Cari Blog Ini

Nasib Pemberantasan KOLUSI dan NEPOTISME.

    Akhir-akhir ini kembali ramai perbincangan di masyarakat seputar tentang Kolusi dan Nepotisme terutama dalam bentuk Bisnis Keluarga dan Dinasti Politik. Bisnis Keluarga disinggung dalam konteks penerimaan sejumlah fasilitas yang dikait-kaitkan dengan Jabatan Publik yang dipegang anggota keluarga, sedangkan Nepotisme pada umumnya dalam konteks Pemilihan Umum baik itu Pemilihan Presiden, Legislatif maupun Kepala Daerah. Tentunya karena di Indonesia saat ini sedang dalam suasana pesta demokrasi maka Pembahasan Kolusi & Nepotisme kerap dipakai menyerang melalui pendekatan persepsi masyarakat yang pada umumnya diluar kerangka hukum, oleh karena itu sebagai ahli kebijakan publik saya merasa terpanggil untuk mencoba menjelaskan fenomena ini melalui pendekatan ilmu kebijakan publik dalam hal ini tahapan Penyusunan Kebijakan.

    Peristiwa Reformasi Mei 1998 dimana saya juga termasuk pelakunya adalah murni pergerakan moral Mahasiswa atas kemerosotan Bangsa. Mahasiswa dimasa itu mengenal kegiatan akademis Kuliah Kerja Nyata biasa disingkat KKN dimana kegiatan ini wajib dilakukan jika hendak menyelesaikan pendidikan Sarjana Strata satu. Lantas oleh mahasiswa saat itu, KKN dipakai sebagai sarkasme atas kemerosotan Moral Bangsa yang merupakan sindiran dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang juga disingkat dengan KKN. Ini menjadi simbol gerakan tuntutan Reformasi dengan slogan utamanya "Anti KKN" yang berhasil memicu demonstrasi mahasiswa besar-besaran hingga akhirnya menjatuhkan Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun sekaligus meruntuhkan Orde Baru, bahkan belakangan berimbas turut dihapusnya kegiatan akademis Kuliah Kerja Nyata.

Sumber: Viva.co.id

    Pasca kejatuhan Orde Baru, slogan Anti KKN mahasiswa pada tanggal 13 November 1998 dijadikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Nilai Moral Bangsa yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (TAPMPR/11/1998). MPR saat itu telah menilai bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden/Mandataris MPR yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. MPR juga menilai bahwa penyelenggaraan negara telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan KKN, yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. MPR juga memerintahkan agar upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto* dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia, juga memerintahkan agar Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam TAPMPR/11/1998 diatur lebih lanjut dengan Undang-undang (UU).
    MPR adalah lembaga Tertinggi Negara Republik Indonesia, dan keputusannya untuk membuat UU adalah perintah yang harus dilaksanakan Lembaga Tinggi Negara fungsi pembuatan UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden. Dalam rangka itu, DPR bersama Presiden B. J. HABIBIE pada tanggal 19 Mei 1999 telah mengesahkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (UU/28/1999). Dalam UU/28/1999 ini disebut bahwa yang dimaksud dengan:
  1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutiflegislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
  3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
  4. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
  5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Pada Pasal 5 UU/28/1999 disebutkan bahwa Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada Pasal 10 UU/28/1999 dan menurut saya merupakan bagian terpenting disebutkan bahwa Untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, Presiden selaku Kepala Negara membentuk Komisi Pemeriksa. Lebih lanjut tentang Komisi ini diatur pada Pasal 17 berbunyi:
(1). Komisi Pemeriksa mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekayaan Penyelenggara Negara.
(2). Tugas dan wewenang Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. melakukan pemantauan dan klarifikasi atas harta kekayaan Penyelenggara Negara;
b. meneliti laporan atau pengaduan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau instansi pemerintah tentang dugaan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme dari para Penyelenggara Negara;
c. melakukan penyelidikan atas inisiatif sendiri mengenai harta kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan petunjuk adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme terhadap Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
d. mencari dan memperoleh bukti-bukti, menghadirkan saksi-saksi untuk penyelidikan Penyelenggara Negara yang diduga melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau meminta dokumen-dokumen dari pihak-pihak yang terkait dengan penyelidikan harta kekayaan Penyelenggara Negara yang bersangkutan;
e. jika dianggap perlu, selain meminta bukti kepemilikan sebagian atau seluruh harta kekayaan Penyelenggara Negara yang diduga diperoleh dari korupsi, kolusi dan nepotisme selama menjabat sebagai Penyelenggara Negara, juga meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan menjabat.

    Komisi Pemeriksa yang disebut dengan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPNtelah dibentuk oleh Presiden B.J. Habibie melalui  Keputusan Presiden nomor 81 tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, terdiri atas seorang Ketua merangkap Anggota, 4 (empat) orang Wakil Ketua merangkap Anggota, dan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang Anggota dimana pertamakali diketuai oleh Jusuf Syakir.
    Pada pada tanggal 27 Desember 2002, Presiden Megawati telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU/30/2002), UU ini telah mengubah keseluruhan BAB VII pada UU/28/1999, dimana pada UU/30/2002 Pasal 71 ayat (2) berbunyi "Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku", dengan begitu keberadaan KPKPN termasuk tugas, fungsi dan kedudukannya secara otomatis hilang dan diganti dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
    Pada Pasal 6, UU/30/2002 disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Menurut Pasal 1, Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan:
a. tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi Tindak Pidana Korupsi;
b. koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik;
c. monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara;
d. supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e. penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi; dan
f. tindakan untuk melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    Dari UU/30/2002 tampak jelas KPK bukanlah lembaga yang berwenang memeriksa Kolusi dan Nepotisme sebagaimana yang dimaksud UU/28/1999. Pada akhirnya KPK menjadi Pemeriksa Korupsi sebagaimana yang dimaksud pada pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU/31/1999) yang disahkan pada tanggal 16 Agustus 1999 oleh Presiden B.J Habibie, KPK juga menjadi pemeriksa Korupsi sebagaimana yang dimaksud pada BAB VII UU/28/1999, namun karena BAB VII UU/28/1999 sudah dinyatakan tak berlaku oleh UU/30/2002 maka Komisi Pemeriksa Kolusi dan Nepotisme sebagaimana yang diamanatkan UU/28/199 menjadi tidak jelas karena landasan hukumnya telah dicabut

Secara Bibliometri dengan bantuan VOSViewer dan teknik pemetaan yang saya kembangkan, maka diperoleh Peta UU/28/1999 sebagai berikut:
Keterangan Gambar:

    Kita tentunya sangat berharap demi kemajuan bangsa dan negara kedepannya, agar semoga DPR bersama Presiden periode 2024-2029 mau melakukan perbaikan kebijakan yang memberikan kepastian hukum amanat TAPMPR/11/1998 karena KPK yang terbentuk saat ini bukanlah lembaga sebagaimana yang dimaksud oleh MPR dan Mahasiswa pada tahun 1998 dahulu. Demikianlah kajian ini saya lakukan sebagai wujud implementasi ilmu di masyarakat dalam rangka ilmiah, tanpa bermkasud menyudutkan pihak-pihak tertentu dan semata-mata hanya untuk turut membangun bangsa melalui karya pemikiran.


Salam Kebijakan Publik.


Keterangan:
* artinya kalimat ini telah dihapus oleh TAP MPR tahun 2024. 

POSTINGAN UNGGULAN

Nasib Pemberantasan KOLUSI dan NEPOTISME.

     Akhir-akhir ini kembali ramai perbincangan di masyarakat seputar tentang Kolusi dan Nepotisme terutama dalam bentuk  Bisnis Keluarga da...