Cari Blog Ini

Nasib Pemberantasan KOLUSI dan NEPOTISME.

    Akhir-akhir ini kembali ramai perbincangan di masyarakat seputar tentang Kolusi dan Nepotisme terutama dalam bentuk Bisnis Keluarga dan Dinasti Politik. Bisnis Keluarga disinggung dalam konteks penerimaan sejumlah fasilitas yang dikait-kaitkan dengan Jabatan Publik yang dipegang anggota keluarga, sedangkan Nepotisme pada umumnya dalam konteks Pemilihan Umum baik itu Pemilihan Presiden, Legislatif maupun Kepala Daerah. Tentunya karena di Indonesia saat ini sedang dalam suasana pesta demokrasi maka Pembahasan Kolusi & Nepotisme kerap dipakai menyerang melalui pendekatan persepsi masyarakat yang pada umumnya diluar kerangka hukum, oleh karena itu sebagai ahli kebijakan publik saya merasa terpanggil untuk mencoba menjelaskan fenomena ini melalui pendekatan ilmu kebijakan publik dalam hal ini tahapan Penyusunan Kebijakan.

    Peristiwa Reformasi Mei 1998 dimana saya juga termasuk pelakunya adalah murni pergerakan moral Mahasiswa atas kemerosotan Bangsa. Mahasiswa dimasa itu mengenal kegiatan akademis Kuliah Kerja Nyata biasa disingkat KKN dimana kegiatan ini wajib dilakukan jika hendak menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata satu. Lantas oleh mahasiswa saat itu, KKN dipakai sebagai sarkasme atas kemerosotan Moral Bangsa yang merupakan sindiran dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang juga disingkat dengan KKN. Ini menjadi simbol gerakan tuntutan Reformasi dengan slogan utamanya "Anti KKN" yang berhasil memicu demonstrasi mahasiswa besar-besaran hingga akhirnya menjatuhkan Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun sekaligus meruntuhkan Orde Baru, bahkan belakangan berimbas turut dihapusnya kegiatan akademis Kuliah Kerja Nyata.

Sumber: Viva.co.id

    Pasca kejatuhan Orde Baru, slogan Anti KKN mahasiswa pada tanggal 13 November 1998 dijadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Nilai Moral Bangsa yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (TAPMPR/11/1998). MPR saat itu telah menilai bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris MPR yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. MPR juga menilai bahwa penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan KKN, yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. MPR juga memerintahkan agar upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto* dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia, juga memerintahkan agar Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam TAPMPR/11/1998 diatur lebih lanjut dengan Undang-undang (UU).
    MPR adalah lembaga Tertinggi Negara Republik Indonesia, dan keputusannya untuk membuat UU adalah perintah yang harus dilaksanakan Lembaga Tinggi Negara fungsi pembuatan UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden. Dalam rangka itu, DPR bersama Presiden B. J. HABIBIE pada tanggal 19 Mei 1999 telah mengesahkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU/28/1999). Dalam UU/28/1999 ini disebut bahwa yang dimaksud dengan:
  1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutiflegislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
  3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
  4. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
  5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Pada Pasal 5 UU/28/1999 disebutkan bahwa Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Pasal 10 UU/28/1999 dan menurut saya merupakan bagian terpenting disebutkan bahwa Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Pemeriksa. Lebih lanjut tentang Komisi ini diatur pada Pasal 17 berbunyi:
(1). Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
(2). Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara;
b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c. melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
d. mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
e. jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan menjabat.

    Komisi Pemeriksa yang disebut dengan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPNtelah dibentuk oleh Presiden B.J. Habibie melalui  Keputusan Presiden nomor 81 tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota, 4 (empat) orang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota dimana pertamakali diketuai oleh Jusuf Syakir.
    Pada pada tanggal 27 Desember 2002, Presiden Megawati telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU/30/2002), UU ini telah mengubah keseluruhan BAB VII pada UU/28/1999, dimana pada UU/30/2002 Pasal 71 ayat (2) berbunyi "Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku", dengan begitu keberadaan KPKPN termasuk tugas, fungsi dan kedudukannya secara otomatis hilang dan diganti dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
    Pada Pasal 6, UU/30/2002 disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Menurut Pasal 1, Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan:
a. tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi;
b. koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik;
c. monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;
d. supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi; dan
f. tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    Dari UU/30/2002 tampak jelas KPK bukanlah lembaga yang berwenang memeriksa Kolusi dan Nepotisme sebagaimana yang dimaksud UU/28/1999. Pada akhirnya KPK menjadi Pemeriksa Korupsi sebagaimana yang dimaksud pada pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU/31/1999) yang disahkan pada tanggal 16 Agustus 1999 oleh Presiden B.J Habibie, KPK juga menjadi pemeriksa Korupsi sebagaimana yang dimaksud pada BAB VII UU/28/1999, namun karena BAB VII UU/28/1999 sudah dinyatakan tak berlaku oleh UU/30/2002 maka Komisi Pemeriksa Kolusi dan Nepotisme sebagaimana yang diamanatkan UU/28/199 menjadi tidak jelas karena landasan hukumnya telah dicabut

Secara Bibliometri dengan bantuan VOSViewer dan teknik pemetaan yang saya kembangkan, maka diperoleh Peta UU/28/1999 sebagai berikut:
Keterangan Gambar:

    Kita tentunya sangat berharap demi kemajuan bangsa dan negara kedepannya, agar semoga DPR bersama Presiden periode 2024-2029 mau melakukan perbaikan kebijakan yang memberikan kepastian hukum amanat TAPMPR/11/1998 karena KPK yang terbentuk saat ini bukanlah lembaga sebagaimana yang dimaksud oleh MPR dan Mahasiswa pada tahun 1998 dahulu. Demikianlah kajian ini saya lakukan sebagai wujud implementasi ilmu di masyarakat dalam rangka ilmiah, tanpa bermkasud menyudutkan pihak-pihak tertentu dan semata-mata hanya untuk turut membangun bangsa melalui karya pemikiran.


Salam Kebijakan Publik.


Keterangan:
* artinya kalimat ini telah dihapus oleh TAP MPR tahun 2024. 

Negara Batak tahun 1770-an: THE HISTORY OF SUMATRA (Marsden, 1811 M).


Negara Battak—Teluk Tappanuli—Perjalanan ke Pedalaman—Pohon Cassia—Pemerintahan—Senjata—Peperangan—Perdagangan—Pameran—Makanan—Tata Krama—Bahasa—Penulisan—Agama—Pemakaman—Kejahatan—Adat Istiadat yang Luar Biasa.


Battak:

    SALAH satu perbedaan paling mencolok antara penduduk pulau ini, dan oleh banyak orang dianggap sebagai yang paling menonjol dalam hal keaslian, adalah bangsa Batak, yang sangat berbeda dengan penduduk lain, dalam hal adat istiadat dan tata krama mereka, dan khususnya dalam beberapa kebiasaan yang luar biasa, sehingga perlu diberikan perhatian khusus pada deskripsi mereka. 

Situasi negara: 

    Negara ini dibatasi di sebelah utara oleh Achin, yang dipisahkan oleh pegunungan Papa dan Deira, dan di sebelah selatan oleh distrik independen Rau atau Rawa; membentang di sepanjang pantai laut di sisi barat, dari sungai Singkel (Bona: 2°17'04"N 97°47'59"E) hingga sungai Tabuyong (Bona: 0°50'43"N 98°59'20"E), tetapi ke pedalaman, hingga bagian belakang Ayer Baiigis, dan secara umum melintasi pulau, yang sempit di bagian itu, hingga ke pantai timur; tetapi lebih atau kurang diganggu oleh pemukiman Melayu dan Aceh di situasi maritim yang paling nyaman, untuk tujuan perdagangan mereka. Pulau ini sangat padat penduduknya, terutama di bagian tengah, yang memiliki dataran terbuka atau gundul yang luas, di perbatasan (seperti yang dikatakan) sebuah danau besar; tanahnya subur, dan budidayanya jauh lebih umum daripada di negara-negara selatan, yang sebagian besar ditutupi hutan, sehingga hampir tidak ada pohon yang terlihat kecuali yang ditanam oleh penduduk asli di sekitar desa mereka, yang tidak, seperti di tempat lain, di tepi sungai, tetapi di mana pun situasi yang kuat muncul dengan sendirinya. Air, memang, tidak begitu melimpah di selatan, yang dapat dikaitkan dengan permukaan yang relatif datar, rangkaian pegunungan tinggi yang membentang ke utara dari selat Sunda melalui bagian dalam pulau, sebagian besar berakhir dengan gunong Passummah atau Gunung Ophir. Namun, di sekitar teluk Tapanuli, tanahnya tinggi dan berhutan di dekat pantai.

Pembagiannya: 

    Wilayah Batta terbagi (menurut informasi yang diperoleh oleh Residen Inggris) ke dalam distrik-distrik utama berikut: Ankola, Padambola, Mandiling, Toba, Selindong, dan Singkel, yang mana distrik pertama memiliki lima, distrik ketiga tiga, dan distrik keempat lima suku bawahan. Menurut catatan Belanda yang dimuat dalam Transaksi-transaksi Masyarakat Batavia, yang sangat terperinci, wilayah ini terbagi ke dalam tiga kerajaan kecil. Salah satunya bernama Simamora yang terletak jauh di pedalaman, dan berisi sejumlah desa, dan di antaranya bernama Batong, Ria, Allas, Batadera, Kapkap (tempat distrik penghasil kemenyan dimulai), Batahol, Kotta-tinggi (tempat kediaman raja), dengan dua tempat yang terletak di pantai timur bernama Suitara-male dan Jambu-ayer (Bona: 5°07'06"N 97°27'19"E). Kerajaan ini dikatakan menghasilkan banyak emas murni, dari tambang-tambang Batong dan Sunayang. Bata-salindong juga berisi banyak distrik, di beberapa distrik di mana kemenyan, dan di distrik-distrik lainnya, dikumpulkan. Kediaman raja berada di Salindong. Bata-gopit terletak di kaki gunung berapi dengan nama yang sama, dari sana, pada saat terjadi letusan, penduduk asli memperoleh belerang, yang selanjutnya digunakan untuk membuat mesiu. Kerajaan kecil Butar terletak di timur laut dari kerajaan sebelumnya, dan mencapai pantai timur, di mana terdapat tempat-tempat bernama Pulo Serony dan Batu Bara; yang terakhir menikmati perdagangan yang cukup besar; juga Longtong dan Sirigar di muara sungai besar bernama Assahan. Butar tidak menghasilkan kamper, benzoin, maupun emas, dan penduduknya memenuhi kebutuhan hidup dengan bercocok tanam. Kediaman raja berada di kota dengan nama yang sama. 

Bangunan kuno: 

    Di atas sungai Batu Bara, yang bermuara ke selat Malaka, terdapat sebuah bangunan bata besar, yang tidak ada cerita rakyat tentang pembangunannya. Bangunan itu digambarkan berbentuk persegi, atau beberapa persegi, dan di salah satu sudutnya terdapat pilar yang sangat tinggi, yang menurut mereka dirancang untuk membawa bendera. Gambar atau relief manusia dipahat di dinding, yang mereka anggap sebagai berhala Cina (mungkin Hindu). Batu bata, yang sebagian dibawa ke Tapanuli, berukuran lebih kecil daripada yang digunakan oleh Inggris.

Singkel: 

    Sungai Singkel, yang merupakan sungai terbesar di pesisir barat pulau, bersumber dari pegunungan Daholi yang jauh di wilayah Achin, dan pada jarak sekitar tiga puluh mil dari laut, menerima air dari Sikere, di tempat yang disebut Pomoko, yang mengalir melalui sebagian besar wilayah Batta. Setelah persimpangan ini, sungai ini sangat lebar, dan cukup dalam untuk kapal-kapal yang membawa muatan yang cukup besar, tetapi palangnya dangkal dan berbahaya, kedalamannya tidak lebih dari enam kaki saat air surut, dan ketinggiannya juga enam kaki. Lebarnya di sini sekitar tiga perempat mil. Sebagian besar wilayah hilir negara yang dilaluinya meluap selama musim hujan, tetapi tidak di dua tempat, yang disebut oleh Kapten Forrest Rambong dan Jambong, di dekat muara. Kota utamanya terletak empat puluh mil di hulu sungai, di cabang utara. Di sebelah selatan terdapat sebuah kota bernama Kiking, tempat orang Melayu dan Aceh berdagang lebih banyak daripada di tempat sebelumnya, pegunungan Samponan atau Papa menghasilkan lebih banyak kemenyan daripada di Daholi. Dalam naskah Belanda disebutkan, dalam tiga hari pelayaran di atas kota Singkel Anda akan sampai di sebuah danau besar, yang luasnya tidak diketahui.

    Barus, tempat penting berikutnya di sebelah selatan, terutama, luar biasa karena telah memberi nama di seluruh Timur kepada Kapur barus atau kamper asli, seperti yang sering disebut, untuk membedakannya dari yang diimpor dari Jepang dan Cina, seperti yang telah dijelaskan. Ini adalah situasi pabrik Belanda yang paling terpencil, yang sudah lama ditutup. Ini adalah tempat usaha Melayu yang sebenarnya, diperintah oleh seorang raja, satu bandhara, dan delapan pangulus dan dengan kekhasan ini, bahwa raja dan bandhara harus secara bergantian dan timbal balik dari dua keluarga besar, bernama Dulu dan D'ilhir. Yurisdiksi yang diasumsikan dikatakan telah meluas sebelumnya ke Natal. Kota ini terletak sekitar satu liga dari pantai, dan dua liga lebih jauh ke pedalaman terdapat delapan desa kecil yang dihuni oleh Battas, yang penduduknya membeli kamper dan kemenyan dari orang-orang pegunungan Diri, membentang dari selatan Singkel ke bukit Lasa, di belakang Barus, tempat distrik Tobat dimulai.

Tappanuli: 

    Teluk Tappanuli yang terkenal membentang ke jantung negara Batta, dan pantainya dihuni dimana-mana oleh orang-orang itu, yang menukar hasil tanah mereka dengan barang-barang yang mereka butuhkan dari luar negeri, tetapi tidak melakukan pelayaran sendiri melalui laut. Para navigator menegaskan, bahwa keuntungan alami teluk ini hampir tidak tertandingi di bagian lain dunia; bahwa semua angkatan laut dunia dapat berlayar di sana dengan keamanan yang sempurna dalam segala cuaca; dan bahwa begitu rumitnya tempat berlabuh satu sama lain, sehingga kapal besar dapat disembunyikan di dalamnya, sehingga tidak dapat ditemukan tanpa pencarian yang membosankan. Di pulau Punchong kechil, tempat pemukiman kami berdiri, merupakan praktik umum untuk menambatkan kapal dengan tali tambang ke pohon di pantai. Kayu untuk tiang dan galangan kapal harus diperoleh di berbagai anak sungai dengan mudah. Karena tidak berada di lokasi yang menguntungkan sehubungan dengan jalur umum pelayaran keluar dan pulang, dan jaraknya dari tempat utama urusan penting India kita cukup jauh, tidak terpikir oleh kita untuk banyak digunakan untuk tujuan angkatan laut yang besar tetapi pada saat yang sama pemerintah kita harus menyadari bahaya yang mungkin timbul dari membiarkan kekuatan maritim lain mendapatkan pijakan di tempat seperti ini. Penduduk asli pada umumnya tidak menyinggung, dan hanya membuat sedikit gangguan pada tempat tinggal kita tetapi beberapa pedagang Aklisia (tanpa persetujuan atau pengetahuan, seperti yang ada alasan untuk percaya, dari pemerintah mereka sendiri), yang iri dengan pengaruh komersial kita, telah lama berusaha untuk mengusir kita dari teluk, dengan kekuatan senjata, dan kita berada di bawah kebutuhan untuk melakukan perang kecil selama bertahun-tahun, untuk mengamankan ketenangan kita. Pada tahun 1760 Tappanuli diambil oleh satu skuadron kapal Prancis di bawah komando Comte d' Estaing; dan pada bulan Oktober 1809, karena hampir tidak ada pertahanan, tempat itu kembali direbut oleh fregat Prancis Creole, Kapten Ripaud, yang kemudian bergabung dengan Venus dan LaManche, di bawah perintah Komodor Hamelin. Berdasarkan ketentuan penyerahan, hak milik pribadi harus diamankan, tetapi dalam beberapa hari, setelah jaminan yang paling bersahabat diberikan kepada residen sementara, yang tinggal bersama para perwira Prancis, perjanjian ini dilanggar, dengan dalih yang tidak berdasar bahwa sejumlah emas telah disembunyikan, dan semua barang milik pria dan wanita Inggris, serta milik para pemukim asli, dijarah atau dihancurkan dengan api, dengan keadaan kekejaman dan kebrutalan yang akan mempermalukan orang-orang biadab. Rumah kebun kepala suku (Tuan Prince), yang kebetulan saat itu sedang tidak berada di Tapanuli di Batu-buru pada jalan utama juga dibakar, bersama dengan kuda-kudanya, dan ternak-ternaknya ditembak dan dilukai. Bahkan buku-buku rekening, yang berisi pernyataan hutang-hutang yang masih ada karena usaha dagang di tempat itu, meskipun sudah didesak, dihancurkan atau dibawa pergi dengan sengaja, yang mengakibatkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki, yang tidak dapat dimanfaatkan oleh musuh, yang ditanggung oleh para korban yang malang. Tidak dapat diduga bahwa pemerintah dari kekaisaran yang besar dan sombong dapat memberikan persetujuannya terhadap cara berperang yang memalukan ini.

    “Sebelumnya,” kata Tn. Miller, “pada saat kami memulai perjalanan ini, kami berkonsultasi dengan orang-orang yang sebelumnya terlibat dalam perdagangan kayu manis, mengenai tempat-tempat yang paling tepat untuk dikunjungi. Mereka memberi tahu kami bahwa pohon-pohon itu dapat ditemukan di dua distrik yang berbeda; yaitu di bagian pedalaman di sebelah utara pemukiman lama di Tappanuli, wilayah Padambola, yang terletak antara lima puluh dan enam puluh mil lebih ke selatan. Mereka menyarankan kami untuk lebih memilih pergi ke wilayah Padambola, meskipun lebih jauh, karena penduduk wilayah Tappanuli (seperti yang mereka gambarkan) sering kali menyusahkan orang asing. Mereka juga memberi tahu saya bahwa ada dua jenis kulit manis, yang salah satunya, dari cerita mereka, saya harap dapat terbukti sebagai pohon kayu manis yang sebenarnya.

Tuan Miller perjalanan ke negara tersebut: 

    21 Juni 1772. Kami berangkat dari Pulo Punchong, dan naik perahu ke quallo (muara atau pintu masuk) sungai Pinang Suri, yang berada di teluk, sekitar sepuluh atau dua belas mil di tenggara Punchon." Keesokan paginya kami menyusuri sungai dengan sampan, dan dalam waktu sekitar enam jam tiba di sebuah tempat bernama quallo Lumut (Bona: 1°31'33"N 98°55'44"E). Seluruh tanah di kedua sisi sungai rendah, tertutup kayu, dan tidak berpenghuni. Di hutan-hutan ini saya mengamati pohon kamper, dua spesies pohon ek, maranti, raiigi, dan beberapa pohon kayu lainnya. Sekitar seperempat mil dari tempat itu, di seberang sungai, terdapat sebuah kampong Batta, yang terletak di puncak sebuah bukit kecil yang teratur dan sangat indah, yang menjulang dalam bentuk piramida, di tengah padang rumput kecil. Raja kampong ini, yang diberi tahu oleh orang-orang Melayu bahwa kami berada di rumah mereka, datang menemui kami, dan mengundang kami ke rumahnya, di mana kami diterima dengan upacara besar, dan memberi hormat dengan sekitar tiga puluh senjata. Kampung ini terdiri dari sekitar delapan atau sepuluh rumah, dengan masing-masing rumah padi. Dibentengi dengan kuat dengan pagar ganda dari papan kamper kasar yang kuat, ditancapkan dalam ke tanah, dan tingginya sekitar delapan atau sembilan kaki, ditempatkan sedemikian rupa, sehingga ujung-ujungnya menjorok keluar. Pagar-pagar ini berjarak sekitar dua belas kaki, dan di ruang di antara pagar-pagar tersebut kerbau-kerbau dipelihara pada malam hari. Di luar pagar-pagar ini mereka menanam sebaris bambu berduri, yang membentuk pagar yang hampir tidak bisa ditembus, dengan ketebalan dua belas hingga dua puluh kaki. Di sapiyau atau bangunan tempat raja menerima orang asing, kami melihat tengkorak seorang pria tergantung, yang menurutnya digantung di sana sebagai piala, karena itu adalah tengkorak musuh yang telah mereka tangkap, yang tubuhnya (menurut adat Batta) telah mereka makan sekitar dua bulan sebelumnya. 23 Juni. Kami berjalan melalui daerah berhutan yang datar menuju kampong Lumut, dan keesokan harinya ke Satarong, di mana saya melihat beberapa perkebunan pohon kemenyan, beberapa pohon kapas, nila, kunyit, tembakau, dan beberapa pohon lada. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ke Tappolen, ke Sikia, dan ke Sapisang. Yang terakhir ini terletak di tepi sungai Batangtara (Bona: 1°29'11"N 99°03'53"E), tiga atau empat hari perjalanan dari laut; sehingga jalur kami sebelumnya hampir sejajar dengan pantai.

    "11 Juli 1772. Kami meninggalkan Sa-pisang dan mengambil arah ke perbukitan, mengikuti hampir alur Sungai Batang-tara. Kami melakukan perjalanan sepanjang hari ini melalui daerah yang rendah, berhutan, dan sama sekali tidak diolah, yang tidak memberikan pemandangan yang layak untuk dilihat. Pemandu kami telah mengusulkan untuk mencapai sebuah kampung, yang disebut Lumbu, tetapi karena kehilangan jalan, kami terpaksa mengarungi sungai sejauh empat hingga lima mil, dan akhirnya tiba di ladang dalam keadaan sangat lelah; di mana cuaca buruk mengharuskan kami untuk berhenti, dan menempati tempat kami di sebuah pondok padi terbuka. Keesokan harinya sungai itu meluap karena hujan lebat yang turun pada hari sebelumnya, sehingga kami tidak dapat melanjutkan perjalanan kami, dan terpaksa melewatinya dan sisa malam dalam situasi yang tidak nyaman yang sama. (Ini adalah pertengahan musim kemarau di bagian selatan pulau.) 3 Juli. Kami meninggalkan ladang, dan berjalan melalui jalur yang sangat tidak teratur dan tidak berpenghuni, penuh dengan batu dan tertutup hutan. Hari ini kami melintasi punggung bukit yang sangat curam dan tinggi, dan pada sore hari tiba di sebuah negeri yang berpenghuni dan berbudaya baik, di tepi dataran Ancola. Kami tidur malam ini di sebuah gubuk kecil yang terbuka, dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke sebuah kampung, yang disebut Koto Lambong. 5 Juli. Melewati negeri yang lebih terbuka dan sangat menyenangkan menuju Terimbaru, sebuah kampung besar di tepi selatan dataran Ancola. Tanah di sekitar sini sepenuhnya bersih dari kayu, dan dibajak dan ditanami padi atau jagong (jagung), atau digunakan sebagai padang rumput untuk kawanan kerbau, sapi, dan kuda mereka yang banyak. Raja yang diberi tahu tentang niat kami untuk datang ke sana, mengirim putranya, dan sekitar tiga puluh hingga empat puluh orang, bersenjata tombak dan senapan laras panjang, untuk menemui kami, yang mengawal kami ke kampung mereka sambil menabuh gong dan menembakkan senjata mereka sepanjang jalan. Raja menerima kami dengan sangat baik, dan dengan sopan memerintahkan seekor kerbau untuk disembelih, menahan kami selama sehari, dan ketika kami melanjutkan perjalanan, ia mengirim putranya dengan sebuah rombongan untuk mengawal kami. Saya mengamati bahwa semua wanita yang belum menikah mengenakan banyak anting timah di telinga mereka (beberapa memiliki lima puluh di setiap telinga;) yang mana keadaan tersebut, bersama dengan penampilan negara tersebut, tampaknya menunjukkan bahwa negara tersebut kaya akan mineral; tetapi ketika bertanya, saya menemukan bahwa timah tersebut dibawa dari selat Malaka. Setelah memberikan hadiah yang biasa diberikan kepada raja, kami meninggalkan Terimbaru, 7 Juli, dan melanjutkan perjalanan ke Sa-masam (Bona: 1°27'54"N 99°15'53"E) tempat raja tersebut, yang dihadiri oleh enam puluh atau tujuh puluh orang, bersenjata lengkap, menemui kami dan mengantar kami ke kampongnya, di mana ia telah menyiapkan sebuah rumah untuk menyambut kami, memperlakukan kami dengan sangat ramah dan hormat. Daerah di sekitar Sa-masam penuh dengan bukit-bukit kecil, tetapi tidak ada hutan, dan sebagian besar merupakan padang rumput untuk ternak mereka, yang jumlahnya sangat banyak. Tidak ada yang luar biasa yang saya temukan di sini, kecuali sejenis semak berduri yang disebut oleh penduduk asli sebagai Andalimon, yang pembuluh benihnya dan daunnya memiliki rasa pedas yang sangat nikmat, dan mereka gunakan dalam kari mereka.

Pohon cassia. 

    “10 Juli. Melanjutkan perjalanan ke Batang Onan (Bona: 1°20'29"N 99°27'29"E), kampung tempat orang Melayu biasa membeli kayu manis dari orang Batak. Setelah berjalan kaki sekitar tiga jam melewati daerah perbukitan terbuka, kami kembali memasuki hutan lebat, tempat kami terpaksa menghabiskan malam. Keesokan paginya, kami menyeberangi punggung bukit lain yang sangat tinggi, yang seluruhnya tertutup hutan. Di sana, kami melihat pohon kemenyan liar. Pohon itu tumbuh jauh lebih besar daripada pohon yang dibudidayakan, dan menghasilkan jenis getah yang berbeda, yang disebut kaminian dulong atau kemenyan beraroma manis. Pohon itu berbeda karena biasanya tumbuh dalam potongan-potongan yang lebih terpisah, dan memiliki bau yang menyerupai kacang almond saat diremas. Tiba di Batang Onan pada sore hari. Kampung ini terletak di dataran yang sangat luas, di tepi sungai besar (Bona: nama sekarang Sungai Barumun) yang bermuara di selat Malaka (Bona: 2°41'07"N 99°58'31"E), dan konon dapat dilayari oleh perahu layar hingga perjalanan satu hari dari Batang Onan. 11 Juli. Pergi ke Patika-dulut, tempat raja itu mengklaim kepemilikan pohon cassia, dan rakyatnya biasa memotong dan mengawetkan kulit kayu, dan mengangkutnya ke tempat sebelumnya. Pohon terdekat berjarak sekitar dua jam berjalan kaki dari Panka-didut, di punggung gunung yang tinggi. Pohon-pohon itu tumbuh setinggi empat puluh hingga enam puluh kaki, dan memiliki kepala yang besar dan menyebar. Pohon-pohon itu tidak dibudidayakan, tetapi tumbuh di hutan. Kulit kayu biasanya diambil dari batang pohon yang berdiameter satu kaki atau setengah kaki; kulit kayu itu sangat tipis, saat pohon-pohon itu masih muda, sehingga akan segera kehilangan semua kualitasnya. Di sini saya menanyakan berbagai jenis pohon cassia yang telah saya ketahui, tetapi sekarang diberitahu bahwa hanya ada satu jenis, dan bahwa perbedaan yang mereka sebutkan sepenuhnya disebabkan oleh tanah dan situasi tempat pohon-pohon itu tumbuh; bahwa pohon-pohon yang tumbuh di tanah berbatu dan kering, memiliki tunas merah, dan kulit kayunya memiliki kualitas yang lebih baik daripada pohon-pohon yang tumbuh di tanah liat yang lembab, yang tunasnya berwarna hijau. Saya juga berusaha mendapatkan informasi tentang metode mereka dalam mengawetkan dan mencacah kayu cassia, dan memberi tahu mereka niat saya untuk mencoba beberapa percobaan guna meningkatkan kualitasnya dan membuatnya lebih bernilai. Mereka memberi tahu saya bahwa tidak ada yang ditebang selama dua tahun terakhir, karena pembelian di Tapanuli dihentikan; dan jika saya datang dengan wewenang untuk membuka perdagangan, saya akan mengumpulkan orang-orang dari kampung tetangga, menyembelih seekor kerbau untuk mereka, dan meyakinkan mereka di depan umum bahwa kayu cassia akan diterima kembali; jika demikian, mereka akan segera mulai memotong dan mengawetkannya, dan akan dengan senang hati mengikuti petunjuk apa pun yang saya berikan kepada mereka; tetapi jika tidak, mereka tidak akan repot-repot melakukannya. Saya harus mencatat, bahwa saya dicegah untuk mendapatkan penjelasan yang memuaskan tentang kayu manis sebagaimana yang saya inginkan, oleh perilaku buruk orang yang menemani kami sebagai pemandu, dari siapa, dengan pengetahuannya yang mendalam tentang negara ini, dan tentang perdagangan kayu manis, yang sebelumnya ia menjadi manajer utamanya, kami pikir kami punya alasan untuk mengharapkan semua bantuan dan informasi yang diperlukan, tetapi ia tidak hanya menolak untuk memberikannya, tetapi juga mencegah sebisa mungkin kami menerima apa pun dari orang-orang desa. 14 Juli. Kami meninggalkan Batang Onan untuk kembali, berhenti malam itu di sebuah kampung bernama Kota Moran (Bona: 1°25'12"N 99°22'14"E), dan malam berikutnya tiba di Samasam; dari sana kami melanjutkan, melalui jalan yang berbeda dari yang telah kami lalui sebelumnya, ke Sa-pisang, di mana kami mendapatkan sampan, dan menyusuri sungai Batangtara ke laut. 22 Juli kami kembali ke Pulo Punchong.”

    Sejak saat itu diketahui bahwa mereka sengaja disesatkan, dan dituntun melalui rute memutar, untuk mencegah mereka melihat sebuah kampung tertentu yang penting, di belakang Tappanuli, atau untuk tujuan menarik lainnya. Di dekat tempat terakhir, di jalan utama, Tn. John Marsden, yang pergi ke sana untuk menghadiri pemakaman salah satu kepala suku mereka, melihat dua monumen batu tua, satu patung seorang pria, yang lain patung seorang pria di atas gajah; cukup bagus dibuat, tetapi mereka tidak tahu siapa yang membuatnya, dan tidak ada di antara mereka yang bisa melakukan pekerjaan yang sama sekarang. Ciri-cirinya sangat Batta.

Natal:

    Pemukiman kami di Natal (sebenarnya Natar, Bona: 0°33'23"N 99°06'59"E), beberapa mil di sebelah selatan sungai besar Tabuyong (Bona: 0°52'00"N 99°00'06"E), dan di perbatasan wilayah Batta, yang membentang di belakangnya, merupakan tempat yang banyak diperdagangkan, tetapi bukan karena keadaan alam atau politiknya yang penting dalam hal lain. Di sana dihuni oleh para pemukim, demi kemudahan perdagangan, dari negara-negara Achin, Ran, dan Menangkabau, yang membuatnya padat penduduk dan kaya. Emas, dengan kualitas yang sangat baik, diperoleh dari negara tersebut (beberapa tambang dikatakan terletak dalam jarak sepuluh mil dari pabrik), dan ada banyak barang impor, yang sebagian besar hasilnya diperoleh dari barang itu dan kamper. Seperti kota-kota Melayu lainnya, kota ini diperintah oleh seorang datu, yang pemimpinnya, yang disebut datu besar atau kepala hakim, memiliki pengaruh yang cukup besar; dan meskipun pengaruh Perusahaan dominan di sini, otoritasnya sama sekali tidak mapan seperti di distrik-distrik lada di selatan; karena jumlah penduduknya, kekayaannya, dan semangatnya yang mandiri dan giat*. Dapat dikatakan bahwa mereka lebih suka diatur dan didamaikan daripada diperintah. Mereka menganggap orang Inggris berguna sebagai moderator di antara faksi-faksi mereka yang bertikai, yang sering kali menggunakan senjata, bahkan pada poin-poin yang didahulukan secara seremonial, dan dibujuk untuk berkompromi oleh penduduk kami yang pergi ke tengah-tengah mereka tanpa pengawasan. Pada periode sebelumnya, perlindungan kami berguna bagi mereka terhadap perampasan, seperti yang mereka sebut, oleh Belanda, yang upaya dan klaimnya sangat mereka irikan. Melalui sebuah pasal perjanjian Paris, pada tahun 1763, pretensi ini dipastikan karena mereka menghormati kedua kekuatan Eropa, dan permukiman Natal dan Tappanuli secara tegas dikembalikan kepada Inggris. Namun, mereka telah diduduki kembali. Keduanya, pada kenyataannya, tidak memiliki hak apa pun kecuali apa yang berasal dari keinginan dan persetujuan para pangeran pribumi.

* Ketika pabrik itu didirikan pada tahun 1762, residen itu menunjukkan kepada Datu besar, dengan sedikit rasa marah, jumlah mayat yang sering terlihat mengapung di sungai, dan mengusulkan agar dia bekerja sama untuk mencegah pembunuhan di negara itu; yang disebabkan oleh anarki yang terjadi di tempat itu, selama gangguan sementara pengaruh Perusahaan. "Saya tidak dapat menyetujui tindakan apa pun untuk tujuan itu," jawab datu: "Saya meraup keuntungan dari pembunuhan-pembunuhan ini sebesar dua puluh dolar per kepala, ketika keluarga menuntut." Kompensasi sebesar tiga puluh dolar per bulan ditawarkan kepadanya, dan dia hampir tidak menyetujuinya, mengamati bahwa dia akan menjadi pecundang yang cukup besar, karena dengan cara ini setidaknya ada tiga orang yang tewas dalam sebulan. Di lain waktu, ketika residen itu mencoba melaksanakan beberapa peraturan, dia berkata, "kami tradah suka begito, orang kaya i" "Kami tidak memilih untuk mengizinkannya, Tuan dan memamerkan lengan kanannya, sebagai tanda serangan kepada orang-orang yang bergantung padanya, jika hal itu telah ditegaskan. Akhir-akhir ini, kebiasaan dan rasa saling tertarik telah membuat mereka lebih akomodatif.

Pemerintahan Batta:

    "Pemerintahan negeri Batta, meskipun secara nominal berada di tangan tiga atau lebih raja yang berdaulat, secara efektif (sejauh yang dapat kita ketahui dari hubungan kita dengan rakyat) terbagi menjadi banyak kepala suku kecil, yang para pemimpinnya, yang juga disebut raja, tidak tampak bergantung pada kekuatan yang lebih tinggi, tetapi menjalin hubungan satu sama lain, khususnya dengan mereka yang berasal dari suku yang sama, untuk pertahanan dan keamanan bersama terhadap musuh yang jauh. Mereka pada saat yang sama sangat iri dengan peningkatan kekuatan relatif mereka, dan dengan dalih sekecil apa pun, perang pecah di antara mereka. Kekuatan berbagai kampong, meskipun demikian, sangat tidak seimbang, dan beberapa raja memiliki pengaruh yang jauh lebih luas daripada yang lain; dan memang harus demikian, di mana setiap orang yang dapat memperoleh selusin pengikut, dan dua atau tiga senapan, bersiap untuk kemerdekaan. Di pedalaman tempat yang disebut Sokum, penghormatan besar diberikan kepada seorang kepala suku perempuan atau uti (yang menurut saya merupakan pelafalan cair dari patri, seorang putri), yang yurisdiksinya mencakup banyak suku. Cucunya, yang merupakan pangeran yang berkuasa, baru-baru ini dibunuh oleh seorang penyerbu, dan dia telah mengumpulkan pasukan yang terdiri dari dua atau tiga ribu orang, untuk membalas dendam. Seorang agen Perusahaan pergi ke hulu sungai sekitar lima belas mil, dengan harapan dapat mengakomodasi masalah yang secara material mengancam perdamaian negara tersebut, tetapi dia diberi tahu oleh UTI, bahwa kecuali dia akan mendaratkan anak buahnya, dan mengambil bagian yang pasti dalam mendukungnya, dia tidak akan punya urusan di sana, dan dia terpaksa naik kembali tanpa melakukan apa pun. Penyerang itu mengikutinya pada malam yang sama, dan melarikan diri. Tampaknya tidak mungkin, dari perilaku dan watak orang-orang, bahwa seluruh negara pernah bersatu di bawah satu kepala tertinggi."

Kewenangan raja-raja:

    Raja yang lebih berkuasa mengambil alih kekuasaan atas kehidupan rakyatnya. Para bawahannya wajib menemani kepala suku mereka dalam perjalanan dan peperangannya, dan ketika seseorang menolak, ia dikeluarkan dari masyarakat, tanpa izin untuk membawa serta harta bendanya. Mereka diberi makanan untuk ekspedisi mereka, dan diberi hadiah untuk setiap orang yang mereka bunuh. Pendapatan kepala suku terutama berasal dari denda ternak yang diputuskan dalam proses pidana, yang selalu ia ambil untuk dirinya sendiri; dan dari hasil pohon kamper dan kemenyan di seluruh wilayahnya; tetapi ini tidak dipaksakan secara ketat. Ketika ia membayar utang perjudiannya, ia mengenakan nilai yang menurutnya pantas pada kuda dan kerbau (tidak ada koin yang digunakan di negara itu), yang ia serahkan, dan rakyatnya wajib menerimanya dengan harga itu. Mereka dipaksa bekerja secara bergiliran, selama beberapa hari, di perkebunan padi miliknya. Demikian pula, ada jenis layanan yang lebih rendah untuk tanah yang dimiliki orang lain; penyewa terikat untuk menghormati tuan tanahnya di mana pun ia bertemu dengannya, dan memberinya hiburan setiap kali ia datang ke rumahnya. Orang-orang tampaknya memiliki properti permanen dalam harta benda mereka, menjualnya satu sama lain sesuai yang mereka anggap pantas. Jika seseorang menanam pohon, dan meninggalkannya, tidak ada penghuni masa depan yang dapat menjualnya, meskipun ia mungkin memakan buahnya. Perselisihan dan litigasi apa pun yang terjadi antara orang-orang yang termasuk dalam kampong yang sama diselesaikan oleh seorang hakim yang ditunjuk untuk tujuan itu, dan darinya, dikatakan, tidak ada banding kepada raja: ketika mereka muncul antara orang-orang dari kampong yang berbeda, mereka diselesaikan pada pertemuan raja masing-masing. Ketika suatu kelompok dikirim ke Teluk, untuk membeli garam, atau untuk urusan lain, mereka ditemani oleh seorang petugas, yang memperhatikan perilaku mereka, dan terkadang menghukum di tempat seperti itu jika mereka melakukan tindak pidana atau pembangkang. Ini menghasilkan banyak ketertiban dan kesopanan.

Suksesi:

    Dinyatakan bahwa suksesi jabatan kepala suku tidak jatuh kepada anak laki-laki almarhum, tetapi kepada keponakan dari saudara perempuan almarhum; dan bahwa aturan luar biasa yang sama, berkenaan dengan properti secara umum, berlaku juga di antara orang Melayu di bagian pulau itu, dan bahkan di sekitar Padang. Otoritas untuk ini beragam dan tidak saling terkait, tetapi tidak cukup bersifat tidak langsung untuk mendorong saya mengakuinya sebagai praktik yang berlaku umum.

Penghormatan kepada sultan Menangkabau: 

    "Meskipun orang Batak memiliki jiwa independen, dan mereka tidak menyukai segala kekuasaan yang dapat memengaruhi keunggulan mereka atas masyarakat kecil mereka, mereka memiliki penghormatan yang takhayul terhadap Sultan Menangkabau, dan menunjukkan kepatuhan buta kepada kerabat dan utusannya, yang nyata atau palsu, ketika mereka muncul di antara mereka untuk tujuan memungut sumbangan: bahkan ketika dihina dan dibuat takut akan nyawa mereka sendiri, mereka tidak berusaha untuk melawan: mereka berpikir bahwa urusan mereka tidak akan pernah berhasil; bahwa padi mereka akan hancur, dan kerbau-kerbau mereka akan mati; bahwa mereka akan tetap berada di bawah semacam mantra, karena menyinggung para utusan suci tersebut."

Orang-orang Pakaian: 

    Orang Batta secara fisik lebih rendah dari orang Melayu, dan warna kulit mereka lebih cerah; yang mungkin disebabkan oleh jarak mereka yang jauh dari laut, suatu unsur yang sama sekali tidak mereka sukai. Pakaian mereka biasanya terbuat dari sejenis kain katun yang dibuat sendiri, tebal, kasar, dan kusut, panjangnya sekitar empat asta atau hasta (Bona: 1 hasta sama dengan 0,4572 meter) dan lebarnya dua, dikenakan di bagian tengah, dengan selendang di bahu. Warnanya beragam, yang paling umum adalah merah kecokelatan, dan biru mendekati hitam. Mereka gemar menghiasinya, khususnya selendang, dengan tali dan rumbai manik-manik. Penutup kepala biasanya terbuat dari kulit pohon, tetapi kelas atas mengenakan sehelai kain biru asing, meniru kain destar Melayu, dan beberapa mengenakan baju (pakaian luar) dari kain chintz. Para wanita muda, di samping kain di bagian tengah, mengenakan satu di atas dada, dan (seperti yang disebutkan dalam jurnal Tn. Miller) mengenakan banyak cincin timah di telinga mereka, serta beberapa cincin besar dari kawat kuningan tebal di leher mereka. Namun, pada hari-hari perayaan, mereka menghiasi diri mereka dengan anting-anting emas, jepit rambut, yang kepalanya dibentuk seperti burung atau naga, semacam pelindung dada bersudut tiga, dan cincin berongga di lengan atas, semuanya, dengan cara yang sama, terbuat dari emas. Kerang kima, yang banyak terdapat di teluk, juga diolah menjadi cincin lengan, lebih putih, dan memiliki polesan yang lebih baik daripada gading.

Senjata:

    "Senjata mereka adalah senjata api dengan kunci korek api, yang dengannya mereka ahli membidik- Senjata, manusia, tombak bambu atau tombak dengan kepala besi panjang, dan senjata samping yang disebut jono, yang menyerupai dan dipakai sebagai pedang daripada keris. Kotak-kotak peluru dilengkapi dengan sejumlah kotak kayu kecil, masing-masing berisi muatan untuk senjata. Di dalamnya juga dibawa korek api, dan benda-benda yang lebih kecil, yang lebih panjang berada dalam sambungan bambu, disampirkan seperti tabung anak panah di bahu. Mereka memiliki mesin yang diukir dan dibentuk dengan aneh seperti paruh burung besar, untuk menampung peluru, dan yang lainnya dengan konstruksi khusus, untuk cadangan bubuk mesiu. Ini tergantung di depan. Di sisi kanan tergantung batu api dan baja, dan juga pipa tembakau. Senjata mereka, yang kuncinya (untuk menahan korek api) terbuat dari tembaga, mereka dipasok oleh pedagang dari Menangkabau; pedang adalah hasil buatan mereka sendiri, dan mereka juga memproduksi bubuk mesiu mereka sendiri, mengekstraksi sendawa, sebagai Konon, dari tanah yang diambil dari bawah rumah-rumah yang telah lama dihuni, (yang, akibat praktik yang tidak bersih, sangat diresapi dengan garam hewani), bersama dengan yang dikumpulkan di tempat-tempat di mana kambing dipelihara. Melalui tanah ini air disaring, dan setelah dibiarkan menguap, sendawa ditemukan di dasar bejana. Standar yang tepat untuk perang adalah kepala kuda, yang darinya mengalir surai atau ekor; di sampingnya mereka memiliki warna kain merah atau putih. Untuk genderang mereka menggunakan gong, dan dalam aksinya menyiapkan semacam lingkaran perang."

Perang: 

    Semangat perang menggelora di antara orang-orang ini melalui provokasi kecil, dan tekad mereka untuk melaksanakannya segera terwujud. Kehidupan mereka tampak seperti keadaan permusuhan yang terus-menerus, dan mereka selalu siap untuk menyerang dan bertahan. Ketika mereka mulai melaksanakan rencana mereka, tindakan perlawanan pertama adalah menembaki kamp musuh mereka tanpa peluru. Tiga hari kemudian diberikan kepada pihak yang ditembak untuk mengusulkan syarat-syarat akomodasi, dan jika ini tidak dilakukan, atau syarat-syaratnya tidak dapat disetujui, maka perang dinyatakan sepenuhnya. Upacara penembakan hanya dengan bubuk mesiu ini disebut, "membawa asap ke musuh." Selama perang mereka, yang terkadang berlangsung selama dua atau tiga tahun, mereka jarang bertemu secara terbuka di lapangan, atau mencoba memutuskan pertarungan mereka dengan pertempuran umum karena kerugian bersama sebanyak selusin orang dapat menghancurkan kedua belah pihak, mereka juga tidak pernah terlibat pertempuran jarak dekat, tetapi menjaga jarak yang cukup aman, jarang lebih dekat dari tembakan acak, kecuali dalam kasus kejutan tiba-tiba. Mereka berbaris dalam satu barisan, dan biasanya menembak sambil berlutut. Tidak sering mereka berani melakukan serangan langsung terhadap ladang satu sama lain, tetapi mencari peluang untuk menghabisi orang-orang yang lewat di hutan. Sekelompok tiga atau empat orang akan bersembunyi di dekat jalan setapak, dan jika mereka melihat musuh mereka, mereka menembak dan segera melarikan diri; menanam ranjau setelah mereka, untuk mencegah pengejaran. Pada kesempatan ini seseorang akan hidup dengan satu kentang sehari, yang mana mereka memiliki banyak keuntungan dari orang Melayu, (yang sering mereka lawan dalam peperangan) yang membutuhkan makanan yang lebih baik.

Benteng: 

    Mereka membentengi kampong mereka dengan benteng tanah yang besar, di tengahnya mereka menanam semak belukar. Ada parit tanpa benteng, dan di setiap sisinya ada pagar kayu kamper yang tinggi. Di balik ini ada pagar bambu berduri yang tidak bisa ditembus, yang, jika sudah cukup tumbuh, akan menjadi sangat rapat, dan menutupi semua bentuk kota dengan sempurna. Ranjau, yang panjang untuk tubuh dan kaki, tidak memiliki semua ini, dan membuat jalan masuk berbahaya bagi penyerang yang hampir telanjang. Di setiap sudut benteng, alih-alih menara atau rumah jaga, mereka berusaha untuk memiliki pohon tinggi, yang mereka panjat untuk mengintai atau menembak. Tetapi mereka tidak suka tetap bertahan di desa-desa berbenteng ini, dan karena itu, meninggalkan beberapa orang untuk menjaganya, biasanya maju ke dataran, dan membangun benteng dan parit sementara.

Perdagangan: 

    Penduduk asli pesisir laut menukar kemenyan, kamper, dan kayu manis (jumlah debu emasnya sangat sedikit) dengan besi, baja, kawat kuningan, dan garam, yang mana seratus ribu batang bambu diambil setiap tahunnya di teluk Tapanuli. Mereka menukarnya lagi dengan penduduk pedalaman, dengan cara yang akan dijelaskan nanti, untuk produk dan hasil produksi negara, khususnya kain buatan sendiri; sejumlah kecil barang katun diimpor dari pesisir, dan dijual kepada penduduk asli. Yang mereka ambil terutama kain biru untuk kepala, dan kain chintz.

Pameran yang diadakan: 

    Untuk kemudahan menjalankan perdagangan pedalaman, di bagian belakang Tapanuli, yang merupakan pasar besar mereka, didirikan empat panggung, di mana mereka secara berurutan mengadakan pekan raya atau pasar umum setiap empat hari sepanjang tahun; masing-masing pekan raya, tentu saja, berlangsung selama satu hari. Orang-orang di distrik panggung keempat mengumpulkan barang-barang mereka di tempat yang telah ditentukan, yang menjadi tujuan orang-orang di panggung ketiga untuk membelinya. Orang-orang di panggung ketiga, dengan cara yang sama, memenuhi kebutuhan panggung kedua, dan orang-orang di panggung pertama, yang menjual barang dagangan yang telah mereka perdagangkan dengan orang Eropa dan Melayu pada hari pasar diadakan. Pada kesempatan ini semua permusuhan ditangguhkan. Setiap orang yang memiliki senapan membawanya dengan dahan hijau di moncongnya, sebagai tanda perdamaian, dan setelah itu, ketika dia tiba di tempat itu, mengikuti contoh direktur atau manajer rombongan, melepaskan muatan ke gundukan tanah; di sana, sebelum berangkat, dia mencari pelurunya. Hanya ada satu rumah di tempat pasar itu diadakan, dan itu untuk tujuan perjudian. Kekurangan kios-kios dipenuhi oleh naungan deretan pohon buah-buahan yang teratur, kebanyakan durian, yang salah satu jalannya disediakan untuk para wanita. Transaksi dilakukan dengan tertib dan adil; kepala suku tetap tinggal agak jauh, untuk dihubungi jika terjadi perselisihan, dan seorang penjaga, bersenjata tombak, siap menjaga perdamaian dengan semua polisi ini; yang menunjukkan peradaban, saya telah diyakinkan oleh mereka yang berkesempatan menghadiri pertemuan mereka, bahwa dalam seluruh penampilan dan perilaku mereka ada lebih banyak kehidupan liar daripada yang diamati dalam tata krama Rejang, atau penduduk Lampong. Para pedagang dari distrik Batta yang lebih terpencil, yang terletak di utara dan selatan, berkumpul di pasar-pasar berkala ini, tempat semua perdagangan mereka dilakukan, dan komoditas dipertukarkan. Namun, mereka tidak khusus untuk negara ini, yang diadakan, antara lain, di Batang-kapas dan Ipu. Oleh orang Melayu disebut onan.

Perkirakan berdasarkan komoditas, bukan koin:

    Karena tidak memiliki koin, semua nilai di antara mereka diperkirakan berdasarkan komoditas tertentu. Dalam perdagangan, mereka menghitung dengan tampang (kue) benzoin; transaksi di antara mereka sendiri, lebih umum dengan kerbau: terkadang kawat kuningan, dan terkadang manik-manik, digunakan sebagai media. Galang, atau cincin dari kawat kuningan, mewakili nilai sekitar satu dolar. Namun untuk pembayaran kecil, garam adalah yang paling banyak digunakan. Ukuran yang disebut salup, beratnya sekitar dua pon, sama dengan satu fanam atau dua pence-setengah penny per balli, ukuran kecil lainnya, berlaku untuk empat keppeng, atau tiga perlima penny.

Makanan: 

    Makanan umum masyarakat kelas bawah adalah jagung dan ubi jalar dengan harga yang murah, garam adalah yang paling banyak digunakan. Para raja dan orang-orang besar saja yang memanjakan diri dengan nasi. Sebagian mencampurnya. Mereka hanya membunuh ternak untuk makanan pada acara-acara umum, tetapi karena selera makan mereka tidak peka, mereka tidak segan-segan memakan bangkai kerbau, babi, tikus, buaya, atau hewan liar lainnya yang kebetulan mereka temui. Sungai-sungai mereka dikatakan tidak memiliki banyak ikan. Daging kuda mereka anggap sebagai daging yang paling lezat, dan untuk tujuan ini mereka memberi mereka makan biji-bijian, dan sangat memperhatikan pemeliharaannya. Mereka banyak jumlahnya di pedesaan, dan orang-orang Eropa di Bencoolen dipasok dengan banyak daging yang bagus dari sana, tetapi tidak yang terbaik, karena daging-daging ini disediakan untuk perayaan mereka. Mereka juga, kata Tn. Miller, memiliki anjing hitam kecil dalam jumlah besar, dengan telinga tegak dan runcing, yang mereka gemukkan dan makan. Mereka minum tuak atau tuak aren secara berlebihan pada pesta-pesta mereka.

Bangunan: 

    Rumah-rumah dibangun dengan rangka kayu, sisi-sisinya dari papan, dan atapnya ditutupi iju. Rumah-rumah biasanya terdiri dari satu ruangan besar, yang dimasuki melalui pintu jebakan di tengahnya. Jumlah penghuninya jarang melebihi dua puluh orang dalam satu kampung, tetapi di seberang masing-masing kampung terdapat semacam bangunan terbuka, yang berfungsi untuk duduk-duduk di siang hari, dan sebagai tempat tidur bagi para lelaki yang belum menikah di malam hari. Semua ini membentuk semacam jalan. Di setiap kampung juga terdapat balei, tempat para penghuninya berkumpul untuk melakukan urusan umum, merayakan pesta, dan menerima orang asing, yang mereka hibur dengan kejujuran dan keramahan. Di ujung bangunan ini terdapat tempat terpisah, dari sana para wanita dapat melihat pertunjukan anggar dan tari-tarian, dan di bawahnya terdapat semacam orkestra untuk musik.

Tata krama rumah tangga: 

    Para lelaki diizinkan menikahi istri sebanyak yang mereka inginkan, atau mampu, dan memiliki setengah lusin istri bukanlah hal yang aneh. Masing-masing dari mereka duduk di bagian yang berbeda dari ruangan besar, dan tidur terbuka dari yang lain; tidak dipisahkan oleh sekat atau perbedaan apartemen. Namun, sang suami merasa perlu untuk memberikan kepada masing-masing dari mereka beberapa perapian, dan peralatan memasak, di mana mereka menyiapkan makanan mereka sendiri secara terpisah, dan menyiapkan makanannya secara bergiliran. Bagaimana keadaan rumah tangga ini, dan rapuhnya penghalang imajiner seperti itu, dapat diselaraskan dengan gagasan kita tentang nafsu cinta dan kecemburuan yang membara dan tak terkendali, yang seharusnya berlaku di tempat haram timur atau haruskah adat istiadat dibiarkan menggantikan semua pengaruh lainnya, baik moral maupun fisik? Dalam hal lain, mereka sedikit berbeda dalam adat istiadat mereka yang berkaitan dengan pernikahan dari penduduk pulau lainnya. Orang tua gadis selalu menerima pertimbangan yang berharga (dalam bentuk kerbau atau kuda) dari orang yang kepadanya dia dinikahi; yang dikembalikan ketika terjadi perceraian yang bertentangan dengan keinginan laki-laki. Anak perempuan, seperti di tempat lain, dipandang sebagai kekayaan para ayah."

Kondisi para wanita: 

    Kondisi para wanita tampaknya tidak lain adalah kondisi para budak, para suami memiliki kekuasaan untuk menjual istri dan anak-anak mereka. Mereka sendiri, selain tugas-tugas domestik, bekerja di perkebunan padi. ​​Perkebunan padi disiapkan dengan cara yang sama seperti di bagian lain pulau; kecuali bahwa di bagian tengah, karena wilayahnya lebih bersih, bajak dan garu, yang ditarik oleh kerbau, lebih banyak digunakan. Para pria, ketika tidak terlibat dalam perang, pekerjaan favorit mereka, biasanya menjalani kehidupan yang santai dan tidak aktif, menghabiskan hari dengan memainkan sejenis seruling, yang dimahkotai dengan untaian bunga; di antaranya adalah globe-amaranthus, tanaman asli negara tersebut, yang paling banyak digunakan.

Pacuan kuda: 

    Akan tetapi, mereka dikatakan berburu rusa dengan menunggang kuda, dan terikat pada hiburan pacuan kuda. Mereka berkuda dengan berani tanpa pelana atau sanggurdi, sering kali mengangkat tangan ke atas sambil memacu kudanya hingga kecepatan penuh. Kekang terbuat dari besi, dan memiliki beberapa sambungan; kepala kuda dan tali kekang dari rotan: di beberapa bagian tali kekang, atau lebih tepatnya tali kekang, terbuat dari iju, dan kekang dari kayu. Mereka, seperti orang Sumatera lainnya, sangat kecanduan permainan, dan praktiknya tidak dibatasi, sampai menghancurkan dirinya sendiri dengan kehancuran salah satu pihak. Ketika seseorang kehilangan lebih banyak uang daripada yang mampu dibayarkannya, ia dikurung dan dijual sebagai budak; menjadi cara yang paling umum untuk menjadi budak. Seorang pemenang yang murah hati terkadang akan melepaskan musuhnya yang malang dengan syarat ia membunuh seekor kuda, dan mengadakan hiburan umum,

Bahasa: 

    Bahasa Batak, seperti yang telah diamati sebelumnya, memiliki bahasa dan karakter tertulis yang khas bagi mereka sendiri, dan yang dapat dianggap, dalam hal orisinalitas, setidaknya setara dengan bahasa lain di pulau itu; dan meskipun, seperti bahasa Jawa, Sulawesi, dan Filipina, bahasa Batak memiliki banyak istilah yang sama dengan bahasa Melayu (menurut penilaian saya, semuanya berasal dari satu sumber yang sama), namun, dalam hal perambahan, dari pengaruh, baik politik maupun agama, yang diperoleh oleh tetangga dekatnya, bahasa Batak tampaknya mengalami lebih sedikit perubahan daripada bahasa lain. Untuk contoh kata-katanya, alfabetnya, dan aturan yang dengannya bunyi huruf-hurufnya dimodifikasi dan diatur, pembaca dirujuk ke gambar dibawah (lihat Tabel dan Plat di hlm. 203 pada buku).

Tulisan: 

Sungguh luar biasa, bahwa proporsi orang yang dapat membaca dan menulis jauh lebih besar daripada mereka yang tidak; kualifikasi yang jarang ditemukan di bagian dunia yang tidak beradab seperti itu, dan tidak selalu ditemukan di tempat yang lebih maju. Tulisan mereka, untuk tujuan umum, seperti yang telah dijelaskan dalam pembicaraan tentang suku Rejang, ditulis pada potongan bambu.

Buku: 

    Buku-buku mereka (dan buku-buku seperti itu dapat mereka sebut dengan tepat) tersusun dari kulit bagian dalam pohon tertentu, dipotong menjadi potongan-potongan panjang, dan dilipat menjadi kotak-kotak, menyisakan sebagian kayu di setiap ujungnya, untuk dijadikan sampul luar. Untuk tujuan ini, kulitnya diserut halus dan tipis, lalu digosok dengan air beras. Pena yang mereka gunakan adalah ranting atau serat daun, dan tintanya terbuat dari jelaga damar, dicampur dengan sari tebu. Isi buku-buku mereka tidak banyak diketahui. Tulisan sebagian besar buku yang saya miliki dicampur dengan gambaran kasar tentang scolopendra dan hewan-hewan berbahaya lainnya, dan diagram yang sering, yang menyiratkan bahwa buku-buku itu adalah karya astrologi dan ramalan. Mereka dikenal sebagai konsultan dalam semua transaksi kehidupan, dan kejadiannya diprediksi dengan penerapan karakter-karakter tertentu yang ditandai pada potongan bambu, pada baris-baris kitab suci, yang dibandingkan dengannya. Namun, ini bukan satu-satunya cara mereka meramal. Sebelum berperang, mereka membunuh seekor kerbau atau unggas yang putih bersih, dan dengan mengamati gerakan usus, menilai nasib baik atau buruk yang mungkin menimpa mereka; dan pendeta yang melakukan upacara ini haruslah orang yang tidak pernah salah, karena jika ia meramalkan hal yang bertentangan dengan kejadiannya, dikatakan bahwa ia terkadang dihukum mati karena kurangnya keterampilan. Akan tetapi, selain dari buku-buku nekromansi ini, ada buku-buku lain yang berisi kisah-kisah legendaris dan mitologis, yang contohnya akan diberikan di bawah artikel tentang agama.

Komentar Dr. Leyden: 

    "Dr. Leyden, dalam Disertasinya tentang Bahasa dan Sastra Bangsa Indo-Cina, mengatakan bahwa aksara Batta tidak ditulis dari kanan ke kiri, atau dari kiri ke kanan, atau dari atas ke bawah, tetapi dengan cara yang berlawanan dengan aksara Cina, dari baris bawah ke atas, dan bahwa saya telah menyampaikan gagasan yang keliru tentang bentuk alami mereka, dengan menyusun aksara secara horizontal, alih-alih menempatkannya dalam garis tegak lurus. Karena sekarang tidak memiliki kesempatan untuk memverifikasi, dengan bukti visual, apa yang saya pahami sebagai urutan praktis penulisan mereka, yaitu, dari kiri ke kanan (dengan cara orang Hindu, yang, ada alasan untuk percaya, adalah instruktur asli dari semua orang ini), saya hanya akan mengamati, bahwa saya memiliki di antara makalah saya tiga spesimen berbeda dari aksara Batta, yang ditulis oleh penduduk asli yang berbeda, pada periode yang berbeda, dan semuanya horizontal. Tetapi saya pada saat yang sama menyadari bahwa karena ini dilakukan di hadapan orang Eropa, dan pada makalah kami, mereka mungkin menyimpang dari praktik mereka yang biasa, dan oleh karena itu buktinya tidak meyakinkan. Memang dapat diasumsikan bahwa buku-buku itu sendiri akan menjadi kriteria yang memadai; tetapi, menurut posisi di mana buku-buku itu dipegang, buku-buku itu dapat dibuat untuk menyetujui salah satu cara, meskipun mudah untuk menentukan dengan pemeriksaan sederhana, permulaan baris-barisnya. Dalam Batav. Trans. (Vol. III. hal. 23.) yang sudah sering dikutip, secara tegas dikatakan, bahwa orang-orang ini menulis seperti orang Eropa dari tangan kiri ke arah kanan: dan, sebenarnya, tidak mudah untuk membayangkan bagaimana orang yang menggunakan tinta dapat menggerakkan tangan dari bawah ke atas halaman tanpa merusak kinerja mereka sendiri. Tetapi tetap saja, jika memang demikian, fakta tidak dapat dibantah, dan saya tidak punya tujuan selain untuk memastikan kebenarannya."

Agama: 

    Agama mereka, seperti halnya semua penduduk pulau lainnya yang bukan penganut Islam, sangat tidak jelas prinsipnya, sehingga hampir tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa ada di antara mereka. Namun, mereka memiliki lebih banyak upacara dan ketaatan daripada Rejang atau Passummah, dan ada ordo orang yang oleh mereka disebut guru (istilah Hindu yang terkenal), yang dapat disebut pendeta, karena mereka dipekerjakan untuk mengucapkan sumpah, meramalkan hari baik dan buruk, melakukan pengorbanan, dan melaksanakan upacara pemakaman. Untuk pengetahuan tentang teogoni mereka, kita berhutang budi kepada M. Siberg, gubernur pemukiman Belanda di pantai Sumatera, yang olehnya kisah berikut dikomunikasikan kepada mendiang M. Radermacher, seorang anggota terhormat dari Batavian Society, dan olehnya diterbitkan dalam Transactions.

Mitologi: 

    “Penduduk negeri ini punya banyak cerita hebat, yang akan disebutkan secara singkat. Mereka mengakui tiga dewa sebagai penguasa dunia, yang masing-masing bernama Batara-guru, Sori-pada, dan Mangalla-bulang. Yang pertama, kata mereka, berkuasa di surga, adalah bapak seluruh umat manusia, dan sebagian, dalam keadaan berikut, pencipta bumi, yang sejak awal waktu telah ditopang oleh kepala Naga-padoha, tetapi karena lelah akhirnya, ia menggelengkan kepalanya, yang menyebabkan bumi tenggelam, dan tidak ada yang tersisa di dunia kecuali air. Mereka tidak berpura-pura mengetahui penciptaan bumi dan air asli ini, tetapi mengatakan bahwa pada masa ketika bumi dan air menutupi segalanya, dewa utama, Batara-guru, memiliki seorang putri bernama Puti-orla-bulan, yang meminta izin untuk turun ke wilayah yang lebih rendah ini, dan karenanya turun di atas burung hantu putih, ditemani oleh seekor anjing tetapi karena tidak dapat melanjutkan perjalanan di sana karena air, ayahnya menjatuhkan gunung yang tinggi dari surga, bernama Bakarra, yang sekarang terletak di wilayah Batta, sebagai tempat tinggal bagi anaknya; dan dari gunung ini semua daratan lainnya berangsur-angsur terbentuk. Bumi sekali lagi ditopang oleh tiga tanduk Naga-padoha, dan agar ia tidak akan pernah membiarkannya jatuh lagi, Batara-guru mengirim putranya, bernama Layang-layang-mandi (secara harfiah berarti burung layang-layang yang menukik) untuk mengikat tangan dan kakinya. Tetapi mereka menganggap bahwa sesekali ia menggelengkan kepalanya sebagai akibat dari gempa bumi. Puti-orla-bulan kemudian, selama ia tinggal di bumi, memiliki tiga putra dan tiga putri, yang darinya muncul seluruh umat manusia.

    “Dewa kedua mereka menguasai udara, antara bumi dan surga, dan dewa ketiga menguasai bumi; tetapi keduanya dianggap lebih rendah daripada yang pertama. Selain itu, mereka memiliki banyak dewa yang lebih rendah seperti halnya objek yang dapat dirasakan di bumi, atau keadaan dalam masyarakat manusia yang sebagian menguasai laut, yang lain menguasai sungai, hutan, perang, dan sejenisnya. Mereka juga percaya pada empat roh jahat, yang tinggal di empat gunung terpisah, dan apa pun yang menimpa mereka, mereka kaitkan dengan salah satu dari setan-setan ini. Pada kesempatan seperti itu, mereka meminta bantuan salah satu orang licik mereka, yang menggunakan keahliannya, dan dengan memotong lemon, mereka memastikan siapa di antara mereka yang telah melakukan kejahatan, dan dengan cara apa roh jahat itu dapat ditenangkan, yang selalu terbukti dengan mengorbankan seekor kerbau, babi, kambing, atau hewan apa pun yang paling disukai penyihir pada hari itu. Bila permohonan ditujukan kepada salah satu dewa yang lebih tinggi dan dermawan untuk memohon bantuan, dan pendeta memerintahkan persembahan berupa kuda, sapi, babi anjing atau unggas, harus diperhatikan agar hewan yang dikorbankan itu seluruhnya berwarna putih.

    Mereka juga memiliki gagasan yang samar dan membingungkan tentang keabadian jiwa manusia, dan tentang keadaan kebahagiaan atau kesengsaraan di masa depan. Mereka mengatakan, bahwa jiwa orang yang sekarat keluar melalui lubang hidung, dan terbawa angin; ke surga, jika jiwa orang yang telah menjalani kehidupan yang baik; tetapi jika jiwa orang yang berbuat jahat, ke kuali besar, di mana jiwanya akan dibakar, sampai saatnya Batara-guru memutuskan bahwa jiwanya telah menderita hukuman yang setimpal dengan dosanya, dan karena merasa kasihan, akan membawanya ke surga: bahwa akhirnya saatnya akan tiba ketika rantai dan ikatan Naga-padoha akan terkikis, dan sekali lagi ia akan membiarkan bumi tenggelam; bahwa matahari tidak akan lebih dari jarak satu hasta darinya; dan bahwa jiwa mereka yang telah hidup dengan baik, akan tetap hidup pada hari terakhir, dengan cara yang sama akan pergi ke surga, dan mereka yang jahat, akan dikirim ke kuali yang disebutkan sebelumnya, dipanaskan dengan hebat oleh sinar matahari yang mendekat, untuk disiksa di sana oleh seorang menteri Batara-guru, bernama Suraya-guru, sampai, setelah menebus pelanggaran mereka, mereka akan dianggap layak untuk diterima di wilayah surgawi. Bagi sarjana Sansekerta yang akan memberikan kelonggaran untuk ortografi yang rusak, banyak dari nama-nama ini akan dikenal. Bagi Batara dia akan membaca avatara; dan di Naga-padoha dia akan mengenali ular tempat Wisnu beristirahat.

Sumpah: 

    Upacara-upacara mereka yang paling tampak seperti upacara keagamaan adalah upacara yang dilakukan saat mengambil sumpah dan pada upacara pemakaman. Seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dan menyatakan dirinya tidak bersalah, dalam beberapa kasus dibebaskan setelah bersumpah dengan sungguh-sungguh, tetapi dalam kasus lain, diwajibkan menjalani semacam cobaan. Tenggorokan ayam jantan biasanya dipotong oleh guru. Terdakwa kemudian memasukkan sedikit nasi ke dalam mulutnya (mungkin kering) dan berharap nasi itu menjadi batu jika ia bersalah atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya; atau mengangkat peluru senapan, berdoa agar nasibnya, dalam kasus itu, gugur dalam pertempuran. Dalam kasus yang lebih penting, mereka menaruh patung timah kecil di tengah semangkuk nasi, yang dihiasi dengan peluru-peluru itu; ketika orang itu berlutut, berdoa agar panen padinya gagal, ternaknya mati, dan agar ia sendiri tidak pernah makan garam (kemewahan sekaligus kebutuhan hidup), jika ia tidak menyatakan kebenaran. Patung-patung kaleng ini dapat dipandang sebagai objek penyembahan berhala; tetapi saya tidak dapat mengetahui bahwa ada bentuk pemujaan yang diberikan kepada patung-patung itu pada kesempatan lain, tidak lebih dari pada patung-patung batu tertentu yang telah disebutkan. Seperti relik orang-orang suci, patung-patung itu hanya digunakan untuk membuat bentuk sumpah menjadi lebih misterius, dan dengan demikian meningkatkan rasa hormat yang seharusnya diberikan kepada patung itu.

    ketika seorang raja atau orang penting meninggal, pemakaman biasanya memakan waktu beberapa bulan; yaitu, jenazah dibiarkan tidak dikubur sampai para kepala suku tetangga dan jauh, atau, dalam kasus umum, para kerabat dan kreditor almarhum, dapat berkumpul, untuk merayakan upacara dengan martabat dan rasa hormat yang pantas. Mungkin ini adalah musim tanam atau panen, dan kegiatan-kegiatan yang diperlukan ini harus diperhatikan, sebelum upacara pemakaman dapat diselesaikan. Namun, jenazah sementara itu disimpan dalam semacam peti mati. Untuk menyediakan ini, mereka menebang pohon besar (anau lebih disukai, karena bagian tengahnya lunak, sedangkan kulit luarnya keras), dan setelah memotong sebagian batang yang cukup panjang, mereka membelahnya menjadi dua bagian, melubangi setiap bagian sehingga membentuk wadah untuk jenazah, dan kemudian menyatukannya dengan tepat. Para pekerja berhati-hati untuk memercikkan kayu dengan darah babi muda, yang dagingnya diberikan kepada mereka sebagai hadiah. Peti jenazah disiapkan dan dibawa ke dalam rumah, lalu jenazah ditaruh di dalamnya, dengan alas di bawahnya, dan kain dibentangkan di atasnya. Jika keluarga mampu, jenazah ditaburi dengan kapur barus. Setelah kedua bagian itu disatukan, mereka mengikatnya dengan rotan, dan menutupi seluruhnya dengan lapisan damar atau resin yang tebal. Dalam beberapa kasus, mereka mengambil tindakan pencegahan dengan memasukkan tabung bambu ke bagian bawah, yang kemudian melewati lantai yang ditinggikan ke tanah, berfungsi untuk membawa keluar materi yang mengganggu; sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang.

Upacara pemakaman:  

    Ketika para kerabat dan sahabat berkumpul, masing-masing membawa seekor kerbau, babi, kambing, anjing, unggas, atau barang perbekalan lainnya, sesuai dengan kemampuannya, dan para wanita membawa keranjang berisi nasi, yang disajikan dan ditata, pesta dimulai dan berlanjut selama sembilan hari sembilan malam, atau selama persediaan masih ada. Pada hari terakhir peti jenazah dibawa keluar dan diletakkan di tempat terbuka, di mana peti jenazah dikelilingi oleh para pelayat wanita, berlutut, dengan kepala tertutup, dan melolong (ululantes) dalam konser yang menyedihkan, sementara para anggota keluarga yang lebih muda menari di dekatnya, dalam gerakan khidmat, mengikuti suara gong, kalintang, dan sejenis flageolet; pada malam hari peti jenazah dikembalikan ke rumah, di mana tarian dan musik berlanjut, dengan tembakan senjata yang sering, dan pada hari kesepuluh jenazah dibawa ke kuburan, didahului oleh guru atau pendeta, yang anggota tubuhnya ditato dalam bentuk burung dan binatang, dan dicat dengan warna yang berbeda*, dengan topeng kayu besar di wajahnya. Ia mengambil sepotong daging kerbau, mengayunkannya, melemparkan dirinya ke dalam sikap kasar dan gerakan aneh, lalu memakan potongan daging itu dengan rakus. Ia kemudian membunuh seekor unggas di atas mayat, membiarkan darah mengalir ke peti mati, dan tepat sebelum dipindahkan, ia dan para pelayat wanita, masing-masing memegang sapu di tangan mereka, menyapu dengan kasar di sekitarnya, seolah-olah untuk mengusir roh-roh jahat dan mencegah mereka bergabung dalam prosesi; ketika tiba-tiba empat orang, yang ditempatkan untuk tujuan itu, mengangkat peti mati, dan berbaris cepat membawanya, seolah-olah melarikan diri dari iblis; pendeta terus menyapu setelahnya untuk beberapa jarak. Kemudian, peti itu ditaruh di tanah, tanpa upacara khusus, pada kedalaman tiga atau empat kaki; tanah di sekitar kuburan ditinggikan, sebuah gudang dibangun di atasnya, pesta lebih lanjut berlangsung di tempat itu, untuk waktu yang tidak terbatas, dan tanduk serta tulang rahang kerbau dan ternak lain yang dimangsa pada kesempatan itu, diikatkan ke tiang-tiang. Tn. John dan Tn. Frederick Marsden menyaksikan pemakaman seorang raja di Tappanuli. Tn. Charles Miller menyebutkan bahwa dirinya hadir saat menyembelih kerbau keseratus enam di makam seorang raja, di bagian negara tempat upacara terkadang dilanjutkan bahkan setahun setelah pemakaman; dan bahwa mereka tampaknya menganggap leluhur mereka sebagai makhluk superior yang selalu mendampingi mereka.

*Sungguh luar biasa, bahwa dalam bahasa Bisaya di Filipina, istilah untuk orang-orang yang ditandai demikian, yang oleh orang Spanyol disebut pintados, adalah batuc. Praktik ini umum di pulau-pulau dekat pantai Sumatra, sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Praktik ini tampaknya telah lazim di banyak bagian di Timur Jauh, seperti Siam, Laos, dan beberapa pulau lainnya. 

Kejahatan:   

    Kejahatan yang dilakukan di sini terhadap ketertiban dan kedamaian masyarakat dikatakan tidak banyak. Pencurian di antara mereka sendiri hampir tidak diketahui, karena mereka benar-benar jujur ​​dalam berurusan satu sama lain; tetapi ketika ketahuan, si pelanggar harus bertanggung jawab atas dua kali lipat nilai barang yang dicuri. Memang, mencuri dari orang asing, ketika tidak dibatasi oleh hukum keramahtamahan, mereka ahli dalam hal itu, dan tidak menganggapnya sebagai pelanggaran moral karena mereka tidak melihat bahwa ada hal buruk yang diakibatkannya. ; Perampokan dan pembunuhan terbuka dapat dihukum mati, jika para pihak tidak dapat menebus nyawa mereka dengan sejumlah uang. Seseorang yang bersalah atas pembantaian manusia wajib menanggung biaya pemakaman almarhum dan pesta pemakaman yang diberikan kepada teman-temannya, atau, jika terlalu miskin untuk melakukannya, biaya tersebut dibebankan kepada kerabat terdekatnya, yang berwenang untuk mengganti kerugiannya dengan menjual si pelanggar sebagai budak. Dalam kasus perzinahan ganda, pria tersebut, setelah ketahuan, dihukum mati, dengan cara yang akan dijelaskan sekarang; tetapi wanita hanya dipermalukan, dengan mencukur kepalanya, dan dijual sebagai budak; yang sebenarnya memang demikian sebelumnya. Pembagian keadilan ini harus dilakukan berdasarkan anggapan bahwa wanita hanyalah subjek pasif, dan hanya pria yang memiliki kemampuan sebagai agen bebas. Seorang pria lajang yang terlibat dalam perzinahan dengan wanita yang sudah menikah dibuang atau dilarang oleh keluarganya sendiri. Nyawa para pelaku dalam hampir semua kasus dapat ditebus, jika mereka atau koneksi mereka memiliki cukup harta; jumlahnya sebagian besar bergantung pada kebijaksanaan pihak yang dirugikan. Pada saat yang sama harus diperhatikan bahwa orang Eropa tidak menetap di antara orang-orang ini dengan kedudukan yang sama seperti di distrik-distrik lada, kita tidak begitu mengenal baik prinsip maupun praktik hukum mereka.

Adat istiadat yang luar biasa: 

    Kebiasaan Batta yang paling luar biasa, meskipun tentu saja tidak khusus bagi orang-orang ini, masih harus dijelaskan sekarang. Banyak pengelana kuno telah memberi tahu dunia tentang antropofagi atau pemakan manusia, yang mereka temui di semua bagian dunia lama dan baru, dan hubungan mereka, benar atau salah, pada masa itu, ketika orang-orang kecanduan pada hal-hal yang menakjubkan, diakui secara universal. Pada zaman berikutnya, ketika semangat yang lebih skeptis dan teliti berlaku, beberapa dari fakta-fakta yang dinyatakan ini ditemukan setelah pemeriksaan sebagai salah; dan manusia, karena bias yang melekat dalam sifat kita, berlari ke ekstrem yang berlawanan. Kemudian menjadi mapan sebagai kebenaran filosofis, yang hampir dapat dibuktikan, bahwa tidak ada ras orang seperti itu yang pernah ada atau dapat ada. Tetapi variasi, ketidakkonsistenan, dan kontradiksi dalam perilaku manusia, begitu banyak dan mencolok, sehingga hampir tidak mungkin untuk menetapkan prinsip umum apa pun yang akan berlaku untuk semua ras manusia yang tidak sesuai, atau bahkan untuk memahami ketidakteraturan yang tidak biasa bagi sebagian dari mereka. Pelayaran para pelaut keliling dunia kita yang terkenal, yang kebenaran pernyataannya tidak dapat dibantah, telah membuktikan kepada dunia bahwa daging manusia dimakan oleh orang-orang biadab di Selandia Baru; dan saya dapat, dengan keyakinan yang sama, dari keyakinan akan kebenaran, meskipun tidak dengan bobot otoritas yang sama, menegaskan, bahwa hal itu sama seperti pada masa sekarang, dimakan di pulau Sumatra oleh orang Batta, dan oleh orang-orang monly. Apakah kebiasaan yang mengerikan itu berlaku lebih luas di zaman kuno atau tidak, saya tidak dapat memastikannya; tetapi para sejarawan yang sama yang menyebutkannya sebagai praktik di pulau ini, dan yang kisahnya secara tidak pantas dianggap sebagai hal yang luar biasa, menceritakannya juga tentang banyak orang timur lainnya, dan khususnya orang-orang di pulau Jawa, yang, sejak periode itu, mungkin telah menjadi lebih manusiawi*. 

    *Orang Batak dan adat istiadat mereka yang unik disebutkan oleh penulis-penulis awal berikut ini: Nicolo di Conti, 1449. "Di suatu bagian pulau ini (Sumatera) yang disebut Batak, orang-orangnya memakan daging manusia. Mereka terus-menerus berperang dengan tetangga-tetangga mereka, menyimpan tengkorak-tengkorak musuh mereka sebagai harta, menjualnya sebagai uang, dan orang yang paling kaya adalah orang yang menyimpan sebagian besar tengkorak di rumahnya." Odoardus Barbosa, 1516. "Ada kerajaan lain di sebelah selatan, yang merupakan sumber utama emas; dan kerajaan lain di pedalaman, yang disebut Aaru (berbatasan dengan wilayah Batak) yang penduduknya adalah orang-orang kafir, yang memakan daging manusia, dan terutama daging yang mereka bunuh dalam perang." De Barros, 1563. "Penduduk asli bagian pulau yang berseberangan dengan Malaka, yang disebut Batas, memakan daging manusia, dan merupakan yang paling buas dan suka berperang di seluruh negeri." Beaulieu, 1622. “Orang-orang pedalaman itu mandiri, dan berbicara dalam bahasa yang berbeda dengan orang Melayu. Mereka penyembah berhala, dan memakan daging manusia; tidak pernah menebus tawanan, tetapi memakannya dengan merica dan garam. Tidak memiliki agama, tetapi memiliki pemerintahan.” Ludovico Barthema, pada tahun 1505, menegaskan bahwa orang-orang Jawa adalah kanibal sebelum mereka berdagang dengan orang Cina.

    Mereka tidak memakan daging manusia sebagai cara untuk memuaskan keinginan alami, karena tidak akan ada kekurangan makanan bagi penduduk negara dan iklim seperti itu, yang tidak menolak makanan hewani dalam bentuk apa pun dan juga tidak mencarinya sebagai makanan lezat yang rakus. Suku Batta memakannya sebagai semacam upacara; sebagai cara untuk menunjukkan rasa benci mereka terhadap kejahatan tertentu dengan hukuman yang memalukan; dan sebagai pertunjukan balas dendam dan penghinaan yang biadab kepada musuh-musuh mereka yang malang. Sasaran dari santapan biadab ini adalah tawanan perang, terutama jika terluka parah, mayat orang yang terbunuh, dan pelanggar yang dihukum karena kejahatan berat tertentu, terutama untuk perzinahan. Tahanan yang tidak terluka (tetapi mereka tidak terlalu bersedia memberi ampun) dapat ditebus atau dijual sebagai budak, jika pertengkarannya tidak terlalu lama; dan para narapidana, ada alasan untuk percaya, jarang menderita ketika teman-teman mereka dalam keadaan yang memungkinkan untuk menebus mereka dengan setara dengan dua puluh binchang atau delapan puluh dolar. Mereka diadili oleh orang-orang dari suku tempat pelanggaran dilakukan, tetapi tidak dapat dieksekusi sampai raja mereka sendiri mengetahui hukumannya, yang, ketika mengakui keadilan hukuman yang dimaksudkan, mengirimkan sehelai kain untuk menutupi kepala pelaku, bersama dengan sepiring besar garam dan lemon. Korban yang malang itu kemudian diserahkan ke tangan pihak yang terluka (jika itu adalah kesalahan pribadi, atau dalam kasus seorang tahanan, kepada para prajurit) yang mengikatnya ke tiang pancang; tombak dilemparkan kepadanya dari jarak tertentu oleh orang ini, kerabatnya, dan teman-temannya; dan ketika terluka parah, mereka berlari ke arahnya, seolah-olah dalam keadaan marah, memotong-motong tubuh dengan pisau mereka, mencelupkannya ke dalam sepiring garam, air jeruk lemon, dan cabai merah, memanggangnya sebentar di atas api yang disiapkan untuk tujuan itu, dan menelan potongan-potongan itu dengan tingkat antusiasme yang buas. Kadang-kadang (saya kira, menurut tingkat permusuhan dan kebencian mereka) seluruhnya dimakan oleh para pengamat 5 dan contoh-contoh telah diketahui di mana, dengan kebiadaban yang masih diperparah, mereka merobek daging dari bangkai dengan gigi mereka. Ke dalam kebejatan seperti itu manusia dapat terjerumus, ketika baik agama maupun filsafat tidak mencerahkan langkah-langkahnya! Semua yang dapat dikatakan untuk meringankan kengerian upacara jahat ini adalah, bahwa tidak ada pandangan yang tampaknya dianut untuk menyiksa para penderita, untuk meningkatkan atau memperpanjang rasa sakit kematian; seluruh kemarahan diarahkan terhadap mayat, memang hangat, dengan sisa-sisa kehidupan, tetapi melewati sensasi rasa sakit. Perbedaan pendapat telah ada sehubungan dengan praktik memakan tubuh musuh mereka yang benar-benar terbunuh dalam perang; tetapi penyelidikan selanjutnya telah meyakinkan saya tentang hal itu dilakukan, terutama dalam kasus orang-orang terkemuka, atau mereka yang telah menjadi kaki tangan pertengkaran. Perlu diperhatikan, bahwa operasi mereka (yang dapat dibandingkan dengan ekspedisi predatoris Borderers kita) sering berakhir dengan hilangnya tidak lebih dari setengah lusin orang di kedua belah pihak. Tengkorak para korban digantung sebagai piala di bangunan terbuka di depan rumah mereka, dan kadang-kadang ditebus oleh kerabat mereka yang masih hidup dengan sejumlah uang.

Keraguan terhapus: 

    Saya telah menemukan bahwa beberapa orang (dan di antaranya adalah teman saya, mendiang Tn. Alexander Dalrymple) telah meragukan kenyataan fakta bahwa daging manusia dimakan oleh umat manusia di mana pun, sebagai praktik nasional, dan menganggap bukti-bukti yang diajukan sejauh ini tidak cukup untuk menetapkan suatu hal yang sangat penting dalam sejarah spesies. Saya keberatan karena saya tidak pernah menjadi saksi mata pesta Batta semacam ini, dan bahwa otoritas saya untuk hal itu sangat melemah karena datang dari pihak kedua, atau mungkin pihak ketiga. Saya menyadari bobot penalaran ini, dan tidak ingin memaksakan keyakinan seseorang, apalagi menipunya dengan kepura-puraan yang sangat meyakinkan, ketika saudara saya hanya dapat mengklaim tingkat kepastian yang lebih tinggi. Namun, pada saat yang sama saya harus mengamati bahwa, menurut pemahaman saya, penolakan persetujuan terhadap bukti tidak langsung yang adil, karena bertentangan dengan pendapat sistematis, sama-sama merugikan tujuan kebenaran, dengan menegaskan hal itu sebagai hal yang positif, yang hanya diragukan. Keyakinan saya akan kebenaran dari apa yang belum saya lihat secara pribadi (dan kita semua harus yakin akan fakta-fakta yang tidak pernah dapat kita saksikan sendiri maupun mereka yang berhubungan langsung dengan kita) muncul dari keadaan-keadaan berikut, beberapa di antaranya kurang meyakinkan dan beberapa di antaranya lebih meyakinkan. Pertama-tama, ini adalah masalah yang sudah diketahui secara umum dan tidak terbantahkan di seluruh pulau, dan saya telah berbicara dengan banyak penduduk asli negeri Batta (beberapa di antaranya bekerja untuk saya), yang mengakui praktik tersebut, dan menjadi malu setelah tinggal di antara orang-orang yang lebih manusiawi. Saya pernah memiliki tidak kurang dari tiga saudara laki-laki dan saudara ipar, di samping beberapa teman dekat (beberapa di antaranya sekarang berada di Inggris), kepala permukiman kami di Natal dan Tappanuli, yang informasinya saya peroleh sendiri, dan semua kisah mereka saya temukan saling setuju dalam setiap hal penting. Kesaksian Tn. Charles Miller, yang namanya, serta nama ayahnya, dikenal baik oleh dunia sastra, seharusnya cukup untuk tujuan saya. Selain apa yang telah ia ceritakan dalam jurnalnya, ia telah memberi tahu saya, bahwa di satu desa tempat ia singgah, kepala seorang pria yang digantung, yang tubuhnya telah dimakan beberapa hari sebelumnya, sangat menyinggung; dan bahwa dalam percakapan dengan beberapa orang di distrik Ankola, berbicara tentang tetangga mereka dan musuh sesekali di distrik Padambola, mereka menggambarkan mereka sebagai ras yang tidak berprinsip, dengan mengatakan, “Kami memang memakan manusia sebagai hukuman atas kejahatan dan cedera yang mereka alami kepada kami; tetapi mereka menyergap dan menangkap para pelancong, untuk dibantai atau dipotong-potong seperti ternak.” Di sinilah, jelas, pengakuan dan bukan skandal yang seharusnya berbobot. Ketika Tn. Giles Holloway meninggalkan Tappanuli dan menyelesaikan rekeningnya dengan penduduk asli, ia berdebat dengan seorang pria Batta yang telah menunda pembayarannya. “Saya ingin,” kata pria itu, “datang lebih awal, tetapi pangulu (perwira atasan) saya diketahui dekat dengan istri saya. Ia dihukum, dan saya tinggal untuk memakan bagiannya; upacara itu memakan waktu tiga hari, dan baru tadi malam kami menghabisinya.” Tn. Miller hadir dalam percakapan ini, dan pria itu berbicara dengan sangat serius. Seorang penduduk asli Pulau Nias yang telah menikam seorang Batta, dalam keadaan marah, di sungai Batang-tara, dekat teluk Tapanuli, dan berusaha melarikan diri, ditangkap pada pukul enam pagi setelah diberi tahu, dan sebelum pukul sebelas, tanpa proses pengadilan apapun, diikat ke tiang pancang, dipotong-potong dengan sangat bersemangat, saat masih hidup, dan dimakan di tempat, sebagian dipanggang, tetapi sebagian besar mentah. Kepalanya dikubur di bawah kepala orang yang telah dibunuhnya. Ini terjadi pada bulan Desember 1780, ketika Tuan William Smith bertanggung jawab atas pemukiman tersebut. Seorang raja didenda oleh Tuan Bradley karena telah menyebabkan seorang tahanan dimakan di tempat yang terlalu dekat dengan pemukiman Perusahaan, dan perlu dicatat, bahwa pesta-pesta ini tidak pernah diizinkan terjadi di dalam kampung mereka sendiri. Tuan Alexander Hall dalam laporan keuangan publiknya menuliskan suatu tuduhan mengenai sejumlah uang yang dibayarkan kepada seorang raja sebagai bujukan agar dia mengampuni seorang laki-laki yang dia lihat sedang mempersiapkan korban. Dan sebenarnya, tindakan terpuji untuk mencegah praktik tersebut oleh pemerintah kita inilah yang menyebabkan praktik tersebut jarang terlihat oleh orang Eropa, di negara yang tidak ada pelancong karena rasa ingin tahu, dan di mana para pegawai Perusahaan yang harus menjaga penampilan, tidak dapat dengan kehadiran mereka, sebagai penonton yang tidak melakukan apa-apa, menyetujui tindakan yang merupakan tugas mereka untuk mencegahnya, meskipun pengaruh mereka tidak cukup untuk mencegahnya.

Kutipan dari Halaman 463 terkait Kanbalisme.

"Sejak hal tersebut dicetak, informasi berikut mengenai tata krama orang Batta, yang diperoleh oleh Tn. Charles Holloway dari Tn. W. H. Hayes, telah sampai ke tangan saya. “Pada bulan Juli 1805, sebuah ekspedisi yang terdiri dari Sepoy, Melayu, dan Batta, dikirim dari Tapanuli untuk menyerang seorang kepala suku bernama Punei Manungum, yang tinggal di Negatimbul, sekitar tiga puluh mil ke pedalaman dari Tapanuli Lama, sebagai akibat dari penyerangannya terhadap sebuah kampong yang berada di bawah perlindungan perusahaan, membunuh beberapa penduduk, dan membawa yang lainnya sebagai tawanan. Setelah pengepungan selama tiga hari, dengan syarat-syarat akomodasi yang diusulkan, permusuhan pun berakhir, ketika orang-orang dari masing-masing pihak meletakkan senjata mereka, berbaur dengan penuh kepercayaan, dan berbincang bersama seolah-olah dalam keadaan persahabatan yang sempurna. Akan tetapi, syarat-syarat tersebut tidak memuaskan, masing-masing kembali mengangkat senjata, dan memulai kembali pertempuran dengan kegigihan mereka sebelumnya. Pada hari kedua tempat itu dievakuasi, dan saat orang-orang kami memasukinya, Tn. Hayes menemukan mayat seorang pria dan dua wanita, yang telah dibunuh musuh sebelum mereka berangkat, (mereka adalah yang terakhir dari enam belas tahanan yang awalnya mereka bawa pergi) dan dari kaki mereka telah dipotong-potong potongan besar, tampaknya untuk dimakan. Selama berlangsungnya ekspedisi ini, sebuah kelompok kecil telah dikirim untuk menahan para kepala suku Labusukum dan Singapollum, (di pedalaman Sibogah) yang merupakan sekutu Punei Manungum. Namun, mereka ternyata lebih kuat dari yang diperkirakan, dan melakukan serangan mendadak dari kampong mereka, menyerang kelompok Sersan, dan membunuh seorang sepoy, yang terpaksa ia tinggalkan. Tn. Hayes, dalam perjalanannya dari Negatimbul, diperintahkan untuk berbaris untuk mendukung kelompok yang mundur tetapi mereka mengambil rute yang berbeda, ia tetap tidak mengetahui rincian tentang kerugian mereka. Desa Singapollam segera diterjang badai, dan musuh mundur melalui satu gerbang, saat orang-orang kami masuk dari gerbang yang berlawanan, perlengkapan sepoy, yang telah terbunuh sehari sebelumnya, terlihat tergantung sebagai piala di depan rumah-rumah, dan di balai kota, Tn. Hayes melihat kepala sepoy itu dikuliti seluruhnya, dan salah satu jarinya tertancap pada garpu atau tusuk daging, yang masih hangat karena api. Saat melanjutkan perjalanan ke desa Labusucom, yang terletak hanya sekitar dua ratus meter dari desa sebelumnya, ia menemukan sehelai daun pisang besar berisi daging manusia, dicampur dengan air jeruk nipis dan cabai, yang darinya dapat disimpulkan bahwa mereka terkejut saat menyantap sepoy, yang jasadnya telah dibagi antara dua kampung. Setelah perbedaan pendapat diselesaikan dengan para kepala suku, mereka mengakui dengan tenang bahwa memang demikian halnya, sambil berkata pada saat yang sama, "Anda tahu itu kebiasaan kami, mengapa kami harus menyembunyikannya?"

Kematian Tn. Nairne: 

    Seorang kepala suku Batta, bernama Raja Niabin, pada tahun 1775, mengejutkan sebuah kampong tetangga yang menjadi musuhnya, membunuh raja itu secara diam-diam, membawa pergi jasadnya, dan memakannya. Keluarga yang terluka itu mengadu kepada Tuan Nairne, kepala suku Inggris di Natal, dan memohon ganti rugi. Ia mengirim pesan tentang masalah itu kepada Niabin, yang membalasnya dengan jawaban yang kurang ajar dan mengancam. Tuan Nairne, yang lebih dipengaruhi oleh perasaannya daripada penilaiannya (karena orang-orang ini sama sekali tidak berada di bawah kendali Kompeni, dan campur tangan kita dalam pertengkaran mereka tidak diperlukan) berbaris dengan rombongan yang terdiri dari lima puluh atau enam puluh orang, dua belas di antaranya adalah orang Eropa, untuk menghukumnya; tetapi ketika mendekati desa itu, mereka mendapati desa itu tertutup rapat dengan bambu yang tumbuh lebat, di dalamnya terdapat pagar kayu yang kuat, sehingga mereka bahkan tidak dapat melihat tempat itu atau musuhnya. Akan tetapi, ketika mereka maju untuk memeriksa pertahanan, sebuah tembakan dari orang yang tidak terlihat mengenai dada Tuan Nairne, dan ia langsung tewas. Dalam dirinya telah tewas seorang pria terhormat, yang memiliki banyak pengetahuan ilmiah, dan seorang pegawai berharga dari Perusahaan. Dengan susah payah, rombongan itu berhasil menyelamatkan jasadnya. Seorang penikmat kopi dan seorang Melayu yang tewas dalam pertempuran itu kemudian dimakan. Jadi, pengalaman di kemudian hari terbukti sesuai dengan kesaksian seragam dari para penulis lama dan meskipun saya sadar bahwa setiap bukti ini, jika diambil sendiri-sendiri, mungkin mengandung beberapa keraguan, namun secara keseluruhan bukti-bukti itu akan dianggap sebagai bukti yang memuaskan, bahwa daging manusia biasanya dimakan oleh sekelompok penduduk Sumatera.

Bahwa bangsa yang luar biasa ini telah memelihara keaslian karakter dan tata krama yang kasar, dapat dikaitkan dengan berbagai sebab, seperti kekurangan logam mulia di negaranya, untuk membangkitkan kerakusan penjajah atau ketamakan penjajah, kekayaan nabati tanahnya lebih menguntungkan diperoleh dari perdagangan, dari kerja keras penduduk asli yang tidak diganggu; ketidaktahuan mereka sama sekali tentang pelayaran; sifat pemerintahan mereka yang terpecah-pecah, dan independensi para kepala suku kecil, yang merupakan keadaan yang tidak menguntungkan bagi penyebaran pendapat dan adat istiadat baru, seperti keadaan masyarakat yang bertentangan dapat menjelaskan perubahan total rakyat Menangkabau ke agama Muhammad; dan terakhir, gagasan yang dianut tentang keganasan rakyat, dari praktik-praktik yang dijelaskan di atas, yang dapat dianggap telah meredam semangat dan menahan upaya-upaya yang bersemangat dari para inovator agama.


Info:

Buku Marsden versi Web dapat diakses di link berikut: https://www.gutenberg.org/cache/epub/16768/pg16768-images.html 

POSTINGAN UNGGULAN

Nasib Pemberantasan KOLUSI dan NEPOTISME.

     Akhir-akhir ini kembali ramai perbincangan di masyarakat seputar tentang Kolusi dan Nepotisme terutama dalam bentuk  Bisnis Keluarga da...