dicabut

Keputusan KPU Nomor 731/2025 ini ternyata cepat viral. Publik geram karena KPU menutup rapat dokumen yang menyangkut pencalonan Presiden. Gelombang kritik datang dari media, akademisi, hingga masyarakat sipil.

Akhirnya, KPU mencabut Keputusan 731/2025 lewat Keputusan KPU Nomor 805 Tahun 2025 tanggal 16 September 2025, yang ditandatangani Ketua KPU Mochammad Afifuddin.

Pencabutan ini menunjukkan bahwa tekanan publik bisa membalik keputusan lembaga negara. Namun, pencabutan itu tidak otomatis berarti permohonan informasi saya dipenuhi.


Status Terbaru: Menunggu Jawaban Keberatan

Saat ini, saya telah mengajukan keberatan resmi terhadap penolakan KPU RI maupun KPU DKI Jakarta. Saya masih menunggu jawaban formal dari kedua lembaga tersebut.

Apakah KPU akan membuka dokumen—setidaknya dengan cara menghitamkan data pribadi—atau tetap menutup rapat semuanya? Jawaban mereka akan menjadi ujian serius: apakah prinsip keterbukaan informasi publik benar-benar dijunjung tinggi, atau sekadar jargon belaka.


Dr. Bonatua Silalahi
Peneliti Independen (Scopus Author ID: 58787855000)

YANG DIMINTA IJAZAH GIBRAN, MENTERI PENDIDIKAN MALAH KELUARKAN SURAT MISTERIUS !!!

Minggu, 14 September 2025

Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi

Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi

Dalam beberapa waktu terakhir, saya sedang menempuh upaya resmi meminta duplikat ijazah Joko Widodo ke sejumlah Kementerian, Lembaga, dan Perangkat Daerah (K/L/PD), termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Kementerian Sekretariat Negara, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Pemerintah Kota Surakarta, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Langkah ini telah saya uraikan secara lebih luas dalam artikel sebelumnya di blog: Ontologi Bangsa Indonesia.

Tujuannya sederhana: memastikan keterbukaan arsip statis yang seharusnya dikelola oleh badan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Perkembangan di Surakarta

Pada tahap awal, PPID Pemkot Surakarta menolak permohonan informasi publik terkait duplikat ijazah tersebut. Penolakan itu kemudian diperkuat oleh Atasan PPID. Jumat lalu, saya secara resmi menerima jawaban tertulis dari Atasan PPID yang tetap menyatakan penolakan. Dengan demikian, upaya memperoleh arsip melalui jalur keberatan di Surakarta telah tertutup.

Sesuai mekanisme UU KIP, langkah berikutnya adalah membawa perkara ini ke Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Tengah. Sengketa di tingkat KI Jateng inilah yang akan menguji apakah alasan penolakan PPID dapat dipertahankan secara hukum, atau justru dibatalkan karena bertentangan dengan prinsip keterbukaan.

Perkembangan di DKI Jakarta

Situasi serupa juga terjadi di Pemprov DKI Jakarta. Permohonan informasi publik melalui PPID Pemprov DKI ditolak. Menanggapi hal itu, saya sudah mengajukan keberatan kepada Atasan PPID, yaitu Sekretaris Daerah (Sekda), pada 08 Agustus 2025.

Berdasarkan Pasal 36 UU KIP, atasan PPID wajib memberikan jawaban atas keberatan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima. Artinya, batas waktu jawaban seharusnya jatuh pada penghujung bulan September 2025.

Pertanyaan penting kemudian muncul: apakah Sekda telah berkonsultasi dengan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, sebelum memutuskan? Jika Sekda tetap menolak, maka jalan berikutnya adalah melanjutkan sengketa ini ke Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta.

Konflik Kepentingan Politik

Latar belakang politik Gubernur DKI Jakarta menambah kompleksitas persoalan ini. Pramono Anung adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang juga menaungi Presiden Joko Widodo. Rekam jejaknya panjang: dari anggota DPR RI, pimpinan fraksi, hingga menjabat Sekretaris Kabinet sebelum dipercaya rakyat memimpin DKI Jakarta.

Kedekatan politik tersebut menimbulkan potensi konflik kepentingan. Di satu sisi, sebagai pejabat daerah, Gubernur berkewajiban menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara, beliau adalah kader PDIP yaitu Partai yang belakangan berseberangan dengan Jokowi namun Publik juga tahu bagaimana kedekatannya dengan Jokowi, ia terikat pada kepentingan diantara menjaga citra partai atau relasi politik.

Inilah yang menempatkan Gubernur DKI di persimpangan: apakah ia akan menegakkan hak publik atas informasi, atau justru membiarkan kepentingan politik mendikte arah kebijakan keterbukaan?

Persimpangan Keterbukaan

Kedua kasus di Surakarta dan DKI memperlihatkan pola serupa: badan publik berusaha berlindung di balik alasan “informasi pribadi.” Padahal, Pasal 18 ayat (2) UU KIP secara tegas membuka ruang, bahwa data pribadi dapat dibuka bila “pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik”. Dengan demikian, ijazah yang digunakan untuk mendaftar sebagai Calon Walikota maupun jabatan publik lain tidak bisa dipandang semata sebagai dokumen pribadi.

Namun, publik juga perlu mencermati aspek independensi. Baik KI Jateng maupun KI DKI dibiayai melalui APBD, komisionernya dilantik oleh gubernur, dan pegawai sekretariatnya adalah aparatur pemerintah daerah. Kondisi ini membuat keputusan KI berpotensi rawan intervensi politik.

Padahal, hak atas informasi publik adalah hak asasi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945, dan ditegaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (1) UU KIP: “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik”.

Kini, publik menanti sikap Pemprov DKI. Apakah Gubernur Pramono Anung—sebagai pejabat daerah sekaligus kader PDIP—akan berpihak pada keterbukaan dan akuntabilitas, atau justru membiarkan hak masyarakat tersandera birokrasi dan kepentingan politik?

Jumat, 05 September 2025

Ijazah Publik yang Tertutup: Potret Lemahnya Keterbukaan Informasi di Indonesia


Saya telah mengajukan permohonan informasi publik mengenai duplikat ijazah Presiden Joko Widodo ke delapan Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (K/L/PD) serta satu badan publik terkait investasi, yang secara normatif memiliki kewenangan atau keterkaitan dengan pengelolaan arsip pencalonan pejabat publik.

Hasilnya mengecewakan.

“Mayoritas lembaga justru menutup akses, mengelak, atau bahkan diam seribu bahasa.”

Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU Kearsipan) secara tegas menyatakan bahwa informasi publik harus disediakan secara mudah, cepat, dan semurah-murahnya. Realitas yang saya temukan jauh dari semangat itu.

1.    Alasan Rahasia Pribadi: Penolakan yang Mengada-ada

Sebagian K/L/PD menolak dengan alasan ijazah termasuk rahasia pribadi sebagaimana Pasal 17 huruf h angka 5 UU KIP: “catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan nonformal.”

Namun, alasan ini problematis. Ijazah berbeda dengan rapor atau catatan internal pendidikan. Ia adalah dokumen resmi yang bersifat deklaratif dan memang ditujukan untuk dipakai keluar: melamar pekerjaan, mengajukan beasiswa, atau menjadi syarat pencalonan pejabat publik.

Bahkan jika pun dianggap dokumen rahasia, tidak semua informasi di dalam ijazah bersifat rahasia. Tulisan gelar, nama lembaga pendidikan, nomor seri, logo, tanda pengesahan institusi—semuanya bersifat administratif, bukan data privat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (PP 61 Tahun 2010) membuka jalan bagi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan uji konsekuensi dan memberikan dokumen dengan redaksi (menghitamkan data pribadi seperti Nomor Induk Mahasiswa atau tanda tangan). Jadi, menutup akses sepenuhnya adalah pelanggaran terhadap asas “ketat dan terbatas” yang ditegaskan UU KIP.

Lebih jauh lagi, dalam kasus permohonan informasi duplikat ijazah ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya berselang tiga hari setelah permohonan saya (3 Agustus 2025) langsung mengadakan uji konsekuensi pada Rabu, 6 Agustus 2025, dan kemudian menetapkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 pada 21 Agustus 2025. Keputusan ini dipakai sebagai dasar hukum baru untuk menetapkan duplikat ijazah sebagai informasi yang dikecualikan. Tindakan tergesa ini memperlihatkan bahwa penolakan KPU bukanlah hasil pengujian obyektif yang matang, melainkan respons defensif untuk segera menutup akses atas dokumen yang diminta.

 

2.       Dalih Tidak Menguasai Dokumen: Lemah dan Bertentangan dengan UU

Tidak sedikit lembaga yang berkilah tidak menguasai dokumen. Beberapa di antaranya bahkan justru lembaga yang secara hukum mestinya paling berwenang atau berkewajiban menyimpannya:

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyatakan tidak menguasai informasi mengenai duplikat ijazah. Padahal, Pasal 46 ayat (1) UU Kearsipan menegaskan:

“Pencipta arsip wajib menyerahkan arsip statis kepada lembaga kearsipan.”

Bahkan Pasal 47 ayat (1) memberi daya paksa:

“ANRI dan lembaga kearsipan daerah berwenang memaksa pencipta arsip menyerahkan arsip statis yang seharusnya diserahkan.”

Dengan mandat sekuat ini, alasan ANRI sungguh tidak dapat diterima.

Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) juga menyatakan tidak menguasai duplikat ijazah Presiden, meskipun fungsi pokoknya menurut Perpres adalah membantu Presiden dalam penyelenggaraan administrasi kenegaraan, termasuk urusan arsip kepresidenan dan dokumen pribadi kedinasan Presiden. Dalih “tidak menguasai” dari Setneg jelas bertentangan dengan fungsi kelembagaan yang melekat padanya.

KPU Kota Surakarta berdalih tidak menguasai dokumen pencalonan Pilkada 2005 dan 2010, padahal sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU Kota adalah penyelenggara yang menerima langsung dokumen syarat calon (termasuk ijazah) dari kandidat. Dalih ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola arsip Pilkada di tingkat daerah.

Pemerintah Kota Surakarta, sebagai Lembaga Kearsipan Daerah (LKD), juga mengaku tidak menguasai dokumen, padahal mereka memiliki kewajiban menagih arsip dari KPU atau lembaga pencipta lainnya yang berkaitan dengan pencalonan pejabat publik asal daerahnya.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menggunakan alasan serupa, seolah dokumen pencalonan Gubernur 2012 bukan bagian dari arsip statis penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalih “tidak menguasai” ini tidak hanya menunjukkan lemahnya komitmen, tetapi juga bertentangan langsung dengan mandat UU Kearsipan dan peraturan kelembagaan.

3.       Diamnya Danantara Indonesia: Badan Publik yang Melanggar UU KIP

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) adalah badan publik yang bergerak di bidang pengelolaan investasi negara. Dengan status tersebut, Danantara jelas terikat pada UU KIP serta Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Kaitannya dengan kasus ijazah, Joko Widodo tercatat terakhir kali bekerja di Danantara dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Hal ini membuat Danantara memiliki tanggung jawab administratif dan arsip atas dokumen yang berkaitan dengan status pejabat publik yang pernah bekerja di dalamnya.

Namun, ketika diminta memberikan informasi terkait dokumen ijazah, Danantara justru tidak merespons sama sekali. Permohonan saya telah disampaikan melalui email ke contact@danantaraindonesia.com pada tanggal 4 Agustus 2025, dengan pertimbangan bahwa Pasal 22 ayat (1) UU KIP secara tegas menyatakan: “Permintaan Informasi Publik dapat diajukan dengan cara yang sederhana dan dengan biaya seminimal mungkin.” Artinya, mekanisme pengajuan lewat email resmi badan publik sah dan sesuai dengan perintah undang-undang.

Sikap diam Danantara jelas melanggar Pasal 22 ayat (7) UU KIP yang menyebut: “Badan Publik wajib memberikan jawaban atas permintaan informasi, baik berupa pemberian informasi maupun penolakan dengan alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Sebagai Badan Publik, Danantara tidak bisa berdalih atau menutup diri. Kewajibannya adalah merespons permintaan informasi secara resmi. Diam sama sekali justru lebih bermasalah daripada menolak, karena melanggar kewajiban hukum yang paling mendasar dalam UU KIP.

4.       Semangat Keterbukaan dan Ketidaklogisan Kerahasiaan Ijazah

UU KIP menegaskan:

Pasal 2 ayat (1):

“Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.”

Pasal 2 ayat (2):

“Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.”

Artinya, prinsip dasarnya adalah keterbukaan. Pengecualian hanyalah anomali, bukan norma. Namun, praktik lembaga-lembaga ini membalik logika: informasi justru ditutup rapat, tanpa uji konsekuensi yang transparan, tanpa jalan tengah berupa redaksi, dan tanpa kesediaan menjalankan mandat kearsipan.

Pertanyaannya: wajarkah duplikat ijazah, beserta informasi di dalamnya, dianggap rahasia?

Di dalam sebuah Duplikat ijazah terdapat:

1.       Desain ijazah seperti bentuk, ukuran, motif, jenis huruf, bahkan terdapat jejak forensik,

2.       Nama universitas/sekolah,

3.       Gelar akademik yang diberikan,

4.       Nomor ijazah,

5.       Tanggal kelulusan,

6.       Nama pejabat penandatangan,

7.       Logo dan stempel lembaga pendidikan.

Informasi ini bersifat deklaratif dan administratif, bukan rahasia pribadi dengan begitu untuk informasi dikecualikan (rahasia) pada Dokumen Publik Terbuka dapat dilakukan penghitaman Informasi yang tertutup sebagaimana ilustrasinya ditunjukkan pada gambar dibawah ini. 

Bandingkan dengan informasi lain yang jauh lebih sensitif namun justru terbuka lebar, seperti:

1.    Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan Komisi Pemberantas Korupsi.

2.   Data rekening dan transaksi keuangan yang dapat diakses oleh Kementerian Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

3.   Plat nomor kendaraan bermotor yang bisa dilacak untuk mengetahui identitas pemilik dan status pembayaran pajaknya.

4.  Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diumumkan KPU lengkap dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat.

Jika informasi setingkat kekayaan pribadi, rekening, atau kepemilikan kendaraan dapat diakses, tidak masuk akal bila duplikat ijazah pejabat publik justru ditutup rapat.

 

Kesimpulan: Transparansi Masih Jauh Panggang dari Api

Dari sembilan K/L/PD dan badan publik yang saya ajukan permohonan informasi:

  • Mayoritas menolak dengan alasan rahasia pribadi, padahal uji konsekuensi memungkinkan akses dengan redaksi. Bahkan KPU memperkuat penolakannya dengan menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 hanya 18 hari setelah permohonan masuk.
  • ANRI, Setneg, KPU Kota Surakarta, Pemkot Surakarta, dan Pemprov DKI Jakarta mengaku tidak menguasai, meskipun UU Kearsipan memberi mereka kewenangan daya paksa untuk menguasai arsip statis.
  • Danantara Indonesia sebagai badan publik tidak merespons sama sekali, meskipun permohonan sudah diajukan melalui email resmi contact@danantaraindonesia.com  pada 4 Agustus 2025, sesuai Pasal 22 ayat (1) UU KIP yang memerintahkan permohonan informasi diajukan dengan cara sederhana dan semurah-murahnya.

šŸ“Œ Perlu digarisbawahi, data ini diperoleh sebatas tahap awal permohonan informasi publik.

  1. Danantara: hingga kini belum memberikan jawaban, padahal sudah melebihi batas 10 hari kerja.
  2. KPU Pusat, KPU DKI Jakarta, KPU Kota Surakarta, ANRI, LKD Surakarta, dan LKD DKI Jakarta: baru memberikan jawaban PPID tingkat pertama, dan saya sedang menunggu jawaban keberatan dari Atasan PPID masing-masing lembaga.
  3. Setneg dan UGM: sudah sampai pada tahap jawaban keberatan oleh Atasan PPID.

Fakta ini memperlihatkan bahwa prinsip keterbukaan informasi publik masih jauh dari kenyataan. Jika dokumen selevel ijazah pejabat publik saja ditutup rapat, wajar bila publik meragukan komitmen negara terhadap transparansi.

Keterbukaan bukanlah pilihan, tetapi amanat undang-undang dan esensi demokrasi. Menutup ijazah pejabat publik bukan hanya melawan akal sehat, tetapi juga pengingkaran terhadap hukum yang dibuat negara itu sendiri.

 

Tabel Status Jawaban 8 K/L/PD

No.

Lembaga/Daerah

Periode

Status Jawaban

1

KPU Kota Surakarta

2005 & 2010

Mengaku tidak menguasai

2

LKD Kota Surakarta

2005 & 2010

Mengaku tidak menguasai

3

KPU Provinsi DKI Jakarta

2012

Menolak (rahasia pribadi)

4

LKD Provinsi DKI Jakarta

2012

Mengaku tidak menguasai

5

KPU Pusat

2014 & 2019

Menolak (rahasia pribadi)

6

Setneg

2014 & 2019

Mengaku tidak menguasai

7

ANRI

2014 & 2019

Mengaku tidak menguasai

8

Danantara Indonesia

2008–2019

Tidak merespons

 

Catatan:

Tulisan ini adalah bagian dari kelanjutan penelitian saya yang artikelnya dapat didownload di https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=5373341, hak-hak penulis dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia tahun 1945.


"Pejabat menang banyak, Duit Publik mau tapi Privasinya tak boleh diusik, ini mah bukan re-PUBLIK tapi pembodohan PUBLIK, mengelola Negara serasa mengelola Perusahaan sendiri"-Bonatua Silalahi.


Postingan Populer