ONTOLOGI BANGSA
Media ini membahas tentang Realitas "sesuatu" didalam Bangsa Indonesia melalui Pandangan Realis Kritis (Critical Realist)
Cari Blog Ini
Doktor Kebijakan Publik, Pejuang Hak Publik di Ruang Publik "Rakyat Bersuara"

Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi
Gubernur DKI di Persimpangan Keberpihakan Informasi
Dalam beberapa waktu terakhir, saya sedang menempuh upaya resmi meminta duplikat ijazah Joko Widodo ke sejumlah Kementerian, Lembaga, dan Perangkat Daerah (K/L/PD), termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Kementerian Sekretariat Negara, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Pemerintah Kota Surakarta, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Langkah ini telah saya uraikan secara lebih luas dalam artikel sebelumnya di blog: Ontologi Bangsa Indonesia.
Tujuannya sederhana: memastikan keterbukaan arsip statis yang seharusnya dikelola oleh badan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Perkembangan di Surakarta
Pada tahap awal, PPID Pemkot Surakarta menolak permohonan informasi publik terkait duplikat ijazah tersebut. Penolakan itu kemudian diperkuat oleh Atasan PPID. Jumat lalu, saya secara resmi menerima jawaban tertulis dari Atasan PPID yang tetap menyatakan penolakan. Dengan demikian, upaya memperoleh arsip melalui jalur keberatan di Surakarta telah tertutup.
Sesuai mekanisme UU KIP, langkah berikutnya adalah membawa perkara ini ke Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Tengah. Sengketa di tingkat KI Jateng inilah yang akan menguji apakah alasan penolakan PPID dapat dipertahankan secara hukum, atau justru dibatalkan karena bertentangan dengan prinsip keterbukaan.
Perkembangan di DKI Jakarta
Situasi serupa juga terjadi di Pemprov DKI Jakarta. Permohonan informasi publik melalui PPID Pemprov DKI ditolak. Menanggapi hal itu, saya sudah mengajukan keberatan kepada Atasan PPID, yaitu Sekretaris Daerah (Sekda), pada 08 Agustus 2025.
Berdasarkan Pasal 36 UU KIP, atasan PPID wajib memberikan jawaban atas keberatan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima. Artinya, batas waktu jawaban seharusnya jatuh pada penghujung bulan September 2025.
Pertanyaan penting kemudian muncul: apakah Sekda telah berkonsultasi dengan Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, sebelum memutuskan? Jika Sekda tetap menolak, maka jalan berikutnya adalah melanjutkan sengketa ini ke Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta.
Konflik Kepentingan Politik
Latar belakang politik Gubernur DKI Jakarta menambah kompleksitas persoalan ini. Pramono Anung adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang juga menaungi Presiden Joko Widodo. Rekam jejaknya panjang: dari anggota DPR RI, pimpinan fraksi, hingga menjabat Sekretaris Kabinet sebelum dipercaya rakyat memimpin DKI Jakarta.
Kedekatan politik tersebut menimbulkan potensi konflik kepentingan. Di satu sisi, sebagai pejabat daerah, Gubernur berkewajiban menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara, beliau adalah kader PDIP yaitu Partai yang belakangan berseberangan dengan Jokowi namun Publik juga tahu bagaimana kedekatannya dengan Jokowi, ia terikat pada kepentingan diantara menjaga citra partai atau relasi politik.
Inilah yang menempatkan Gubernur DKI di persimpangan: apakah ia akan menegakkan hak publik atas informasi, atau justru membiarkan kepentingan politik mendikte arah kebijakan keterbukaan?
Persimpangan Keterbukaan
Kedua kasus di Surakarta dan DKI memperlihatkan pola serupa: badan publik berusaha berlindung di balik alasan “informasi pribadi.” Padahal, Pasal 18 ayat (2) UU KIP secara tegas membuka ruang, bahwa data pribadi dapat dibuka bila “pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik”. Dengan demikian, ijazah yang digunakan untuk mendaftar sebagai Calon Walikota maupun jabatan publik lain tidak bisa dipandang semata sebagai dokumen pribadi.
Namun, publik juga perlu mencermati aspek independensi. Baik KI Jateng maupun KI DKI dibiayai melalui APBD, komisionernya dilantik oleh gubernur, dan pegawai sekretariatnya adalah aparatur pemerintah daerah. Kondisi ini membuat keputusan KI berpotensi rawan intervensi politik.
Padahal, hak atas informasi publik adalah hak asasi warga negara yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945, dan ditegaskan kembali dalam Pasal 2 ayat (1) UU KIP: “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik”.
Kini, publik menanti sikap Pemprov DKI. Apakah Gubernur Pramono Anung—sebagai pejabat daerah sekaligus kader PDIP—akan berpihak pada keterbukaan dan akuntabilitas, atau justru membiarkan hak masyarakat tersandera birokrasi dan kepentingan politik?

Ijazah Publik yang Tertutup: Potret Lemahnya Keterbukaan Informasi di Indonesia
Saya telah mengajukan permohonan informasi publik mengenai duplikat ijazah Presiden Joko Widodo ke delapan Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah (K/L/PD) serta satu badan publik terkait investasi, yang secara normatif memiliki kewenangan atau keterkaitan dengan pengelolaan arsip pencalonan pejabat publik.
Hasilnya
mengecewakan.
“Mayoritas lembaga
justru menutup akses, mengelak, atau bahkan diam seribu bahasa.”
Padahal,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan (UU Kearsipan)
secara tegas menyatakan bahwa informasi publik harus disediakan secara mudah,
cepat, dan semurah-murahnya. Realitas yang saya temukan jauh dari
semangat itu.
1. Alasan Rahasia Pribadi: Penolakan yang
Mengada-ada
Sebagian K/L/PD menolak dengan alasan ijazah termasuk
rahasia pribadi sebagaimana Pasal 17 huruf h angka 5 UU KIP: “catatan yang
menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan
formal dan nonformal.”
Namun, alasan ini problematis. Ijazah berbeda dengan
rapor atau catatan internal pendidikan. Ia adalah dokumen resmi yang bersifat deklaratif
dan memang ditujukan untuk dipakai keluar: melamar pekerjaan, mengajukan
beasiswa, atau menjadi syarat pencalonan pejabat publik.
Bahkan jika pun dianggap dokumen rahasia, tidak semua
informasi di dalam ijazah bersifat rahasia. Tulisan gelar, nama lembaga
pendidikan, nomor seri, logo, tanda pengesahan institusi—semuanya bersifat
administratif, bukan data privat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (PP 61 Tahun 2010) membuka jalan bagi Pejabat
Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) untuk melakukan uji
konsekuensi dan memberikan dokumen dengan redaksi (menghitamkan data pribadi
seperti Nomor Induk Mahasiswa atau tanda tangan). Jadi, menutup akses
sepenuhnya adalah pelanggaran terhadap asas “ketat dan terbatas” yang
ditegaskan UU KIP.
Lebih jauh lagi, dalam kasus permohonan informasi duplikat
ijazah ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya berselang tiga hari
setelah permohonan saya (3 Agustus 2025) langsung mengadakan uji konsekuensi
pada Rabu, 6 Agustus 2025, dan kemudian menetapkan Keputusan KPU Nomor 731
Tahun 2025 pada 21 Agustus 2025. Keputusan ini dipakai sebagai dasar hukum baru
untuk menetapkan duplikat ijazah sebagai informasi yang dikecualikan. Tindakan
tergesa ini memperlihatkan bahwa penolakan KPU bukanlah hasil pengujian
obyektif yang matang, melainkan respons defensif untuk segera menutup akses
atas dokumen yang diminta.
2. Dalih Tidak Menguasai Dokumen: Lemah dan
Bertentangan dengan UU
Tidak sedikit lembaga yang berkilah tidak menguasai
dokumen. Beberapa di antaranya bahkan justru lembaga yang secara hukum mestinya
paling berwenang atau berkewajiban menyimpannya:
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyatakan
tidak menguasai informasi mengenai duplikat ijazah. Padahal, Pasal 46 ayat (1) UU
Kearsipan menegaskan:
“Pencipta
arsip wajib menyerahkan arsip statis kepada lembaga kearsipan.”
Bahkan Pasal 47 ayat (1) memberi
daya paksa:
“ANRI
dan lembaga kearsipan daerah berwenang memaksa pencipta arsip menyerahkan arsip
statis yang seharusnya diserahkan.”
Dengan mandat sekuat ini, alasan
ANRI sungguh tidak dapat diterima.
Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) juga menyatakan
tidak menguasai duplikat ijazah Presiden, meskipun fungsi pokoknya menurut
Perpres adalah membantu Presiden dalam penyelenggaraan administrasi kenegaraan,
termasuk urusan arsip kepresidenan dan dokumen pribadi kedinasan Presiden.
Dalih “tidak menguasai” dari Setneg jelas bertentangan dengan fungsi
kelembagaan yang melekat padanya.
KPU Kota Surakarta berdalih tidak menguasai dokumen
pencalonan Pilkada 2005 dan 2010, padahal sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, KPU Kota adalah
penyelenggara yang menerima langsung dokumen syarat calon (termasuk ijazah)
dari kandidat. Dalih ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola
arsip Pilkada di tingkat daerah.
Pemerintah Kota Surakarta, sebagai Lembaga Kearsipan Daerah (LKD),
juga mengaku tidak menguasai dokumen, padahal mereka memiliki kewajiban menagih
arsip dari KPU atau lembaga pencipta lainnya yang berkaitan dengan pencalonan
pejabat publik asal daerahnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menggunakan alasan serupa,
seolah dokumen pencalonan Gubernur 2012 bukan bagian dari arsip statis
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalih “tidak menguasai” ini tidak hanya menunjukkan
lemahnya komitmen, tetapi juga bertentangan langsung dengan mandat UU Kearsipan
dan peraturan kelembagaan.
3. Diamnya Danantara Indonesia: Badan Publik yang
Melanggar UU KIP
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara
Indonesia) adalah badan publik yang bergerak di bidang pengelolaan
investasi negara. Dengan status tersebut, Danantara jelas terikat pada UU KIP serta
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Kaitannya dengan kasus ijazah, Joko Widodo tercatat terakhir
kali bekerja di Danantara dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Hal ini
membuat Danantara memiliki tanggung jawab administratif dan arsip atas dokumen
yang berkaitan dengan status pejabat publik yang pernah bekerja di dalamnya.
Namun, ketika diminta memberikan informasi terkait dokumen
ijazah, Danantara justru tidak merespons sama sekali. Permohonan saya telah
disampaikan melalui email ke contact@danantaraindonesia.com
pada tanggal 4 Agustus 2025, dengan pertimbangan bahwa Pasal 22 ayat (1) UU KIP
secara tegas menyatakan: “Permintaan Informasi Publik dapat diajukan dengan
cara yang sederhana dan dengan biaya seminimal mungkin.” Artinya, mekanisme
pengajuan lewat email resmi badan publik sah dan sesuai dengan perintah
undang-undang.
Sikap diam Danantara jelas melanggar Pasal 22 ayat (7) UU KIP
yang menyebut: “Badan Publik wajib memberikan jawaban atas permintaan
informasi, baik berupa pemberian informasi maupun penolakan dengan alasan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Sebagai Badan Publik, Danantara tidak bisa berdalih atau
menutup diri. Kewajibannya adalah merespons permintaan informasi secara resmi.
Diam sama sekali justru lebih bermasalah daripada menolak, karena melanggar
kewajiban hukum yang paling mendasar dalam UU KIP.
4. Semangat Keterbukaan dan Ketidaklogisan
Kerahasiaan Ijazah
UU KIP menegaskan:
Pasal 2 ayat (1):
“Setiap
Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna
Informasi Publik.”
Pasal 2 ayat (2):
“Informasi
Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.”
Artinya, prinsip dasarnya adalah keterbukaan. Pengecualian
hanyalah anomali, bukan norma. Namun, praktik lembaga-lembaga ini membalik
logika: informasi justru ditutup rapat, tanpa uji konsekuensi yang
transparan, tanpa jalan tengah berupa redaksi, dan tanpa kesediaan menjalankan
mandat kearsipan.
Pertanyaannya: wajarkah duplikat ijazah, beserta informasi
di dalamnya, dianggap rahasia?
Di dalam sebuah Duplikat ijazah terdapat:
1. Desain
ijazah seperti bentuk, ukuran, motif, jenis huruf, bahkan terdapat jejak
forensik,
2. Nama
universitas/sekolah,
3. Gelar
akademik yang diberikan,
4. Nomor
ijazah,
5. Tanggal
kelulusan,
6. Nama
pejabat penandatangan,
7.
Logo dan stempel lembaga pendidikan.
Informasi ini bersifat deklaratif dan administratif, bukan rahasia pribadi dengan begitu untuk informasi dikecualikan (rahasia) pada Dokumen Publik Terbuka dapat dilakukan penghitaman Informasi yang tertutup sebagaimana ilustrasinya ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Bandingkan dengan informasi lain yang jauh lebih sensitif
namun justru terbuka lebar, seperti:
1. Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan Komisi Pemberantas
Korupsi.
2. Data
rekening dan transaksi keuangan yang dapat diakses oleh Kementerian Keuangan
dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
3. Plat
nomor kendaraan bermotor yang bisa dilacak untuk mengetahui identitas pemilik
dan status pembayaran pajaknya.
4. Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diumumkan
KPU lengkap dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan alamat.
Jika informasi setingkat kekayaan pribadi, rekening, atau
kepemilikan kendaraan dapat diakses, tidak masuk akal bila duplikat ijazah
pejabat publik justru ditutup rapat.
Kesimpulan:
Transparansi Masih Jauh Panggang dari Api
Dari sembilan K/L/PD dan badan publik yang saya ajukan permohonan informasi:
- Mayoritas menolak dengan alasan rahasia pribadi, padahal uji konsekuensi memungkinkan akses dengan redaksi. Bahkan KPU memperkuat penolakannya dengan menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 hanya 18 hari setelah permohonan masuk.
- ANRI, Setneg, KPU Kota Surakarta, Pemkot Surakarta, dan Pemprov DKI Jakarta mengaku tidak menguasai, meskipun UU Kearsipan memberi mereka kewenangan daya paksa untuk menguasai arsip statis.
- Danantara Indonesia sebagai badan publik tidak merespons sama sekali, meskipun permohonan sudah diajukan melalui email resmi contact@danantaraindonesia.com pada 4 Agustus 2025, sesuai Pasal 22 ayat (1) UU KIP yang memerintahkan permohonan informasi diajukan dengan cara sederhana dan semurah-murahnya.
š
Perlu digarisbawahi, data ini diperoleh sebatas tahap awal permohonan informasi
publik.
- Danantara: hingga kini belum memberikan jawaban, padahal sudah melebihi batas 10 hari kerja.
- KPU Pusat, KPU DKI Jakarta, KPU Kota Surakarta, ANRI, LKD Surakarta, dan LKD DKI Jakarta: baru memberikan jawaban PPID tingkat pertama, dan saya sedang menunggu jawaban keberatan dari Atasan PPID masing-masing lembaga.
- Setneg dan UGM: sudah sampai pada tahap jawaban keberatan oleh Atasan PPID.
Fakta
ini memperlihatkan bahwa prinsip keterbukaan informasi publik masih jauh dari
kenyataan. Jika dokumen selevel ijazah pejabat publik saja ditutup rapat, wajar
bila publik meragukan komitmen negara terhadap transparansi.
Keterbukaan
bukanlah pilihan, tetapi amanat undang-undang dan esensi demokrasi. Menutup
ijazah pejabat publik bukan hanya melawan akal sehat, tetapi juga pengingkaran
terhadap hukum yang dibuat negara itu sendiri.
Tabel
Status Jawaban 8 K/L/PD
No. |
Lembaga/Daerah |
Periode |
Status Jawaban |
1 |
KPU
Kota Surakarta |
2005
& 2010 |
Mengaku
tidak menguasai |
2 |
LKD
Kota Surakarta |
2005
& 2010 |
Mengaku
tidak menguasai |
3 |
KPU
Provinsi DKI Jakarta |
2012 |
Menolak
(rahasia pribadi) |
4 |
LKD
Provinsi DKI Jakarta |
2012 |
Mengaku
tidak menguasai |
5 |
KPU
Pusat |
2014
& 2019 |
Menolak
(rahasia pribadi) |
6 |
Setneg |
2014
& 2019 |
Mengaku
tidak menguasai |
7 |
ANRI |
2014
& 2019 |
Mengaku
tidak menguasai |
8 |
Danantara
Indonesia |
2008–2019 |
Tidak
merespons |

Kebijakan Publik: Penyerahan Arsip (Ijazah) Pencalonan Presiden/Wakil Presiden dari KPU ke ANRI
Kebijakan Publik: Penyerahan Arsip (Ijazah) Pencalonan Presiden/Wakil Presiden dari KPU ke ANRI
1. Latar Belakang
Arsip pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, baik yang terpilih maupun tidak, merupakan dokumen penting yang mencerminkan perjalanan demokrasi Indonesia. Arsip ini mencakup salinan ijazah, identitas diri, daftar riwayat hidup, dokumen dukungan partai politik, berita acara verifikasi, serta keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Keberadaan arsip tersebut tidak hanya bernilai administratif, tetapi juga historis, karena menjadi memori kolektif bangsa. Oleh karena itu, penyerahan arsip dari KPU kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) merupakan kewajiban hukum sekaligus kebutuhan kebijakan publik.
2. Masalah Utama
-
Belum ada kepastian mengenai kapan KPU menyerahkan arsip pencalonan Presiden/Wapres kepada ANRI.
-
Arsip penting dari Pemilu 2014 (Jokowi–JK vs Prabowo–Hatta) dan Pemilu 2019 (Jokowi–Ma’ruf vs Prabowo–Sandi) berpotensi hanya tersimpan di KPU tanpa kepastian pengelolaan jangka panjang.
-
Risiko kehilangan, kerusakan, atau penolakan akses publik terhadap arsip tersebut berimplikasi pada lemahnya akuntabilitas demokrasi.
3. Dasar Hukum
-
UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
-
Pasal 49 ayat (1): “Arsip statis diserahkan oleh pencipta arsip kepada lembaga kearsipan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
-
Pasal 51 ayat (1): “Penyerahan arsip statis dilakukan setelah masa retensi berakhir.”
-
Pasal 47 ayat (2): “Lembaga kearsipan berkewajiban menyelamatkan arsip statis sebagai memori kolektif bangsa.”
-
Pasal 48 ayat (2): ANRI berwenang mengambil alih arsip statis bila tidak diserahkan.
-
Pasal 87–88: KPU yang tidak menyerahkan arsip dapat dikenai sanksi administratif dan pidana (penjara 10 tahun/denda Rp500 juta).
-
-
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
-
Pasal 7 ayat (1): Badan publik wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya.
-
-
UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
-
Pasal 1 angka 3: Maladministrasi termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam pelayanan publik.
-
4. Analisis Kebijakan
-
KPU sebagai pencipta arsip: Arsip pencalonan merupakan arsip dinamis aktif selama tahapan pemilu. Setelah sengketa hasil di MK selesai, arsip tersebut masuk kategori arsip inaktif, dan setelah masa retensi berakhir, wajib diserahkan ke ANRI.
-
ANRI sebagai lembaga kearsipan negara: Wajib menerima, menyelamatkan, dan menyediakan arsip pencalonan untuk kepentingan publik serta penelitian sejarah politik Indonesia.
-
Potensi masalah: Jika arsip tidak diserahkan, maka ada risiko maladministrasi dan hilangnya jejak demokrasi, termasuk keraguan publik terhadap keaslian dokumen pencalonan Presiden/Wapres.
5. Rekomendasi Kebijakan
-
KPU
-
Menetapkan Jadwal Retensi Arsip (JRA) khusus untuk dokumen pencalonan Presiden/Wapres dengan masa simpan maksimal satu siklus pemilu (5 tahun).
-
Melaksanakan penyerahan arsip pencalonan 2014 dan 2019 ke ANRI pada akhir periode retensi (2019 dan 2024).
-
-
ANRI
-
Menerbitkan pedoman teknis penerimaan arsip pencalonan Presiden/Wapres dari KPU.
-
Melakukan akuisisi arsip secara aktif jika KPU lalai menyerahkan.
-
-
Ombudsman RI
-
Mengawasi kepatuhan KPU dalam melaksanakan kewajiban kearsipan.
-
Menjatuhkan rekomendasi bila terjadi maladministrasi.
-
-
DPR dan Pemerintah
-
Memperkuat regulasi kearsipan pemilu agar arsip pencalonan Presiden/Wapres secara otomatis diperlakukan sebagai arsip statis bernilai nasional.
-
6. Implikasi Kebijakan
-
Keterjaminan akuntabilitas demokrasi → publik dapat mengakses dokumen pencalonan Presiden/Wapres melalui ANRI.
-
Penyelamatan memori kolektif bangsa → arsip pemilu menjadi bagian sejarah resmi Indonesia.
-
Pencegahan maladministrasi → mencegah KPU lalai atau mengabaikan kewajiban hukum.
-
Penguatan legitimasi pemilu → memastikan proses demokrasi terdokumentasi secara utuh, transparan, dan dapat diverifikasi publik.
Kesimpulan
Penyerahan arsip pencalonan Presiden/Wakil Presiden oleh KPU kepada ANRI bukan hanya kewajiban administratif, tetapi juga kebijakan publik strategis yang menjamin akuntabilitas, keterbukaan, dan keberlanjutan demokrasi Indonesia. Dengan pelaksanaan yang konsisten, arsip pencalonan 2014 dan 2019 dapat menjadi warisan dokumenter yang utuh untuk generasi mendatang.

Peluncuran Buku John Anderson 1823: Misi ke Pantai Timur Sumatera
"Pemikiran Pendiri Bangsa tak terbatas era Kolonialisme saja, tapi dalam! sampai ditemukannya peradaban awal Bangsa" (Dr. Bonatua Silalahi)

ASIMETRI INFORMASI dan VARIASI TAROMBO pada SUKU BATAK
Marga dan Tarombo pada Suku Batak
Apa itu Marga dan Tarombo?
Marga adalah nama keluarga yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Batak, berfungsi sebagai identitas sosial dan simbol hubungan genealogis. Tarombo, di sisi lain, adalah silsilah keluarga yang mencatat garis keturunan dari generasi ke generasi, merefleksikan hubungan darah dan sejarah keluarga.
Cara Perolehan Marga yang Beragam
Keturunan ayah biologis—marga diwarisi dari garis ayah kandung.
Ayah pengganti—anak tiri mengikuti marga ayah tiri setelah ibu menikah ulang.
Diangkat marga—kerabat dekat atau mantan pegawai diintegrasikan demi ikatan sosial.
Penciptaan/penggantian marga—individu mengganti atau mencipta marganya guna tujuan politik, bisnis, atau status sosial.
Keberagaman cara perolehan marga ini mencerminkan fleksibilitas sosial dalam masyarakat Batak, namun juga menjadi sumber variasi dalam tarombo. Proses pemberian marga yang beragam ini sering kali menyumbang pada asimetri informasi, terutama ketika pencatatan silsilah tidak dilakukan secara konsisten atau transparan. Misalnya, pengangkatan marga tanpa dokumentasi formal dapat menyebabkan ketidakjelasan hubungan genealogis, sementara penciptaan marga baru untuk tujuan tertentu sering kali mengaburkan asal-usul yang sebenarnya.
Tarombo dan Fakta di Lapangan
Tarombo, silsilah keluarga Batak, seharusnya merefleksikan garis keturunan yang konsisten. Dalam praktiknya, distribusi pengetahuan yang tak merata antar-generasi dan cabang marga menimbulkan sejumlah variasi—mulai dari perbedaan penulisan hingga konflik sosial.
Penelitian lapangan di Tanah Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pakpak) mengungkap:
Semua tarombo mengalami asimetri informasi.
Versi silsilah berbeda antar-kelompok atau cabang marga, terutama pada generasi ketiga dan keempat.
Narator kunci hanya menguasai fragmen, membuat fragmen lain bergantung pada ingatan lisan semata.
Temuan ini menunjukkan bahwa asimetri informasi menjadi akar dari variasi tarombo yang ada.
Jenis-Jenis Asimetri Informasi
Perbedaan versi tarombo muncul dalam beberapa pola:
Jenis Asimetri | Deskripsi | Contoh |
---|---|---|
Penulisan Nama | Ejaan/dialek berbeda | “Silalhi” vs “Silalahi” |
Jumlah Keturunan | Ketidaksesuaian jumlah anak/istri | 3 vs 4 anak |
Urutan Horizontal | Saudara kandung tertukar urutan | Kakak/adik tertukar |
Urutan Vertikal | Relasi bapak–anak terbalik atau terlewat | Ayah tercatat sebagai kakek |
Variasi Gelar/Julukan | Gelar dianggap marga | “Si Raja” jadi marga baru |
Gap Generasi | Satu atau lebih generasi hilang | Hilangnya gen ke-8 ke atas |
Inklusi/Eksklusi Anggota | Anak tiri/kerabat dekat masuk/diabaikan | Anak tiri diangkat marga |
Penciptaan/Penggantian Marga | Marga dicipta/diubah demi tujuan tertentu | Marga baru untuk branding politik |
Jenis-jenis asimetri ini memperlihatkan kompleksitas dalam menjaga konsistensi tarombo di tengah dinamika sosial.
Teknik Validasi Tarombo yang Ilmiah
Untuk memvalidasi tarombo secara ilmiah, pendekatannya harus sistematis, berbasis bukti, dan mempertimbangkan konteks budaya. Berikut adalah teknik validasi yang paling diakui dalam kajian antropologi dan studi kualitatif:
š 1. Triangulasi Sumber
Bandingkan narasi tarombo dari berbagai narasumber yang masih satu garis keturunan.
Cocokkan versi dari cabang marga yang berbeda untuk mendeteksi konsistensi nama, urutan, dan generasi.
Ini meningkatkan credibility dan confirmability data.
Bandingkan narasi tarombo dari berbagai narasumber yang masih satu garis keturunan.
Cocokkan versi dari cabang marga yang berbeda untuk mendeteksi konsistensi nama, urutan, dan generasi.
Ini meningkatkan credibility dan confirmability data.
š£️ 2. Wawancara Mendalam (Depth Interview)
Gunakan pendekatan kualitatif untuk menggali narasi dari narasumber kunci (biasanya generasi tua).
Fokus pada pengalaman langsung, ingatan visual, dan cerita turun-temurun.
Dokumentasikan secara audio/tertulis untuk analisis tematik.
Gunakan pendekatan kualitatif untuk menggali narasi dari narasumber kunci (biasanya generasi tua).
Fokus pada pengalaman langsung, ingatan visual, dan cerita turun-temurun.
Dokumentasikan secara audio/tertulis untuk analisis tematik.
š 3. Validasi Dokumen Historis
Telusuri arsip gereja, surat baptis, catatan tanah, atau dokumen kolonial yang mencantumkan nama dan hubungan keluarga.
Dokumen ini menjadi bukti pendukung terhadap narasi lisan.
Telusuri arsip gereja, surat baptis, catatan tanah, atau dokumen kolonial yang mencantumkan nama dan hubungan keluarga.
Dokumen ini menjadi bukti pendukung terhadap narasi lisan.
𧬠4. Tes Genetik (Opsional dan Sensitif)
Tes DNA (Y-DNA atau autosomal) dapat digunakan untuk mengonfirmasi hubungan biologis, terutama jika ada sengketa garis keturunan.
Harus dilakukan dengan persetujuan etis dan pemahaman budaya.
Tes DNA (Y-DNA atau autosomal) dapat digunakan untuk mengonfirmasi hubungan biologis, terutama jika ada sengketa garis keturunan.
Harus dilakukan dengan persetujuan etis dan pemahaman budaya.
š§š« 5. Konsultasi Ahli Genealogi dan Antropologi
Libatkan akademisi atau peneliti budaya Batak untuk menafsirkan data dalam konteks sosial dan historis.
Mereka dapat membantu mengidentifikasi pola pewarisan marga dan anomali struktural.
Libatkan akademisi atau peneliti budaya Batak untuk menafsirkan data dalam konteks sosial dan historis.
Mereka dapat membantu mengidentifikasi pola pewarisan marga dan anomali struktural.
š§© 6. Visualisasi Digital dan Pemodelan Silsilah
Gunakan perangkat lunak silsilah untuk memetakan hubungan antar-individu.
Deteksi gap generasi, inklusi/eksklusi anggota, atau urutan yang tidak konsisten.
Gunakan perangkat lunak silsilah untuk memetakan hubungan antar-individu.
Deteksi gap generasi, inklusi/eksklusi anggota, atau urutan yang tidak konsisten.
Batas Verifikasi Ilmiah
Pada umumnya teknik validasi tarombo baru dilakukan melalui Triangualsi, Depth Interview dan Validasi sebagaimana yang dimaksud pada poin 1 sampai 3 diatas. Berdasarkan riset saya (Dr. Bonatua Silalahi) yang meyakini merupakan generasi ke-15 dari Raja silahi Sabungan yang dapat terlihat pada gambar dibawah ini, maka tingkatan tarombo yang secara ilmiah dapat dibuktikan hanyalah dari generasi ke 11 s/d 15 yang hasilnya dirinci pada gambar berikut:
Keterbatasan ini menegaskan pentingnya dokumentasi tertulis dan upaya kolaboratif untuk menjaga keakuratan tarombo.
Perpecahan Sosial Akibat Tarombo
Variasi silsilah sering memicu konflik:
Penundaan acara adat bersama ketika urutan leluhur versi cabang A dan B bertentangan.
Sengketa lahan warisan akibat klaim garis keturunan yang berbeda.
Putus silaturahmi antar-keluarga usai perdebatan versi tarombo.
Konflik-konflik ini menunjukkan bahwa variasi tarombo tidak hanya berdampak pada identitas individu, tetapi juga pada harmoni sosial dalam komunitas Batak.
Upaya Mitigasi dan Harmonisasi
Untuk menjaga keselarasan tarombo:
Bentuk tim adat di tingkat cabang marga untuk menghimpun dan membandingkan versi silsilah.
Adakan lokakarya generasi muda, dokumentasikan cerita lisan secara tertulis dan audio.
Kembangkan portal digital komunitas Batak dengan fitur kolaborasi dan revisi terbuka.
Fasilitasi dialog antar penetua adat guna mencapai konsensus versi tarombo yang paling sahih.
Langkah-langkah ini bertujuan untuk mengurangi konflik dan memperkuat solidaritas antar-generasi dalam masyarakat Batak.
Strategi Jika Tarombo Tidak Dapat Diverifikasi
Ketika tarombo tidak dapat diverifikasi maupun divalidasi, langkah-langkah berikut dapat diambil untuk tetap menjaga nilai budaya dan harmoni sosial:
Pendekatan Narasi Kolektif
Fokus pada cerita kolektif yang disepakati oleh komunitas, meskipun tidak sepenuhnya akurat secara historis.
Narasi ini dapat menjadi simbol identitas bersama yang tetap relevan secara budaya.
Dokumentasi Alternatif
Kumpulkan cerita lisan, tradisi, dan nilai-nilai yang diwariskan, meskipun tidak dalam bentuk silsilah formal.
Dokumentasi ini dapat berupa buku, video, atau arsip digital yang mencerminkan warisan budaya.
Penerimaan Keberagaman
Akui bahwa variasi dan ketidaksempurnaan adalah bagian dari dinamika sosial dan sejarah.
Jadikan keberagaman ini sebagai kekuatan untuk memperkaya identitas budaya.
Fokus pada Nilai Inti
Alihkan perhatian dari detail genealogis ke nilai-nilai inti seperti gotong royong, hormat kepada leluhur, dan solidaritas komunitas.
Nilai-nilai ini dapat menjadi landasan untuk memperkuat ikatan sosial tanpa bergantung pada keakuratan tarombo.
Pengembangan Simbol Baru
Ciptakan simbol atau tradisi baru yang dapat menggantikan peran tarombo sebagai pengikat komunitas.
Simbol ini dapat berupa ritual, festival, atau lambang yang mencerminkan identitas bersama.
Langkah-langkah ini bertujuan untuk menjaga relevansi dan keberlanjutan budaya Batak, meskipun tarombo tidak dapat diverifikasi secara ilmiah atau historis.
Kesimpulan
Asimetri informasi dan variasi cara perolehan marga menimbulkan tantangan dalam pewarisan tarombo suku Batak. Fakta lapangan dan batas verifikasi ilmiah hingga tujuh generasi menegaskan pentingnya dokumentasi tertulis, digitalisasi, dan dialog adat. Melalui langkah-langkah mitigasi, keragaman tarombo dapat dipertahankan sekaligus memperkuat ikatan budaya dan solidaritas Batak.
Daftar Pustaka
Hutabarat, Togar. "Asimetri Informasi dalam Tradisi Lisan Batak." Prosiding Konferensi Budaya Batak, 2022.
Simanjuntak, Maria. "Digitalisasi Tarombo: Peluang dan Tantangan." Penerbit Universitas Sumatera Utara, 2021.
Siahaan, Rinto. "Konflik Sosial Akibat Variasi Tarombo." Jurnal Sosiologi Indonesia, 2020.
Pardede, Lestari. "Pemberian Marga dan Implikasinya terhadap Identitas." Jurnal Antropologi, 2019.

Mitos Si Raja Batak: Pengkerdilan Sejarah
Si Raja Batak: Pengkerdilan Sejarah
By. Dr. Bonatua Silalahi
1.
Pendahuluan.
Si Raja Batak adalah sosok mitologis
yang diyakini sebagai leluhur pertama masyarakat Batak Toba. Namun, ada
pandangan bahwa mitologi ini justru merendahkan keaslian asal usul Suku
tersebut, karena dengan menerima kisaran hidup Si Raja Batak di antara 960–1150
M, maka Batak dianggap sebagai pendatang sebelum kedatangan suku Melayu.
Menurut William Marsden, suku Melayu berasal dari pasukan Aleksander Agung yang
tersasar ke Singapura sekitar abad ke-2 SM. Jika Si Raja Batak memang berasal
dari kerajaan lain yang sudah mengenal peradaban modern seperti mengenal mata
uang dan peleburan logam, maka seharusnya Raja Batak Angesirry Timorraja tidak
akan melakukan sistem barter dengan Portugis pada Perang Batak-Aceh tahun 1539
demi mendapatkan senjata berbahan logam, sebagaimana dicatat oleh Fernao
Mendes Pinto.
2.
Mitologi
dan Kosmologi Si Raja Batak.
Menurut kepercayaan Batak, manusia pertama berasal dari Banua
Ginjang (dunia atas), tempat bersemayamnya Mulajadi Na Bolon, dewa pencipta
dalam sistem kepercayaan Batak. Si Raja Batak kemudian turun ke bumi dan
menetap di Gunung Pusuk Buhit, yang dianggap sebagai titik awal peradaban
Batak.
Konsep kosmologi Batak mengenal tiga dunia:
- Banua
Ginjang – Dunia atas tempat para dewa.
- Banua
Tonga – Dunia tengah tempat manusia hidup.
- Banua
Toru – Dunia bawah tempat roh dan arwah leluhur.
Dalam buku Pustaha dohot Tarombo Batak karya W.M. Hutagalung,
disebutkan: "Si Raja Batak adalah leluhur pertama yang turun dari Banua
Ginjang dan menetap di Pusuk Buhit, tempat awal mula peradaban Batak."
Sementara dalam penelitian Ypes dan Vergouween, terdapat
kutipan tentang mitologi penciptaan: "Orang Batak memiliki kosmologi
sendiri tentang penciptaan bumi dan manusia. Mitologi Batak mengenal alam
terbagi atas tiga banua, yakni Banua Ginjang atau dunia atas, Banua Tonga atau
dunia tengah dan Banua Toru atau dunia bawah."
3.
Silsilah
Si Raja Batak hingga Silahi Sabungan.
Sistem Tarombo menunjukkan garis keturunan Si Raja Batak yang
berkembang menjadi berbagai marga Batak. Si Raja Batak memiliki dua putra
utama:
- Guru
Tatea Bulan, yang menurunkan marga Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan,
Simatupang, Aritonang, dan Siregar.
- Raja
Isumbaon, yang menurunkan keturunan Tuan Sorimangaraja, Raja Asiasi, dan
Sangkar Somalidang.
Dari keturunan Tuan Sorimangaraja, lahir Nai Suanon, yang kemudian menurunkan empat anak dari isteri pertama, dari merekalah beberapa marga besar seperti Sibagot ni Pohan, Sipaettua, Silahi Sabungan dan Raja Oloan.
Mengambil contoh salah satu keturunan diatas yaitu dari garis Raja
Silahi Sabungan, yang menjadi leluhur dari marga Silalahi yang memiliki beberapa
anak yang kemudian menurunkan berbagai marga:
- 1)
Sihaloho
- 2)
Situngkir
- 3)
Sondi
- 4)
Sinabutar
- 5)
Sidabariba
- 6)
Sinabang
- 7)
Pintubatu
- 8)
Tambunan
- 9)
Turgan
Berdasarkan silsilah ini, keturunan Raja Silahi Sabungan dari jalur Penulis (Sondi), generasi terjauh berada di generasi ke-19 ditambah 5 generasi ke Si Raja Batak, sehingga jika kita menghitung mundur dengan asumsi rata-rata satu generasi 25–30 tahun, maka Si Raja Batak diperkirakan hidup sekitar 960–1150 M. Jika kita memakai metode lain yaitu sistem range dengan asumsi usia termuda berproduksi adalah 12 tahun dan usia tertua bereproduksi tertua adalah 70 tahun maka diperoleh range tahun diperkirakan hidup 344-1736 M (rata-rata 1040).
Perhitungan diatas memakai pendekatan umur rata-rata (optimum) untuk mengunci variabel periode satu generasi, namun ini juga bisa dihitung dengan pendekatan realistis memakai umur rata-rata Pria bisa berregenerasi yaitu disaat mulai akil balik (minimum) sampai usia Umur Harapan Hidup (maksimum) karena Pria seumur hidupnya mampu beregenerasi. Adapun hasilnya adalah bahwa Tahun Hidup Si Raja Batak tergambarkan di rentang tahun 344 - 1736 M sebagaimana pada simulasi perhitungan berikut:
4.
Si
Raja Batak dan Kerajaan Sezamannya.
Jika Si Raja Batak hidup pada abad ke-10 hingga ke-12, maka
ia sezaman dengan berbagai kerajaan besar di Nusantara dan Asia Tenggara,
seperti:
- a. Sriwijaya (700–1300 M), kerajaan
maritim di Sumatra yang masih berjaya pada masa hidup Si Raja Batak.
- b.Medang dan Kahuripan (Jawa, 900–1050
M), yang berkembang menjadi Kediri pada abad ke-12.
- c. Champa (Vietnam, 800–1400 M),
kerajaan maritim yang memiliki hubungan dagang dengan Nusantara.
- d. Khmer (Kamboja, 800–1500 M), yang
mencapai puncak kejayaan pada abad ke-12 dengan pembangunan Angkor Wat.
- e. Chola (India selatan, 300 SM-1279 M)
mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-11, terutama di bawah pemerintahan
Raja Rajaraja I (985–1014 M) dan Rajendra Chola I (1014–1044 M).
Batak kemungkinan memiliki kontak dengan Sriwijaya, mengingat
kerajaan ini mengendalikan perdagangan di Sumatra. Meskipun tidak ada bukti
interaksi langsung dengan kerajaan lain, posisi geografis Batak di jalur
perdagangan internasional menunjukkan kemungkinan hubungan tidak langsung
dengan kerajaan-kerajaan maritim seperti Champa.
5.
Bukit
Bakkara dan Manusia Batak dalam Catatan William Marsden
Selain Gunung Pusuk Buhit, beberapa versi mitologi juga
mengaitkan Bukit Bakkara sebagai pusat kekuasaan Batak. Bukit Bakkara kemudian
menjadi tempat asal Si Singamangaraja, pemimpin spiritual dan politik Batak.
William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra (1783) mencatat:
"Mereka tidak berpura-pura mengetahui penciptaan bumi dan air asli ini,
tetapi mengatakan bahwa pada masa ketika bumi dan air menutupi segalanya, dewa
utama, Bataraguru, memiliki seorang putri bernama Puti-orla-bulan, yang meminta
izin untuk turun ke wilayah yang lebih rendah ini, dan karenanya turun dengan
seekor burung hantu putih, ditemani seekor anjing; tetapi karena tidak dapat
melanjutkan perjalanan di sana karena air, ayahnya menjatuhkan gunung yang
tinggi dari surga, bernama Bakarra, yang sekarang terletak di wilayah Batak,
sebagai tempat tinggal bagi anaknya; dan dari gunung ini semua daratan lainnya
berangsur-angsur terbentuk. Bumi sekali lagi ditopang oleh tiga tanduk
Naga-padoha, dan agar ia tidak akan pernah membiarkannya jatuh lagi,
Batara-guru mengirim putranya, bernama Layang-layang-mandi (secara harfiah
berarti burung layang-layang yang menukik) untuk mengikat tangan dan kakinya.
Tetapi mereka menganggap bahwa ia sesekali menggelengkan kepalanya sebagai
akibat dari gempa bumi. Puti-orla-bulan kemudian, selama tinggal di bumi,
memiliki tiga orang putra dan tiga orang putri, yang darinya muncullah seluruh
umat manusia”.
Jadi jelaslah terlihat bahwa jauh sebelum Mitos
PusukBuhitisme dimunculkan Vergouween dan kawan-kawan pada bukunya tahun 1930,
Mitos sejenis sudah dicatatkan oleh Marsden.
Cerita ini lebih klasik karena setara dengan zaman dimana
Bumi tertutup oleh Air mirip cerita Peristiwa air bah sering dikaitkan dengan
berbagai legenda dan catatan sejarah, terutama dalam kisah Banjir Nabi Nuh,
yang disebutkan dalam Alkitab dan Al-Qur'an. Berdasarkan beberapa sumber,
peristiwa ini diperkirakan terjadi sekitar 3.400 SM, atau sekitar 5.400 tahun
yang lalu.
6.
Pembunuhan
Karakter Batak sebagai Negara Jajahan.
J.C. Vergouwen adalah seorang Antropolog Belanda yang banyak
mengkaji masyarakat dan hukum adat Batak Toba. Ia dikenal melalui bukunya
Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba terbit tahun 1930, yang membahas secara
mendalam tentang struktur sosial, sistem hukum, dan adat istiadat Batak, dia
memperkenalkan sosok W.M. Hutagalung, seorang Asisten demang Pemerintahan
Kolonial yang saat itu dipimpin Residen Tapanuli bernama W.K.H. Ypes. Pada
akhirnya ketiga Tokoh ini terlibat aktif menanamkan sosok mitos Si Raja Batak
yang pada awalnya disebutkan khusus untuk orang Toba saja namun akhirnya secara
ideologi menjalar ke suku bangsa Batak lainnya.
Kerajaan Inggris menyerahkan Pulau Sumatera sepenuhnya kepada Kerajaan Belanda secara resmi berdasarkan Traktat London tahun 1830, meskipun Inggris belum sempat menjajah Tanah Batak namun kegiatan intelijen telah dilakukan yang dikemas dalam penelitian melalui para agennya William Marsden tahun 1772, dilanjutkan Ibbetson tahun 1822 dan diakhiri oleh John Anderson tahun 1823. Sebagaimana disebut diatas, Marsden sudah mencatat keberadaan mitologi Bakkaraisme dan bukunya juga telah beredar di Eropa ditahun 1787, semestinya Antropolog sekelas Vergouwen sudah membaca buku itu paling tidak mengetahui terdapat mitologi lain selain PusukBuhitisme yang hanya berjarak sekitar 30 KM dari sana. Daerah Bakkara merupakan pusat wilayah kekuasaan Sisingamangaraja XII yang telah gugur pada tanggal 17 Juni 1907, kuat dugaan bahwa pengaruh beliau masih kuat dikalangan orang Batak. Disamping itu, belum lama para Arkeolog juga telah melakukan serangkaian uji karbon terhadap benda-benda sisa peradaban manusia di Pusuk Buhit yang ternyata paling tua hanya berumur sekitar 600 tahunan.
Jika benar demikian, maka Pemerintahan Hindia Belanda melalui
agen-agennya J.C. Vergouwen, W.K.H Ypes dan W.M. Hutagalung sengaja memasukkan
ideologi PusukBuhitisme demi mengadu domba (Devide et Impera) untuk mengurangi
pengaruh Ideologi Bakkaraisme.
Salam Literasi
Refferensi:
- Marsden, W. (1811). The History of
Sumatra (3rd ed.). Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown.
- Pinto, F. M. (1989). The Travels of
Mendes Pinto (R. D. Catz, Trans.). University of Chicago Press. (Original work
published 1614)
- Vergouwen, J. C. (1964). The
Genealogy of the Batak People. In The Social Organization and Customary Law of
the Toba-Batak of Northern Sumatra (pp. 5-16). Dordrecht: Springer Netherlands.
