Kisah ini saya terjemahkan dari buku Rebecca D. Catz berjudul THE TRAVELS OF MENDES PINTO pada tahun 1989, khusus BAB 13 sampai BAB 18. Buku Cattz merupakan terjemahan/editan dari Buku kumpulan catatan perjalanan Fernão Mendes Pinto selama hidupnya namun baru dijadikan buku pada tahun 1614 tepat setahun setelah kematiannya yang diberi judul asli “Peregrinação” (bahasa Portugis) yang berarti "Perjalanan" dalam bahasa Indonesia. Pinto adalah seorang penjelajah, penulis, dan petualang asal Portugal, lahir sekitar tahun 1509. Perjalanan hidupnya penuh dengan pengalaman yang luar biasa termasuk mengikuti perang Kerajaan Batak pada tahun 1539. Meskipun keakuratan historis karyanya diperdebatkan namun kebenaran perjalanannya ke Ibu kota Kerajaan Batak dapat terverifikasi oleh perjumpaan mereka dengan binatang Endemik khas Gunung Leuser yaitu Orang Utan yang memang sampai saat inipun hanya dapat dijumpai dikawasan itu diantara besar dan luasnya hutan Pulau Sumatera, namun Pinto kurang presisi dalam memberikan ukuran jarak perjalanannya yang sangat mungkin disebabkan satuan jarak yang dipakai adalah "Liga" yaitu satuan yang belum terstandarisasi dikala itu. Terhadap terjemahan Catz, yang tidak sekedar menerjemah tapi melakukan pengeditan beberapa judul chapter/cerita dimana menurut saya kurang mengena ketimbang hasil terjemahan langsung dari Bahasa Portugis ke Bahasa Indonesia, mungkin karena pemahamannnya yang kurang tentang Pulau Sumatera bagian Utara menjadi salah satu faktor penyebabnya, untuk itu saya sarankan agar para pembaca melihat juga versi aslinya.
Cerita ini menjadi sangat menarik bagi saya, pertama dikarenakan Kerajaan Battak kini sudah tidak ada dan sisa peninggalan terutama terkait keberadaan ibukotanya masih menjadi tanda tanya, berbeda dengan Kerajaan Achinese yang jejaknya dapat ditelusuri di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Banyak spekulasi bahwa masyarakat Kerajaan Battak dulu adalah leluhur Group Etnis Batak yang mendiami sebagian wilayah Provinsi Sumatera Utara yang juga merupakan bagian NKRI. Hal kedua yang menarik adalah Skala Perang yang terjadi, dari sisi keterlibatan negara, Pinto menyebut beberapa Negara Kerajaan yang berada pada pihak Raja Batak adalah Portugis, Menangkabow, Luzon, Indragiri, Jambi dan Borneo sedangkan di Pihak Raja Achinese ada Negara Turki, Gujarat, Malabar, Pasay dan Pedir. Dari sisi kekuatan militer, pasukan Raja Battak berjumlah sekitar 15.000 orang dan melibatkan senjata perang canggih dizamannya seperti Senjata api, Ranjau Bom dan Kapal Perang. Dari sisi Keyakinan, perang ini melibatkan pemeluk agama Hindu, Islam dan Kristen. Hal lain yang tak kala menarik adalah kisah dibalik perang dimana terjadi pemaksaan keyakinan, pernikahan politik, penghianatan janji dan pembunuhan keluarga kerajaan. Meskipun Perang berakhir dengan mundurnya pasukan Raja Battak dari wilayah kerajaan Achinese tanpa adanya pemenang namun saya yakin bahwa Perang ini sesungguhnya layak disebut setara dengan Perang Dunia I dengan alasan terdapat beberapa kemiripan diantaranya perang diwarnai dengan pembunuhan keluarga kerajaan, menggunakan senjata tercanggih dimasanya dan melibatkan banyak negara pula.
Banyak dari kita akan terpancing terjun ke analisis dimana sebenarnya tempat yang disebut pada catatan Pinto terutama letak Pulau emas, lokasi ibukota kerajaan Battak dan titik pertempuran, hal ini karena Pinto ikut menjelaskan ukuran jarak maupun waktu tempuh yang akurasinya rendah. Pada tulisannya Pinto sering menggunakan ukuran jarak memakai “league”, ukuran ini tidak memiliki standar yang seragam di seluruh dunia. League adalah satuan pengukuran jarak yang bervariasi tergantung pada lokasi geografis dan budaya. Secara umum, “league” mengacu pada jarak yang dapat ditempuh oleh seseorang dalam waktu tertentu. Menurut Portugis dan Spanyol “league” (dikenal sebagai “legua”) memiliki panjang sekitar 5.6 kilometer.
Semoga tujuan saya mengangkat cerita ini tidak disalahartikan mengingat tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperkaya wawasan bahwa pernah seorang penulis masa lampau menceritakan kisah perjalanannya, dan semoga Negara hadir untuk membuktikan apakah cerita ini bagian dari sejarah atau hanya karangan penulis belaka.
Selamat membaca:
BAB 13
Utusan Battak
Pada saat Pero de Faria tiba di Malaka, Dom Estêvão da Gama1 masih menjabat sebagai kapten benteng, dan menjabat beberapa hari lagi hingga masa jabatannya berakhir2. Namun demikian, karena Pero de Faria adalah kapten baru yang akan segera mengambil alih komando, tak lama setelah ia tiba di benteng, kerajaan-kerajaan tetangga mulai mengirimkan duta besar mereka untuk mengunjunginya dan mengucapkan selamat atas pengangkatannya, dengan tawaran untuk memperbarui perjanjian perdamaian dan persahabatan yang telah mereka pertahankan dengan raja Portugal. Di antara mereka yang datang adalah utusan raja Battak3, yang bertempat tinggal di tepi laut pulau Sumatera dimana ia percaya bahwa disana terletak pulau emas, yang terkadang coba diungkap oleh Raja Portugal yang ketiga, melalui informasi yang meninggalkan beberapa bagian yang Kapten katakan padanya4.
Duta besar ini, bernama Aquareng Dabolay dan merupakan saudara ipar raja Battak, membawakan Pero de Faria hadiah berharga berupa kayu gaharu,5 buah kalambac,6 dan lima kuintal7 kristal benzoin aromatik,8 serta sebuah surat, yang tertulis di daun lontar,9 yang berbunyi sebagai berikut:
“Aku, Angesiry Timorraja, raja Battak10, berkeinginan melebihi segalanya untuk mengabdi kepada Singa berMahkota, yang singgasana kemegahannya membentang di lautan, yang memerintah dengan kekuasaan luar biasa di mana pun keempat mata angin bertiup, pangeran Portugal yang agung itu, tuanmu dan tuanku, kepada siapa sekali lagi aku memberi penghormatan dengan memberikan ketaatan kepadamu, Pero de Faria, engkau menara kekuatan, dalam semangat persahabatan sejati dan suci; dan mulai hari ini, aku berjanji untuk menjadi bawahan setianya, dengan segala kemurnian cinta dan pengabdian yang layaknya seorang pengikut setia.
“Karena sangat bersemangat untuk memperbarui pakta persahabatan kita, saya mengusulkan untuk memperkaya rakyat Anda dengan semua produk tanah saya, dengan mengadakan perjanjian perdagangan baru dengan Anda yang akan mengisi gudang kedaulatan dan tambang Anda, dengan emas, lada, kapur barus, kayu gaharu, dan kemenyan, dengan syarat aku diberi izin berperilaku aman,11 tertulis di tanganmu dan dijamin oleh kekuatan kata-katamu, mengizinkan lancharas12 dan jurupangos13ku untuk menavigasi dengan bebas dan aman ke mana pun keempat mata angin bertiup. Dan untuk menyegel perjanjian persahabatan baru ini, saya juga meminta bantuan Anda dalam bentuk beberapa perlengkapan militer yang mungkin tergeletak di sudut gudang senjata Anda yang terlupakan, karena saya mendapati bahwa saat ini saya sangat membutuhkan peluru meriam dan bubuk mesiu; dan dengan bantuan sauguate ini sebagai tanda pertama persahabatanmu, aku akan bisa menghukum orang Achiong yang pengkhianat,14 yang telah lama menjadi musuh bebuyutan Malaka kunomu. Dan aku bersumpah bahwa selama aku hidup, aku tidak akan pernah menjaga perdamaian atau persahabatan dengan mereka sampai aku telah memperoleh pembalasan atas darah ketiga putraku, balas dendam yang ditimbulkan oleh air mata yang mengalir tanpa henti dari mata ibu mulia yang mengandung dan menyusui mereka di dadanya; karena mereka menemui ajalnya di desa Jacur dan Lingau, di tangan tiran Achinese yang kejam, mengenai Aquareng Dabolay, saudara laki-laki dari ibu yang berduka yang melahirkan ketiga putra ini, akan memiliki lebih banyak hal untuk dikatakan kepadamu, atas namaku, karena dialah yang aku kirim untuk memperbarui ikatan persahabatan dan untuk berdiskusi denganmu, Tuanku, apa pun yang dianggapnya perlu untuk mengabdi kepada Tuhan dan kesejahteraan umat-Mu. Tanggalnya di Panaju, pada tanggal mamoco15 kelima bulan kedelapan.”
Duta Besar ini mendapat sambutan yang baik dari Pero de Faria, lengkap dengan segala penghormatan dan upacara yang dilakukan sesuai gaya mereka. Dan setelah mengantarkan surat tersebut—yang segera diterjemahkan dari bahasa Melayu ke bahasa Portugis—dia menjelaskan kepada Pero de Faria, melalui seorang penerjemah, alasan ketegangan hubungan yang ada antara tiran Achinese dan raja Battak , yang muncul dari pengikut:
Belum lama berselang, musuh bebuyutan mereka ini telah mengusulkan kepada raja Battak, yang beragama Hindu, agar ia masuk Islam, dan jika ia mau menyediakan istri baginya yang sudah berumur dua puluh enam tahun, yang, seperti dia, juga sama seorang Hindu, dia akan mengawinkannya dengan salah satu saudara perempuannya. Ketika Battak menolak, tiran Achinese atas dorongan kesombongannya, menyatakan perang terhadapnya. Dengan memobilisasi pasukannya, mereka melemparkan mereka ke medan perang dalam pertempuran yang berlangsung tanpa jeda selama tiga jam sampai orang-orang Achinese, yang menghadapi kekalahan yang semakin besar di barisannya, terpaksa mengakui keunggulan militer musuhnya dan mundur ke pegunungan yang disebut Cagerrendão, di mana Battak mengepungnya selama dua puluh tiga hari. Namun pada saat itu, orang-orang Aceh, yang kampnya dirusak oleh penyakit, dan lawannya, dengan pasukannya yang juga kekurangan perbekalan, setuju untuk menghentikan permusuhan dan menandatangani perjanjian damai yang menyerukan orang-orang Aceh untuk membayar ganti rugi lima bahar emas, atau setara dengan 200.000 cruzados dalam uang kami, yang dibutuhkan Battak untuk membayar tentara bayarannya; Selain itu, orang Battak setuju untuk mengawinkan putra sulungnya dengan saudara perempuan orang Achino, yang merupakan asal muasal perselisihan tersebut. Setelah syarat-syarat perjanjian dilaksanakan, Battak kembali ke negaranya, membongkar kampnya, dan mendemobilisasi pasukannya.
Berkat dari perjanjian damai ini hanya bertahan selama dua setengah bulan, yaitu waktu yang dibutuhkan oleh orang Achino untuk mengirim tiga ratus orang Turki yang mereka harapkan dapat menghubunginya. Mereka tiba dari Selat Mekah dengan empat nao yang awalnya dikirimnya ke sana dengan membawa muatan lada, dan sekembalinya mereka, palka tersebut dipenuhi dengan banyak peti senapan dan senjata lainnya, termasuk beberapa artileri berat yang terbuat dari perunggu dan besi tuang. Menyebarkan desas-desus bahwa ia sedang dalam perjalanan ke Pasay17 untuk menghukum salah satu kaptennya sendiri yang memberontak terhadapnya, orang-orang Achino berangkat dengan senjata dan bala bantuan; namun sebaliknya, dia menyerang dua desa Battak yang disebut Jacur dan Lingau . Menemukan mereka lengah, terbuai oleh keamanan palsu dari perjanjian damai yang baru saja ditandatangani, dia menangkap mereka tanpa kesulitan apapun, membunuh tiga putra Battak , bersama dengan tujuh ratus ourobalões,18 yang merupakan prajurit terbaik dan orang paling mulia di kerajaan.
Marah dengan besarnya pengkhianatan ini, raja Battak bersumpah demi kepala berhala paling suci dalam agama Hindu-nya, Quiay Hocombinor,19 “dewa keadilan”, tidak makan buah, atau garam,20 atau apa pun yang terasa enak baginya, sampai dia membalas kematian putra-putranya dan mendapatkan kembali wilayah yang diambil darinya, atau mati dalam upaya tersebut .
Sepenuhnya bertekad pada tindakan ini, raja Battak mengerahkan pasukan sebanyak lima belas ribu orang, baik pribumi maupun asing, yang ia kumpulkan dengan bantuan beberapa pangeran sahabatnya. Dan tidak puas dengan hal ini, dia juga ingin memanfaatkan niat baik kita. Itulah sebabnya dia mengirim duta besarnya dengan tawaran untuk memperbarui perjanjian persahabatan yang dibahas di atas, yang dengan senang hati diterima oleh Pero de Faria, mengetahui sepenuhnya betapa pentingnya hal itu untuk pelayanan raja dan keamanan benteng, dan seberapa besar manfaatnya. menambah pendapatan kantor pabean—belum lagi kepentingan pribadinya dan kepentingan orang Portugis lainnya yang berdagang di wilayah selatan.
BAB 14
Melalui Hutan Sumatera
Kemudian dia naik ke kapal yang sama yang telah membawanya ke Malaka dan berangkat, dikawal oleh armada sepuluh atau dua belas balões1 yang menemaninya sejauh lebih dari setengah liga sampai ke Pulau Upi,2 tempat bendara3 Malaka, yang merupakan pejabat tertinggi di antara bangsa Moor yang berkuasa, kehormatan, dan administrasi peradilan, memberinya perjamuan mewah bergaya Moor, atas perintah Pero de Faria. Hiburan disediakan oleh band yang memainkan shawm, trompet, dan timbals, serta paduan suara bersuara bagus yang menyanyikan lagu-lagu Portugis dengan iringan orkestra harpa, flageolet, dan rebec. Dia begitu terkesan dengan semua itu sehingga dia terus-menerus memasukkan jarinya ke dalam mulutnya, dengan sikap takjub yang merupakan ciri khas orang-orang ini.4
Karena Pero de Faria sangat ingin mendapatkan keuntungan besar yang menurut beberapa orang Moor kepadanya akan diperoleh dari pengiriman barang-barang India ke Battak —belum lagi keuntungan lebih tinggi yang bisa diperoleh dari pengiriman barang kembali—dua puluh Beberapa hari setelah kepergian duta besar ini, ia melengkapi sebuah kapal seukuran karavel kecil yang mereka sebut jurupangos di bagian-bagian tersebut, yang pada saat itu, dia hanya bersedia mengambil risiko sepuluh ribu cruzados, dan dia mempercayakan urusan akhir perjalanan tersebut kepada seorang Moor setempat yang akan bertindak sebagai agennya. Dan dia bertanya padaku apakah aku bersedia untuk ikut serta, sekaligus memberitahuku betapa bahagianya dia jika aku mengunjungi raja Battak mewakilinya, dengan menyamar sebagai duta besar, dan menemaninya sebagai pengamat militer ke Achin, di mana dia kemudian bersiap untuk berbaris bersama pasukannya. Dia mengatakan bahwa akan ada peluang bagi saya untuk mendapatkan sedikit keuntungan sampingan, dan bahwa saya akan dapat memperoleh gambaran akurat tentang area tersebut dari pengamatan langsung; dan juga, di sana saya dapat mendengar pembicaraan tentang Pulau Emas, mengenai hal itu dia berencana mengirimkan laporan lengkap kepada Yang Mulia.
Aku tidak bisa menolak lamarannya, meskipun pada awalnya aku merasa ragu untuk melakukan perjalanan tersebut, bukan hanya karena itu berarti melakukan perjalanan ke wilayah tak dikenal yang dihuni oleh orang-orang pengkhianat, tetapi juga karena saya hanya mempunyai seratus tentara salib pada saat itu, di mana saya tidak bisa berharap mendapat banyak keuntungan. Bagaimanapun, saya akhirnya bergabung dengan orang Moor yang bertanggung jawab atas barang dagangan.
Setelah melakukan penyeberangan dari Malaka ke pelabuhan Surotilau,5 lepas pantai Kerajaan Aaru,6 pilot berlayar menyusuri pulau Sumatera, di laut pedalaman, sampai ke sungai bernama Hicandure ́.7 Melanjutkan perjalanan ini selama lima hari lagi, dia mencapai teluk indah bernama Minhatoley,8 sembilan liga dari kerajaan Pedir9 pada garis lintang sebelas derajat. Dan dari sini dia berlayar mengitari ujung pulau, yang saat ini lebarnya hanya dua puluh tiga liga, sampai kami tiba di pemandangan laut di pantai seberang; dan setelah menyusuri sungai itu selama empat hari lagi di bawah angin sepoi-sepoi, dia memasuki sebuah sungai kecil sedalam tujuh depa, yang disebut Guateamgim.10 Berlayar menyusuri sungai ini sejauh enam atau tujuh liga, kami dapat melihat di antara hutan lebat tumbuhnya sejumlah besar ular dan makhluk lain dengan ukuran dan bentuk yang luar biasa sehingga orang akan sangat takut untuk menyebutkannya, setidaknya kepada orang-orang yang Mereka belum banyak melihat dunia, karena karena mereka hanya melihat sedikit, mereka juga cenderung tidak begitu percaya pada apa yang sering dilihat orang lain.
Di sepanjang sungai, yang tidak terlalu lebar, terdapat banyak sekali kadal,11 meskipun ular adalah nama yang lebih tepat untuk mereka karena beberapa dari mereka berukuran sebesar perahu, dengan sisik di punggung dan mulut mereka. lebarnya lebih dari dua bentang; dan dari apa yang dikatakan penduduk asli kepada kami, mereka sangat berani dan cepat menyerang, dan sangat sering mereka menyerbu sebuah perahu yang hanya memiliki tiga atau empat orang kulit hitam di dalamnya, membuatnya kesal dengan kibasan ekornya dan melahap penumpangnya satu per satu saat mereka terjatuh di air, tanpa mencabik-cabik mereka, hanya menelan mereka utuh-utuh.
Kami juga melihat di sini hewan yang bagi kami sangat tidak biasa dan tampak aneh yang oleh penduduk asli disebut caquessitão,12 seukuran bebek besar, berwarna hitam pekat , bersisik, deretan duri di punggung sekitar panjang pena bulu, sayap seperti kelelawar, leher ular kobra, tanduk di kepala seperti taji ayam, dan ekor yang sangat panjang berwarna hitam kehijauan, warnanya sama dengan kadal besar yang banyak terdapat di sini. Makhluk yang terbang seolah-olah melompat di udara ini hidup dengan berburu monyet dan hewan lainnya dari puncak pohon.
Selain itu, kami melihat banyak sekali ular kobra berkerudung13 di sini yang setebal paha manusia dan sangat berbisa, kata orang kulit hitam, sehingga jika air liur yang menetes dari mulutnya menyentuh makhluk hidup apa pun, ia akan mati seketika, dan itu tidak ada obat atau penawar yang diketahui untuk itu. Kami melihat beberapa ular kobra lainnya14 yang tidak memiliki tudung dan tidak beracun seperti ini, namun lebih panjang dan lebih tebal, dengan kepala sebesar anak sapi. Hewan-hewan ini, kami diberitahu, juga memburu mangsanya di tanah dengan cara berikut. Mereka merayap ke atas salah satu pohon yang tumbuh liar dan melimpah di seluruh negeri, dan melingkarkan ekor mereka di sekitar salah satu cabang atas dengan kepala menggantung di semak-semak di bawah, menjaga telinga tetap dekat dengan lantai hutan dan mendengarkan suara apa pun yang bergerak di tengah malam; dan jika ada seekor lembu, atau babi hutan, atau rusa, atau binatang apa pun yang lewat, mereka akan menangkapnya dengan mulut sambil berayun dari dahan; dan mangsa apa pun yang berada dalam genggamannya akan ditelan hidup-hidup, sehingga mustahil ada makhluk hidup yang dapat melarikan diri.
Kami juga melihat banyak kera coklat15 di sini, seukuran seekor mastiff besar, yang lebih ditakuti oleh orang kulit hitam daripada binatang lain di hutan karena mereka menyerang dengan sangat ganas sehingga tidak ada yang bisa memberikan perlawanan.
BAB 15
Di Pengadilan Battak
Kami melanjutkan perjalanan menyusuri sungai sekitar tujuh atau delapan liga sampai kami tiba di sebuah kota kecil bernama Batorrendão1 —yang berarti “batu goreng” dalam bahasa kami—terletak kira-kira seperempat liga dari kota Panaju, tempat tinggal raja Battak sedang sibuk dengan persiapan perangnya melawan orang Aceh.
Begitu dia mendengar bahwa aku datang membawa hadiah dan surat dari kapten Malaka, dia mengirimkan rombongan penyambutan yang dipimpin oleh Syahbandar,2 perwira angkatan laut berpangkat tertinggi dan orang yang mempunyai keputusan akhir dalam segala hal. berkaitan dengan pergerakan kapal. Dia datang menemui saya di pelabuhan tempat saya berlabuh, tiba dengan lima lanchara dan dua belas balõe yang mengawalku dengan ribut dengan timbals dan lonceng serta awak kapal yang berteriak sepanjang perjalanan ke Campalator,3 begitu mereka menyebut salah satu dermaga kota; dan di sana bendara, gubernur kerajaan, sedang menungguku bersama sekelompok besar ourobalões dan amborrajas,4 yang merupakan anggota istana kerajaan yang paling mulia. Namun, kebanyakan dari mereka, atau hampir semuanya, adalah kelompok yang terlihat sangat kumuh, berpakaian sangat lusuh, sehingga memberi kesan kepada saya bahwa negara ini tidak sekaya yang mereka bayangkan di Malaka.
Setelah mencapai kompleks istana raja, aku melewati halaman luar, dan di sana, di pintu masuk teras dalam, berdiri seorang wanita tua, ditemani beberapa orang lain yang berpenampilan jauh lebih terhormat dan berpakaian lebih baik daripada rombongan yang mengantarku. Dia memberi isyarat kepadaku, mengundangku untuk masuk, dan menyambutku dengan cara yang khidmat dan bermartabat.
“Pria dari Malaka,” katanya kepadaku, “kedatanganmu ke negeri raja ini, Tuanku, sama menyenangkannya dengan tetesan air hujan yang jatuh ke sawah kami di musim kemarau. Masuklah, dan jangan takut, karena, atas karunia Tuhan, kami semua adalah manusia seperti Anda; dan kami percaya kepada-Nya bahwa hal itu akan selalu demikian, selama-lamanya, sampai akhir zaman.”
Aku masuk ke bagian dalam gedung tempat raja menunggu dan menyambutnya dengan hormat, menyentuhkan lututku ke lantai tiga kali saat aku menyerahkan surat dan hadiah, yang jelas membuatnya senang, dan dia bertanya padaku apa telah membawaku ke sana.
Saya menjawab, sesuai dengan instruksi yang saya terima, bahwa saya telah diutus untuk melayani Yang Mulia dalam kampanye militernya yang akan datang, dan untuk melihat kota Achin dan benteng-bentengnya dengan mata kepalaku sendiri dan mengamati aliran sungai untuk menentukan apakah sungai itu cukup dalam untuk dimasuki oleh nao dan galleon besar kami, karena kapten Malaka telah memutuskan untuk datang membantu Yang Mulia dan menyerahkan orang-orang Achino kepadanya segera setelah lebih banyak orang tiba dari India. Dan karena hal ini sangat sesuai dengan keinginannya, raja yang malang itu percaya bahwa hal itu benar. Bangkit dari bailéu,5 semacam platform tempat ia duduk, ia berlutut di depan semacam rak atau perapian yang di atasnya dipajang tengkorak sapi,6 tanduknya semuanya disepuh dan dihiasi dengan cabang-cabang banyak pohon harum; dan mengangkat tangannya ke sana, dia berdoa dengan suara keras, sambil menahan air matanya.
“Oh, engkau sumber makanan yang tiada habisnya! Engkau yang memberikan susumu dengan cuma-cuma kepada siapa pun yang menginginkannya, dengan naluri seorang ibu bagi anaknya, meskipun alam tidak membatasimu, karena tidak seperti kita dilahirkan, engkau belum mengetahui kepedihan dan penderitaan daging yang mengikat kami —aku mohon kepadamu, dari lubuk hatiku yang terdalam dan memanggilmu di sana, di padang rumput yang cerah di mana kamu tinggal, menuai hasil kepuasan atas kebaikan yang telah kamu lakukan di bumi ini—untuk melestarikan bagiku yang baru persahabatan kapten yang baik ini, sehingga kata-kata yang baru saja kudengar menjadi kenyataan!”7. Umatnya menanggapi doa ini dengan seruan nyaring, mengangkat tangan dan mengucapkan tiga kali kata Pachy parau tinakor ! —Artinya, “Oh, tapi hidup untuk melihatnya menjadi kenyataan dan dengan senang hati mati!”
Kemudian mereka terdiam dalam keheningan yang diwarnai dengan kesedihan ketika sang raja menoleh ke arahku, menyeka air mata yang disebabkan oleh intensitas doa, dan melanjutkan percakapan dengan menanyakan beberapa pertanyaan kepadaku tentang India dan Malaka yang tidak kumengerti. Memakan waktu. Dia mengakhiri audiensi dengan ramah dan berjanji akan mengatur penjualan yang menguntungkan atas barang dagangan kapten yang ditangani orang Moor, dan itulah, lebih dari apa pun, yang saya minati saat itu.
Namun karena kedatanganku bertepatan dengan jadwal keberangkatan raja ke Achin, maka ia tidak punya waktu untuk urusan lain, dan sembilan hari setelah aku sampai di kota Panaju, ibu kota kerajaan Battak, dia berangkat bersama anak buahnya ke kota yang berjarak lima liga bernama Turbão,8 di mana sebagian besar pasukannya sudah menunggunya. Beliau tiba satu jam setelah matahari terbenam tanpa kemeriahan atau tanda kegembiraan apa pun, karena kesedihan mereka atas meninggalnya ketiga putranya, yang sangat kentara, karena selalu ada suasana kesedihan yang mendalam pada diri mereka.
BAB 16
Mengamati Battak dalam perang
Keesokan paginya raja berangkat ke Achin, yang terletak delapan belas liga dari kota Turbão, dari mana ia memulai dengan pasukan yang terdiri dari lima belas ribu orang, hanya delapan ribu di antaranya adalah warga negara Battak; sisanya terdiri dari pasukan Menangkabow,1 Luzon,2 Indragiri,3 Jambi,4 dan Kalimantan yang dikirim oleh para pangeran negara-negara tersebut untuk membantunya. Ia juga mempunyai empat puluh gajah dan dua belas kereta persenjataan ringan yang sebagian besar terdiri dari elang dan gorong-gorong, namun termasuk di antara mereka adalah dua ekor unta dan satu setengah bola5 perunggu yang dicap dengan lambang Perancis yang diambil dari nao Perancis. yang muncul di sana pada tahun 1526 ketika Lopo Vaz de Sampaio6 memerintah Negara Bagian India, meskipun kapten dan pilot nao itu adalah seorang Portugis bernama Rosado7 yang berasal dari kota Vila do Conde.
Maju dalam perjalanan rutin sejauh lima liga sehari, raja Battak tiba di sebuah sungai bernama Quilém, di mana ia mengetahui dari beberapa mata-mata Achino yang ditangkap di daerah bahwa raja berada di Tondacur, dua liga di luar kota, menunggu dan siap menemuinya di medan perang, dan dia membawa banyak pasukan asing bersamanya, termasuk beberapa orang Turki, Gujarat,8 dan Malabar dari pantai India. Setelah berkonsultasi dengan kaptennya, Battak disarankan untuk menyerang sebelum musuh sempat membangun kekuatannya. Dan setelah memutuskan untuk melakukannya, dia segera berangkat dari tepi sungai, sedikit mempercepat langkahnya, dan sesaat sebelum pukul sepuluh malam, dia mencapai kaki gunung, setengah liga dari tempat tentara lawan berkemah; dan setelah beristirahat di sana selama kurang lebih tiga jam, dia melanjutkan perjalanan dengan sangat baik, dengan pasukannya dibagi menjadi empat batalyon. Saat ia mengitari sebuah tikungan di gunung, sesaat sebelum mencapai ujungnya ia melihat hamparan sawah yang luas dimana musuh telah menunggu dalam formasi tertutup rapat yang terbagi menjadi dua batalyon besar.
Saat mereka melihat satu sama lain, mereka membunyikan terompet, genderang, dan lonceng, memenuhi udara dengan jeritan dan teriakan yang sangat liar saat mereka terjun dengan gagah berani ke dalam pertempuran. Setelah melepaskan rentetan bom dan anak panah serta proyektil api lainnya di gudang senjata mereka, mereka saling mendekat dengan tiba-tiba, menunjukkan semangat dan keberanian yang luar biasa sehingga pemandangan itu saja sudah cukup membuatku gemetar ketakutan. Pertempuran berlanjut dengan kecepatan tinggi selama lebih dari satu jam tanpa ada keuntungan nyata di kedua sisi; tetapi ketika dia melihat bahwa anak buahnya, yang kelelahan dan terluka parah, mulai kehilangan kekuatan, orang-orang Achino mulai mundur ke arah sebuah bukit kecil agak jauh ke belakang ke selatan, kira-kira sejauh tembakan bola, dengan niat menggali di puncak bukit yang terdapat beberapa parit yang sepertinya dibuat untuk tanaman padi atau sayur-sayuran. Namun, saudara laki-laki raja Indragiri berhasil menghentikannya dengan menempatkan dua ribu orang di barisan mundurnya, dan pertempuran kembali berkobar dengan sengit seperti sebelumnya. Dilihat dari cara mereka berperang, saling melukai tanpa belas kasihan, tidak ada bangsa lain yang dapat melampaui mereka, karena bahkan sebelum orang-orang Achino dapat mencapai garis parit, ia telah kehilangan lebih dari seribu lima ratus orang, termasuk 160 orang Turki yang tiba beberapa hari sebelumnya dari Selat Mekah, ditambah dua ratus Malabari Moor dan beberapa orang Abyssinia, yang merupakan elit pasukannya.
Karena saat itu hampir tengah hari dan panas terik, Battak mundur ke gunung, di mana dia tinggal sepanjang sisa hari itu sampai menjelang malam, ketika dia sudah cukup sibuk merawat yang terluka dan menguburkan yang mati. Karena tidak berani mengambil tindakan selanjutnya sampai dia bisa melihat apa yang sedang dilakukan musuh, dia tinggal di sana sepanjang malam, terus mengawasi dengan cermat. Saat fajar menyingsing, tidak ada seorang pun yang terlihat di parit-parit tempat pasukan Achi mundur sehari sebelumnya, dan Battak menyimpulkan bahwa musuh telah dikalahkan sepenuhnya. Ia memutuskan untuk menindaklanjuti kemenangannya, dan dari sana, setelah mengeluarkan orang-orang terluka yang tidak dalam kondisi siap berperang, ia berangkat mengejar orang-orang Achinese, berbaris sampai ke kota, yang ia capai dua jam sebelum matahari terbenam.
Karena ingin melakukan sesuatu untuk menunjukkan kepada musuh bahwa ia masih berada di atas angin, sebelum membuat kemah ia membakar dua kota berukuran besar di pinggiran kota serta empat nao dan dua galleon yang berada di pantai, di mana orang-orang Turki telah tiba dari Selat Mekah. Dan ketika api berkobar dengan kekuatan yang luar biasa melalui keenam kapal ini, tanpa musuh yang berani keluar dari kota, raja Battak sendiri, yang yakin bahwa keberuntungan ada di pihaknya, mencoba memanfaatkannya sebaik mungkin dengan menyerang. sebuah benteng pertahanan yang menyapu pintu masuk sungai—yang disebut Penacão —dengan dua belas artileri berat. Dia melakukan penyerangan dengan sekitar tujuh puluh atau delapan puluh tangga dan berhasil memanjat tembok dengan hanya kehilangan tiga puluh tujuh anak buahnya, menembus benteng, di mana dia membunuh mereka semua, tidak mau memberikan seperempat kepada siapa pun yang ditemukan di dalam, dan pasti ada tujuh ratus orang di sana. Sehingga pada hari pertama dia tiba, dia mencapai tiga prestasi luar biasa yang meningkatkan moral anak buahnya dan mengilhami mereka untuk begitu berani sehingga mereka akan menyerang kota itu sendiri pada malam yang sama jika dia membiarkan mereka; tetapi karena saat itu malam sangat gelap dan orang-orangnya kelelahan, dia puas dengan apa yang telah dia lakukan sejauh ini dan memanjatkan doa syukur yang sungguh-sungguh kepada Tuhan.
BAB 17
Tentara Battak Mundur
Raja Battak mengepung kota ini selama dua puluh tiga hari, selama waktu itu musuh melancarkan dua serangan mendadak, meskipun salah satunya hampir tidak layak disebutkan karena jumlah korban tewas di kedua belah pihak hanya sepuluh atau dua belas orang. Namun sebagaimana kemenangan, atau keberhasilan pertempuran di medan perang, cenderung meningkatkan keberanian dan rasa percaya diri pihak yang menang, demikian pula ada kalanya pihak yang lebih lemah bereaksi terhadap kemunduran militer dengan mengatasi rasa takutnya sepenuhnya dan dengan berani melakukan tindakan yang paling sulit dan sulit, memenangkan beberapa dan kadang-kadang kehilangan yang lain. Hal ini terutama benar dari apa yang saya amati ketika saya bersama Battak, karena ketika mereka melihat bahwa orang-orang Achi terus mundur, tampaknya dalam kekalahan, keberanian dan kebanggaan mereka meningkat sampai pada titik di mana mereka berpikir bahwa mereka tidak terkalahkan, dan dua kali mereka hampir musnah karena pendapat yang sia-sia dan buta tentang diri mereka sendiri yang menyebabkan mereka mengambil risiko yang bodoh; karena ketika musuh berhasil keluar dari kota untuk kedua kalinya, Battak menyerang mereka dengan gagah berani dari dua sisi, namun begitu pertempuran menjadi sedikit sengit, pasukan Achino, yang berpura-pura lemah, mulai mundur ke arah benteng pertahanan dimana beberapa hari sebelumnya raja Battak telah merebut dua belas buah artileri. Gembira dengan apa yang dia pikir sebagai kemenangan pasti, salah satu kapten Battak mengejar mereka, barisannya kacau balau, dan berhasil mendorong mereka ke dalam parit. Namun, musuh berbalik menghadapnya dan membela diri dengan berani. Pada titik pertempuran ini, dengan beberapa orang bertekad untuk masuk dan yang lain bertekad untuk mencegah mereka masuk, orang-orang Achino meluncurkan sebuah ranjau besar, yang meledak di dekat tepi lereng curam yang terbuat dari batu kering, mengirimkan kapten Battak dan lebih dari itu. tiga ratus anak buahnya terbang berkeping-keping di udara, di tengah kebisingan dan asap yang paling mengerikan, dalam apa yang tampak seperti potret neraka.
Ketika hal ini terjadi, musuh mulai bersorak-sorai dengan liar dan raja Achinese secara langsung berlari keluar kota, mengerahkan kekuatan penuhnya melawan Battak dengan lebih dari lima ribu amucks;1 dan karena asap bubuk masih begitu tebal sehingga mereka sulit melihat satu sama lain, yang terjadi selanjutnya adalah pertempuran yang membingungkan namun sangat kejam; dan karena saya tidak berani menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya terjadi pada saat ini, saya akan menyimpulkannya dengan mengatakan bahwa pertempuran tersebut berlangsung kurang lebih seperempat jam dan ketika berakhir, lebih dari empat ribu orang tewas di kedua sisi. pihak, meskipun sebagian besar korban ini ditanggung oleh raja Battak, yang segera mundur bersama sisa pasukannya ke sebuah bukit bernama Minacaleu, di mana ia merawat orang-orang yang terluka, yang konon jumlahnya mencapai lebih dari dua ribu orang. belum termasuk orang mati yang dibuang ke sungai karena tidak mampu menguburkannya.
Setelah itu keadaan menjadi sunyi di kedua sisi selama empat hari ketika suatu pagi, di tengah sungai, menuju sisi lain Penacão, muncullah armada delapan puluh enam layar yang dihiasi dengan meriah, ditutupi dengan spanduk dan bendera sutra, dengan gembira mengumumkan kedatangannya dengan banyak keriuhan dan kegembiraan, yang semuanya menebarkan kebingungan di barisan Battak, yang benar-benar bingung menjelaskannya. Namun, pada malam yang sama, mata-mata mereka menangkap lima nelayan yang mengaku di bawah penyiksaan bahwa ini adalah armada yang sama yang dikirim raja Achino dua bulan sebelumnya ke Tenasserim2 dalam perangnya dengan Sornau, raja Siam3, yang melibatkan lima ribu orang Luzon dan orang Kalimantan, semuanya laki-laki pilihan, konon akan kembali, di bawah komando seorang Turki bernama Hamed Khan, keponakan pasha Kairo.
Dalam pertemuan dengan dewan perangnya, yang diadakannya untuk membahas informasi yang diperoleh dari para nelayan, raja disarankan untuk mundur dan tidak membuang-buang waktu untuk melakukan hal tersebut, mengingat gawatnya situasi yang bahkan tidak akan terjadi. penundaan satu jam, bukan hanya karena kekuatan Achino sekarang jauh lebih besar daripada miliknya, tetapi juga karena ia dikatakan mengharapkan bala bantuan tambahan dari tentara bayaran asing yang dijadwalkan tiba dari Pedir4 dan Pasay5 dengan armada sepuluh naos. Sesuai dengan nasihat mereka, raja berangkat pada malam itu juga, dengan sangat kecewa karena kegagalan kampanyenya dan karena fakta bahwa ia kembali dengan pasukan yang jauh lebih sedikit karena kematian lebih dari tiga puluh lima ratus orang, belum lagi jumlah yang sama yang terluka dalam pertempuran dan terbakar oleh ranjau.
Lima hari kemudian dia kembali ke Panaju, di mana dia mendemobilisasi pasukannya, baik penduduk asli maupun asing, dan berangkat menyusuri sungai dengan lanchara kecil, menolak mengizinkan lebih dari dua atau tiga orang untuk menemaninya. Tujuannya adalah sebuah kota bernama Pachissaru, di mana ia mengasingkan diri selama empat belas hari di sebuah pagoda yang dipersembahkan kepada berhala bernama Guinassero ́, “dewa kesedihan”, seolah-olah ia sedang menjalankan devosi novena.
Ketika dia kembali ke Panaju dia memanggilku dan orang Moor yang menangani barang dagangan Pero de Faria, dan dia menanyainya dengan sangat rinci tentang penjualan barang tersebut, ingin tahu apakah masih ada uang yang harus dibayarkan kepadanya dan jika demikian, dia akan memastikan bahwa dia dibayar sekaligus. Aku dan orang Moor meyakinkannya bahwa kami telah melakukannya dengan cukup baik, terutama karena ketertarikan Yang Mulia terhadap masalah ini, dan bahwa para pedagang telah membayar kami secara penuh dan tidak ada seorang pun yang berhutang apa pun kepada kami, dan bantuan ini akan segera dibalas oleh kapten Malaka, yang akan membalaskan dendamnya kepada musuh Achino dan mengembalikan kepadanya seluruh tanah yang telah dirampas darinya.
“Ah, Portugis, Portugis!” seru raja, setelah merenungkan sejenak apa yang kukatakan. “Bagaimana kamu mengharapkan aku menjawabmu? Tolong, jangan anggap aku cukup bodoh untuk percaya bahwa seseorang yang belum mampu membalaskan dendamnya selama tiga puluh tahun mungkin bisa membantuku. Mengingat rajamu dan gubernur-gubernurnya tidak menghukum musuh yang sama setelah ia merebut bentengmu di Pasay,6 dan kapal dapur yang menuju ke Maluku,7 dan tiga naos di lepas pantai Kedah,8 dan kapal galiung dari Malaka pada zaman Garcia de Sá,9 dan seterusnya, empat pukulan di Selangor,10 dan dua naos dari Bengal, dan jung, dan Lopo Kapal Chanoca,11 dan banyak kapal lainnya yang tidak dapat saya ingat saat ini, yang di dalamnya saya diberitahu bahwa dia telah membunuh lebih dari seribu orang Portugis, belum lagi semua hadiah berharga yang dia dapatkan, jauh sebelum dia berangkat. untuk menghancurkanku—bagaimana aku bisa menaruh harapan pada perkataanmu? Tidak, tak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali tetap di tempatku sekarang, dengan tiga putraku yang mati dan sebagian besar kerajaanku hilang, dan bagi kalian orang Portugis yang harus bertahan di Malaka, dalam posisi yang tidak terlalu aman.”12
Harus kuakui bahwa aku merasa sangat malu dan tidak nyaman ketika mendengar jawabannya, yang disampaikan dengan perasaan yang begitu dalam, karena aku tahu betul bahwa apa yang dia katakan itu benar, dan aku tidak pernah mengatakan sepatah kata pun kepadanya tentang hal itu. kedatangan kami untuk membantunya, dan saya juga tidak berani mengulangi janji yang telah saya buat sebelumnya, demi kehormatan kami.
BAB 18
Peringatan Battak
Saya dan orang Moor kembali ke penginapan kami, di mana kami tinggal selama empat hari lagi sampai kami selesai memuat beberapa ratus bahar timah dan tiga puluh kemenyan yang masih berada di pantai. Dan karena semua hutang kami telah dibayar lunas dan tidak ada yang menahan kami di sana, saya pergi ke passeivão1 kediaman raja dan memberi tahu dia bahwa semuanya sudah siap dan saya siap berangkat jika Yang Mulia akan memberiku izin.
“Saya sangat senang kemarin,” dia memulai, setelah sambutan yang ramah, “ketika Syahbandar saya memberitahuku bahwa muatan kapten dijual dengan keuntungan besar. Namun, karena mungkin saja dia tidak terlalu peduli untuk mengatakan yang sebenarnya kepadaku, melainkan ingin mengatakan kepadaku apa yang ingin aku dengar, karena dia sangat menyadari ketertarikan pribadiku terhadap masalah ini selama ini, aku mohon. tolong beritahu aku apakah itu benar, dan jika orang Moor yang membawa barang dagangan itu pergi dengan perasaan bahagia, karena aku tidak ingin mereka mengutuk para saudagar Panaju di Malaka, dengan mengorbankan kehormatanku, atau mengatakan bahwa mereka tidak dapat dipercaya, atau bahwa tidak ada raja di sana yang memaksa mereka membayar utangnya, karena aku bersumpah kepadamu, demi keyakinanku sebagai seorang Hindu yang baik, bahwa itu akan menjadi penghinaan yang besar bagi saya, dalam posisi saya, seperti menandatangani perjanjian damai sekarang dengan musuh Achinese, tanpa membalas dendam pada tiran pembohong itu.”
Aku menjawab bahwa segala sesuatunya telah diurus sesuai dengan kepuasan kami, bahwa semua barang dagangan telah dibayar, dan tidak seorang pun berhutang apa pun kepada kami.
“Saya senang mendengarnya,” katanya. “Dan selama tidak ada lagi yang bisa kalian lakukan di sini, sebaiknya kalian segera berangkat, tanpa penundaan lebih lanjut, karena selain musim hujan sudah hampir usai, ada juga bahaya jika Anda terjerumus ke dalam kelesuan teluk, yang sering kali memaksa kapal-kapal memasuki pelabuhan Pasay. Semoga hal ini tidak terjadi pada Anda, karena saya yakinkan Anda, jika Anda kurang beruntung dan tertangkap di sana, orang Achino akan memakan Anda hidup-hidup, terutama sang raja, yang akan lebih menikmati setiap suapan dibandingkan orang lain; karena dari semua gelar yang dibanggakannya, yang paling dibanggakannya adalah ‘Peminum darah najis orang-orang kafir asing terkutuk2 yang datang dari ujung dunia untuk merebut kerajaan orang lain di tanah India dan pulau-pulau di lautan, dengan kekerasan dan tirani.' Umatnya sangat terkesan dengan gelar itu karena gelar tersebut dianugerahkan kepadanya tahun ini oleh Rumah Mekah sebagai rasa terima kasih atas hadiah lampu emas yang ia kirimkan sebagai persembahan kepada Al -Quran3 Muhammadnya, seperti kebiasaannya setiap tahun. Dan pastikan dan sampaikan kepada kapten Malaka atas nama saya, meskipun saya sudah menulis surat kepadanya, bahwa dia harus selalu waspada terhadap musuh orang Cina, yang tidak memikirkan apa pun, siang dan malam, tapi bagaimana cara mengusirmu dari India dan menggantikan kekuasaanmu dengan kekuasaan Turki yang berasal dari siapa, yang menurut mereka, ia mengharapkan bantuan besar untuk tujuan tersebut. Namun saya percaya bahwa Tuhan dalam hikmat-Nya akan memastikan bahwa semua rencana licik dan jahatnya berubah menjadi kebalikan dari apa yang dia harapkan.”
Dan sambil berkata demikian, dia memberiku sepucuk surat sebagai balasan ke kedutaan resmiku serta hadiah yang terdiri dari enam assegais poros emas,4 dua belas kati5 calamac, dan kotak cangkang kura-kura berhias emas yang diisi sampai penuh dengan mutiara biji barok dan enam belas mutiara ekstra besar. Dia juga berbaik hati memberi saya hadiah berupa dua kati emas dan sebuah belati kecil, yang dihias dengan emas juga.
Setelah berpamitan dengannya, dipenuhi dengan penghargaan yang selalu dia tunjukkan kepadaku—seolah-olah untuk membuktikan bahwa perjanjian persahabatan yang baru saja dia tandatangani dengan kami cukup tegas di pihaknya—aku naik ke kapal, didampingi oleh kakak iparnya, Aquareng Dabolay yang sama yang dikirimnya sebagai duta besarnya ke Malaka.
Kami berangkat dari pelabuhan Panaju , dan sekitar dua jam setelah gelap kami mencapai sebuah pulau kecil bernama Apefingau,6 terletak kira-kira satu setengah liga dari bar, yang dihuni oleh orang-orang yang sangat miskin yang hidup dengan mencari ikan di tempat berteduh, di antaranya, karena kelangkaan garam di wilayah tersebut, mereka hanya memelihara telur betina, yang diawetkan dengan metode yang sama yang digunakan masyarakat sungai Aaru dan Siak7 di pesisir timur Sumatera.
Catatan
Bab 13
1 . Dom Estêvão da Gama: (? –1575) Putra kedua Vasco da Gama. Ia menjabat sebagai kapten Malaka (1534–39) dan sebagai gubernur India (1540–42). Sebagai kapten Malaka, ia dua kali mengalahkan sultan Ujantanah dan mengusir pasukan Aceh yang menyerang (lihat no. 14 di bawah), dengan demikian membalas kematian saudaranya, Paulo da Gama, yang ia gantikan menjadi kapten Malaka. Peristiwa paling menonjol dalam masa jabatannya sebagai gubernur India adalah ekspedisi ke Laut Merah, di mana ia berangkat pada tahun 1541 dengan tujuan menghancurkan armada yang sedang dipersiapkan pasha Mesir di Suez. Namun, perlawanan musuh mencegahnya mencapai tujuannya, dan dia kembali ke Massawa, dari mana dia mengirimkan ekspedisi ke Abyssinia, di bawah komando saudaranya, Christóvão da Gama (lihat bab 12, n. 14 di atas). Dia kembali ke Portugal, di mana dia ditawari masa jabatan sebagai raja muda India, namun dia menolak. Dia meninggal, sebagai bujangan, pada bulan September 1575.
2 . masa jabatan: Lihat surat Pero de Faria kepada Raja John III, yang ditulis dari Malaka pada tanggal 25 November 1539, di mana ia mengeluh bahwa ia tidak dapat mencapai apa pun karena Estêvão da Gama masih menjabat. Surat ini menarik karena alasan lain. Pertama, karena bertentangan dengan apa yang ditulis Pinto pada pasal 12 tentang susunan armada dan tanggal kedatangannya di Malaka, serta fakta-fakta lain yang saling bertentangan. Kedua, karena memuat serangkaian pernyataan kurang ajar yang berani ia sampaikan kepada raja karena tidak mengangkatnya menjadi gubernur India. Yang lebih menarik lagi adalah catatan kaki yang ditambahkan pada surat ini oleh Brito Rebello (yang menerbitkannya dalam Peregrinação 4:139–51 edisinya ), yang di dalamnya ia mengutip surat lain yang ditulis kepada raja oleh Gubernur Nuno da Cunha pada tanggal 10 Desember 1537 , mengeluh tentang penunjukan orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tinggi, dan khususnya Pero de Faria! Dia mengingatkan raja bahwa dia sebelumnya telah merekomendasikan agar dia memensiunkan Pero de Faria, dengan uang pensiun, yang layak dia dapatkan karena pengabdiannya selama bertahun-tahun di India, dan menambahkan bahwa akan lebih menguntungkan raja jika dia berada di Portugal. dibandingkan di India (148–49). Kedua surat tersebut memberi kita gambaran tentang karakter Pero de Faria dan bagaimana orang lain memandangnya.
3 . Battak : Apa yang diketahui tentang Battak saat ini tidak sesuai dengan deskripsi yang diberikan Pinto pada bab-bab berikutnya. Meskipun ada referensi tentang Battak pada penulis awal (Marco Polo, Friar Odoric , Nicolo di Conti, Duarte Barbosa, Antonio Galvão , dan João de Barros), hanya sedikit yang diketahui tentang mereka, sebelum abad kedelapan belas. Menurut William Marsden (History of Sumatra, London, 1783), negara Battak terletak di bagian barat laut Pulau Sumatera, dibatasi di utara oleh Achin dan di selatan oleh Passumman dan Aru, atau Rou. Menulis dua ratus tahun setelah Pinto, ia mengatakan bahwa “negara ini sangat padat penduduknya tetapi sebagian besar penduduknya tinggal jauh dari laut, di bagian tengah daratan, di dataran luas di antara dua punggung bukit, di tepi sungai. perbatasan danau besar. . . kota-kota mereka terletak, serta di sungai-sungai yang mengalir ke Selat Malaka, serta sungai-sungai yang mengalir ke arah pantai Barat” (292). Marsden menegaskan bahwa Battak adalah masyarakat primitif yang melakukan suatu bentuk ritual kanibalisme. Ia juga menambahkan bahwa ia ragu bahwa seluruh negara akan pernah bersatu di bawah yurisdiksi satu raja. Penulis awal lainnya mengacu pada kanibalisme Battak , di antaranya João de Barros, yang menggambarkan mereka sebagai “ orang paling liar dan paling suka berperang di dunia” (dalam Barros dan Couto, 3 Desember , bk. 5, bab 1, 509 ). Untuk membela Pinto, Maurice Collis (Grand Peregrination, 48) mengatakan bahwa pernyataan Marsden hampir tidak cukup untuk membuktikan kasus terhadap Pinto, dan mungkin, pada abad keenam belas, kerajaan Battak meluas hingga ke pesisir, dan meskipun sebagian besar Meskipun Battak sangat primitif, belum tentu raja dan istananya berada pada level yang sama. Argumen Collis didukung oleh fakta bahwa Battak memiliki alfabet, dokumen tertulis, dan beberapa bentuk literatur. Lihat juga Yule, Marco Polo 2:288 n. 3.
4 . Pulau Emas: Bertahun-tahun sebelum Portugis tiba di India, Sumatera terkenal dengan produksi emasnya. Ketika mereka tiba di India pada awal abad keenam belas, Portugis mendengar pembicaraan tentang sebuah pulau emas, di lepas pantai Sumatera, yang sulit dijangkau karena banyaknya terumbu karang dan dangkalan. Pada tahun 1520, konon Diogo Pacheco, orang Portugis pertama yang mengelilingi pulau Sumatera, telah menemukan Pulau Emas, namun tewas dalam usahanya. Belakangan dikatakan bahwa kapal Perancis yang karam di lepas pantai Sumatera pada tahun 1528 juga telah menemukan Pulau Emas, namun tidak ada yang selamat. Pada tahun 1542, ekspedisi lain dikirim, namun Pulau Emas yang sulit dipahami (atau ilusif) tidak pernah ditemukan. Marsden menulis bahwa “jika pulau-pulau [emas] ini, yang begitu terkenal pada masa ini, ada di mana saja kecuali di wilayah khayalan, kemungkinan besar pulau-pulau tersebut disebut Ticos, yang mungkin merupakan tempat di mana banyak emas dapat didatangkan dari negara tetangga . Menangangkabow ” ( 328 ).
5 . Gaharu: Kayu gaharu, kayu garrow dan garroo , kayu aglawood , kayu ugger , dll. Nama kayu aromatik dari Kamboja dan wilayah lain di Asia Tenggara. Ini adalah “kayu berbau” yang dimaksud oleh Camões . Kualitas terbaik dari kayu ini, yang dulu banyak dihargai di Eropa sebagai dupa, adalah hasil penyakit pada pohon NO Leguminosae, Aloexylon agallochum, loureiro , yang tumbuh di Kamboja dan Cochinchina selatan (Yule dan Burnell, 335). Lihat Garcia da Orta untuk penjelasan rinci tentang jenis, asal kata, dan asal muasal kayu gaharu ( Colóquios dos simples e drogas da India [Lisbon: Imprensa Nacional, 1891–95, 2:60–65 n. 1.])
6 . Calambac : Ini adalah nama Melayu, kalambaq , yang diadopsi oleh Portugis, untuk kualitas kayu gaharu terbaik. Beberapa penulis membedakan antara kayu gaharu dan calamac serta menunjukkan perbedaan di antara keduanya.
7 . kuintal: Kelas seratus Portugis, yang banyak digunakan di Timur. Umumnya diperkirakan sekitar 130 pon avoirdupois.
8 . Benzoin: Resin aromatik, diambil dari pohon genus Stirax , yang berasal dari Sumatera, Siam, Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Garcia da Orta , orang Eropa pertama yang menulis dengan tepat tentang asal usul obat ini (sehari-hari 9), membedakan tiga jenis benzoin, yaitu almond, yang dianggap sangat baik, varietas hitam, yang berasal dari kualitasnya lebih rendah, dan bunga aster (atau beijoim de boninas , jenis yang dimaksud Pinto), yang nilainya sepuluh kali lipat. Benzoin masih digunakan sampai sekarang dalam pembuatan obat ekspektoran dan antiseptik. Disebut juga gum benzoin, benjamin , gum benjamin , dan asa dulcis.
9 . daun lontar: Contoh bentuk tulisan kuno ini masih disimpan hingga saat ini di banyak museum. Pada musim panas tahun 1982 saya melihat eksposisi buku-buku India di British Library. Di antara buku-buku yang dipamerkan banyak yang dibuat dari daun lontar, huruf-hurufnya digores dengan stylus logam. Di India selatan, metode tradisional pembuatan buku dari daun lontar ini dipertahankan hingga abad kesembilan belas. Lihat Yeremia P. Losty , Seni Buku di India (London: British Library, 1982).
10 . Angesiry Timorraja : Ini mungkin ditulis sebagai Angé Siri Timor Raja. Nama raja Battak ini tidak muncul dalam kronik mana pun. Namun, Tomé Pires, dalam bukunya Suma Oriental (yang ditulis antara tahun 1512 dan 1515) menyatakan, sehubungan dengan kerajaan Battak , bahwa “raja negeri ini bernama Raja Tomjam ,” yang cukup dekat dengan Timor Raja Pinto, atau raja Timor. Lihat Armando Cortesão , ed., The “Suma Oriental” dari Tomé Pires (London: Hakluyt Society, 1944), 145.
11 . izin berperilaku aman: Portugis, dalam upaya mereka untuk mendapatkan monopoli perdagangan di Samudera Hindia, akan mengeluarkan izin tersebut, atau cartaze sebagaimana mereka menyebutnya, kepada kapal-kapal negara sahabat, yang melindungi mereka dari gangguan kapal-kapal Portugis.
12 . lanchara : Dari bahasa Melayu lancharan , kapal yang meluncur dilengkapi dengan tiang tunggal, layar, dan dayung.
13 . jurupango : Dari bahasa Melayu jurubung , kapal yang meluncur seukuran karavel kecil.
14 . Achinese: Orang-orang dari kerajaan kuno Achin (juga ditulis Acheen , Atchin , dan Atjeh ), terletak di titik paling barat laut pulau Sumatra. Selama abad ke-16 dan ke-17, negara ini berkembang menjadi negara Melayu paling kuat di nusantara, sering kali mengirimkan armadanya melawan Portugis di Malaka. Pada tahun 1524 mereka mengusir Portugis dari Sumatra dan pada abad berikutnya membantu Belanda mengusir mereka dari Malaka. Setelah kekalahan Portugis di Malaka (1641), kekuasaan Achin menurun.
15 . mamoco : Dari bahasa Persia mah , yang berarti “bulan.” Sebuah istilah yang digunakan oleh umat Islam untuk menggambarkan arah bulan. Pinto menggunakannya dalam arti “hari di bulan lunar”.
16 . bahar: Juga ditulis bar atau baar , yang berarti “muatan” dalam bahasa Arab, meskipun kata tersebut berasal dari India dan diadopsi serta disebarkan oleh orang-orang Arab ke seluruh Timur Jauh. Ini adalah satuan berat, yang digunakan dalam transaksi perdagangan besar, yang bervariasi dari 141 hingga 330 kilogram, tergantung pada lokasi dan komoditasnya.
17 . Pasay: Juga ditulis Paser , Pasei , dan, oleh orang Portugis, Pacém , Pacé, atau Pacẽ. Sebuah kerajaan kuno di dekat titik barat laut pulau Sumatra. Pada saat Portugis tiba di India, Pasay dianggap sebagai salah satu pelabuhan terpenting di nusantara. Pada tahun 1516 Portugis membangun sebuah benteng di sana, dan mereka diusir oleh orang Achino pada tahun 1524. Segera setelah itu, Pasay kehilangan arti pentingnya dan tidak lagi menjadi pelabuhan utama di kemudian hari. Saat ini, nama kerajaan kuno ini bertahan di Sungai Pasay, di garis lintang 5°9′ utara.
18 . ourobalões : Dari bahasa Melayu hulubalang , hulu berarti “kepala,” dan balang , “rudal.” Biasanya ditulis oleh orang Portugis sebagai orabalão atau urubalão (dalam bentuk jamak, orabalões , urubalões ). Kata itu digunakan untuk pemimpin militer, pejuang terpilih, atau juara. Dalgado menunjukkan bahwa ejaan yang digunakan oleh Pinto mungkin merupakan singgungan pada gelang emas yang dikenakan oleh para pejuang ini, ouro berarti “emas.”
19 . Quiay Hocombinor : Menurut Dalgado, kata quiay , quiai , atau quiar , berasal dari bahasa Melayu-Jawa kiai yang berarti “yang terhormat”. Ini adalah gelar kehormatan yang digunakan di Indochina dan Tiongkok. Itu juga ditempatkan sebelum nama dewa, seperti yang dilakukan Pinto dalam hal ini dan banyak lainnya. Judul tersebut biasa digunakan oleh para penulis Portugis. Menurut Marsden, Hocombinor adalah nama Melayu, agak korup (304).
20 . garam: Marsden menulis bahwa merupakan kebiasaan di kalangan Battak , ketika dituduh melakukan kejahatan, memprotes ketidakbersalahannya dengan bersumpah untuk tidak makan garam, antara lain (310).
Bab 14
1 . balões ( balão , sing.): Sebuah kano ruang istirahat besar yang digunakan di India dan Malaysia. Yule dan Burnell memberikan berbagai ejaan Anglo-India untuk kata tersebut; yaitu, “ balong ”, “ balaum ”, “ baloon ”, “balon”.
2 . Upi : Juga, Upeh , Upe ́. Sebuah pulau kecil sekitar dua setengah mil sebelah barat muara Sungai Malaka, yang disebut juga Tranqueira . Itu adalah yang paling penting dari tiga pinggiran kota Malaka. Kenyataannya, wilayah ini mencakup sebagian besar kota Malaka, yang berbatasan dengan Sungai Malaka, laut, dan tranqueira , sebuah kata dalam bahasa Portugis yang berarti “palisade” atau “benteng”. Lihat R. Cardon, “Portuguese Malacca,” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 12, no. 2 (1934): 7.
3 . bendara : Tomé Pires (1512?), yang memberikan gambaran Eropa pertama tentang pejabat tinggi Malaka, menulis bahwa “bendara adalah semacam hakim agung dalam semua urusan perdata dan pidana. Dia juga bertanggung jawab atas pendapatan Raja. Dia dapat memerintahkan siapa pun untuk dihukum mati, apa pun pangkat dan kondisinya. . . tapi pertama-tama dia memberi tahu Raja.” Portugis tetap mempertahankan jabatan bendara ketika mereka mengambil alih Malaka, namun dengan beberapa pembatasan. Lihat Cortesão , Suma Oriental, 264.
4 . jari di mulutnya: Maurice Collis menggambarkan gerakan ini sebagai tingkah laku Oriental yang sangat kuno, yang menunjukkan kebodohan. Dia menambahkan sebuah catatan menarik yang menyatakan bahwa “di antara patung-patung yang diukir pada alas mangkuk sedekah, sebuah karya Kushan abad kedua M, yang dipamerkan pada Pameran Seni India tahun 1947 di Burlington House, adalah seorang pria dengan jari di mulutnya saat dia menatap kelahiran Sang Buddha yang ajaib” (Peregrinasi Agung, 42).
5 . Surotilau : Tidak teridentifikasi. Namun, orang Belanda, P. Roo de la Faille, tampaknya melihat dalam toponim ini adanya korupsi Portugis dari bahasa Melayu Soera - ti -la-woe, sebuah frasa yang menggambarkan garis pantai Aaru . Lihat “Mendez Pinto op Sumatra,” di Historische rasa ingin tahu uit Maladewa id Java (Amsterdam: Perpustakaan Museum Tropis, 1954), 7–12.
6 . Aaru : Lagoa ( Glossário toronimico da antiga historiografia ultramarina [Lisbon: Junta de Investigações Coloniais , 1950–54]) menempatkan kerajaan kuno ini di pantai timur Sumatera pada garis lintang 4°10′ utara dan garis bujur 98°08′ timur, namun kerajaan atau negara bagian Aaru telah lama menghilang dari peta kita. Nama yang muncul di peta kuno sebagai Daru atau De Aru, masih bertahan hingga saat ini di Teluk Aru atau Aroe , di pantai timur laut Sumatra. Pada tahun 1524, raja Aaru mengirimkan armada untuk membantu benteng Pasay, namun pada saat ia tiba, Portugis sudah meninggalkannya. (Lihat bab 13, n. 16 di atas; dan Barros, dalam Barros dan Couto, 3 Desember , bk. 8, bab 4, 280.) Correia mengklaim (vol. 2, bab 17, 796) bahwa raja Aaru dikalahkan oleh orang Achinese pada tahun 1524 dan mengungsi ke Malaka, dimana dia meninggal dalam kemiskinan, tapi itu tidak benar.
7 . Hicandure ́: Tidak teridentifikasi. Namun, Roo de la Faille (7) mengidentifikasi bagian pertama dari toponim ini sebagai kata ikan, dari bahasa Wangsalan , yang berarti “ jalan laut ”, yang menunjukkan bahwa masih ada umat Hindu yang tinggal di daerah tersebut.
8 . Minhatoley : Tidak teridentifikasi. Roo de la Faille (7) mengatakan bahwa nama tersebut mungkin merupakan perubahan dari bahasa Melayu mina-ng-ka da-toe oleh- leh , yang berarti wilayah Datoe , kepala Olèholèh Soekoe , atau Achin yang sekarang. Kepala, letaknya mengitari ujung Pulau Sumatera ke arah selatan.
9 . Pedir : Kerajaan kuno di bagian barat laut pulau Sumatra yang dulunya merupakan pelabuhan dengan nama yang sama, tetapi sekarang menjadi tempat yang tidak penting. Menurut Barros, ini adalah negara bagian terbesar dan paling terkenal di wilayah tersebut sebelum Malaka dihuni (Barros dan Couto, 3 Desember , bk. 5, bab 1, 511). Ini adalah tempat pertama di pulau Sumatera yang dikunjungi Portugis pada tahun 1509, ketika Diogo Lopes de Sequeira mendirikan pilar peringatan di sana; dan dua tahun kemudian dikunjungi oleh Albuquerque dalam perjalanannya ke Malaka. Saat ini nama tersebut bertahan di Pedir Point, atau Kuala Pedir , pada garis lintang 5°30′ utara.
10 . Guatemala : Tidak teridentifikasi. Namun, Marsden melihat adanya kesamaan antara Guateagim karya Pinto dan Atay Angin , nama yang digunakan untuk pantai barat Sumatera, berbatasan dengan Menangkabow , “yang terbentang dari tiga puluh dua menit LU sampai 40 menit LU” (36; lihat juga 282, 304). Menarik untuk dicatat bahwa Roo de la Faille, yang telah mempelajari dengan cermat nama-nama tempat Pinto di Sumatra, tidak menyebut nama ini.
11 . kadal: Aligator.
12 . caquesseitão : Pinto di sini mengacu pada kelelawar besar dari genus Pteropus edwardsi , hanya ditemukan di daerah tropis Timur dan di Australia. Menurut Marsden (94), mereka mirip dengan rubah dalam warna dan ukuran, oleh karena itu dinamakan “flying foxes”, demikian sebutan populer mereka dalam bahasa Inggris. Pada siang hari mereka hidup bergantung pada dahan pohon dan memperoleh makanan hanya dari buah-buahan, dan bukan dari “monyet dan hewan lainnya”, seperti yang dikatakan Pinto. Roo de la Faille mengatakan bahwa mereka disebut kalang atau kalong dalam bahasa Melayu; dan kata caquesseitão secara harafiah berarti “nenek moyang iblis”.
13 . kobra berkerudung: Nama populer ular berbisa dari genus Naja tripudian , ditemukan di India dan negara-negara sekitarnya, luar biasa karena kekuatannya melebarkan leher dan sisi kepala saat teriritasi, sehingga menghasilkan kemiripan dengan tudung.
14 . kobra lainnya: Piton.
15 . kera: Orangutan.
Bab 15
1 . Batorrendao : Tidak teridentifikasi. Roo de la Faille (7) membaca ini sebagai Batoe Rendang dan mengatakan bahwa itu adalah semacam plesetan dari Batoe , sebuah gugusan pulau di garis khatulistiwa, di lepas pantai barat tengah Sumatera.
2 . syahbandar : Dari bahasa Persia syah (raja) dan bandar (pelabuhan). Gelar perwira di pelabuhan asal di seluruh perairan India, yang merupakan otoritas utama yang harus bertransaksi dengan pedagang asing dan nakhoda kapal. Para syahbandar mempunyai banyak tugas, karena mereka berfungsi sebagai syahbandar , petugas bea cukai, pelindung imigran, dan pengawas perdagangan. Pada saat Portugis menguasai Malaka, terdapat empat syahbandar yang ditugaskan di empat bagian kota yang berbeda, dihuni oleh orang-orang dari ras atau agama yang berbeda. Lihat Richard Winstedt , Orang Melayu edisi ke-6. (London: Routledge & Kegan Paul, 1961), 76.
3 . Kampalator : Tidak teridentifikasi. Roo de la Faille (8) mengatakan bahwa nama ini tampaknya tidak benar dan Pinto mungkin mengambilnya dari bahasa Melayu kam -pong- ke - palar .
4 . amborrajas : Dari bahasa Melayu hamba-raja, yang berarti “hamba raja.” Marsden menunjukkan bahwa mereka adalah perwira Melayu dan bukan perwira Battak (304).
5 . bailéu : Dari bahasa Melayu, artinya “ruang audiensi” atau “pengadilan hakim”. Kata tersebut diberi arti sekunder oleh para penulis Portugis, yang menggunakannya secara berbeda-beda dalam arti tribun, beranda, beranda, ruang bersandar, ruang perjamuan umum, atau platform pertempuran yang ditinggikan di kapal.
6 . tengkorak sapi: Roo de la Faille (8) melihat kepala sapi dengan tanduk berlapis emas sebagai referensi simbolis terhadap kerajaan kuno Menangkabow , yang sangat dihormati oleh seluruh negara bagian Sumatra.
7 . doa: Marsden, yang menulis pada tahun 1783, mengatakan bahwa sangat sulit menemukan jejak apa yang bisa disebut agama di kalangan orang Battak . “Mereka punya gagasan tentang Makhluk yang berkuasa, yang condong pada kebajikan, dan tentang yang lain, yang melakukan kejahatan terhadap umat manusia, tetapi mereka tidak memuja keduanya. . . . Satu-satunya upacara mereka yang terkesan religius adalah upacara yang digunakan saat pengambilan sumpah, ramalan, dan upacara pemakaman mereka” (309).
8 . Turbao : Tidak teridentifikasi. Roo de la Faille (8) melihat kemungkinan adanya hubungan antara Turbão dan Batoe-poer-wa - Boewana dalam bahasa Melayu , namun tidak menjelaskan alasannya. Terima kasih saya kepada Ibu Vera Rubinstein dari Belanda atas bantuannya dalam menerjemahkan artikel Roo de la Faille dari bahasa Belanda.
Bab 16
1 . Menangkabow . Atau Menangkabau . Sebuah kerajaan kuno di Pulau Sumatera, dulunya merupakan pusat monarki yang menguasai seluruh pulau dan kedaulatannya dibicarakan dengan sangat hormat di pelosok Timur. Pada saat bangsa Eropa tiba di Asia, Pulau Menangkabow mengalami kemunduran dan perbatasannya mengecil hingga ke tengah pulau. Namun demikian, dua ratus tahun kemudian, Marsden mampu menulis bahwa Menangkabow masih “menerima bayang-bayang penghormatan dari kerajaan paling berkuasa di antara kerajaan-kerajaan lain yang bermunculan dari reruntuhannya” (35). Menangkabow juga terkenal dengan tambang emasnya. Lihat bab 15, catatan 6 di atas.
2 . Luzon: Kepulauan terbesar di Filipina, yang dikenal oleh Portugis sebelum kedatangan Magellan pada tahun 1521. Referensi Eropa pertama mengenai kepulauan Filipina tampaknya dibuat oleh Tomé Pires (1512–15), yang menulis, “Orang-orang Luzon adalah sekitar berlayar sepuluh hari ke luar Kalimantan. Mereka hampir semuanya kafir; mereka tidak mempunyai raja, tetapi mereka diperintah oleh sekelompok tetua. Mereka adalah orang-orang yang kuat, tidak begitu terpikirkan di Malaka. Mereka punya paling banyak dua atau tiga jung. Mereka membawa barang dagangan ke Kalimantan dan dari sana mereka datang ke Malaka ” ( Cortesão , Suma Oriental, 133 n. 2).
3 . Indragiri: Atau Indiragiri , bekas kerajaan di pulau Sumatera, membentang hingga pantai timur Sumatera dimana Sungai Indragiri bermuara di Selat Berhala . Tomé Pires menyebut Indragiri sebagai kerajaan yang sangat penting karena perdagangannya dengan Malaka dan karena sungai atau pelabuhannya, yang dapat diakses oleh kapal-kapal besar yang mengarungi lautan (ibid., 282).
4 . Jambi: Atau Jambi. Bekas kerajaan di Sumatra tengah selatan, terbentang hampir melintasi pulau dari Pegunungan Barisan hingga Laut Cina Selatan. Ibukotanya, dengan nama yang sama, sebuah pelabuhan sungai di Sungai Hari sekitar enam puluh mil dari muaranya, saat ini menjadi pusat minyak dan kota perdagangan yang penting.
5 . setengah bola: Meriam kuno, menembakkan bola besi seberat enam pon, dengan diameter mulut 9,5 sentimeter dan panjang laras 1,80 hingga 2,00 meter, menurut Jenderal Pereira de Valle, 389.
6 . Lopo Vaz de Sampaio: Gubernur India Portugis (1526–29), disebut Perampas. Menyusul kematian Raja Muda Vasco da Gama pada tanggal 2 Desember 1524, setelah hanya tiga setengah bulan menjabat, surat suksesi pertama dibuka, menunjuk Henrique de Meneses sebagai gubernur India. Dia meninggal pada 2 Februari 1526, setelah tiga belas bulan menjabat. Surat suksesi kedua bernama Pero de Mascarenhas , yang absen di Malaka dan tidak dapat mencapai India hingga musim hujan berikutnya. Surat ketiga dibuka, dengan syarat orang yang disebutkan namanya akan memerintah sampai kembalinya Mascarenhas . Orang ketiga adalah Lopo Vaz de Sampaio, yang menolak menyerahkan jabatannya kepada Mascarenhas dan terus memerintah hingga tahun 1529. Sekembalinya ke Portugal ia dihukum oleh raja, melarikan diri ke Spanyol, namun kemudian diampuni. Dia meninggal pada tahun 1534.
7 . Rosado: Pada tahun 1527, tiga nao Perancis berlayar ke India dari pelabuhan Dieppe. Seseorang mencapai São Lourenço (Madagaskar), dan menurut Correia, kapal ini akhirnya kembali ke Prancis, membawa barang dagangan berkualitas rendah. Nao kedua , dikomandoi dan dikemudikan oleh seorang Portugis bernama Estêvão Dias Brigas , tiba di Diu, di mana seluruh rombongan masuk Islam dan meninggal dalam pelayanan Sultan Bahadur, raja Cambay. Nao ketiga , yang dikomandoi oleh pilot Portugis Rosado, mencapai Pulau Emas, di lepas pantai Sumatera, di mana kapal tersebut karam di terumbu karang. Orang-orang yang selamat menuju ke pantai dengan perahu yang sarat dengan emas, tetapi dibunuh oleh beberapa nelayan yang mereka temui (vol. 3, bab 2, 238–41). Barros hanya menyebutkan dua nao Prancis, satu mendarat di Diu dan yang lainnya di Madagaskar (Barros dan Couto, déc . 4, bk. 3, chap. 2, 261–62; bk. 5, chap. 6, 583). Lihat juga bab 13, catatan 4 di atas.
8 . Gujeratis : Masyarakat kerajaan kuno Gujarat, yang terbentang di sepanjang pantai barat India pada garis lintang 22°30′ utara dan garis bujur 72° timur dan termasuk, selama periode yang disinggung oleh para penulis sejarah Portugis, wilayah Kathiawar dan Kutch. Pada tahun 1297 Gujarat dianeksasi ke dalam kesultanan Delhi; pada tahun 1401 gubernurnya yang beragama Islam mendirikan kerajaan merdeka yang mencapai puncak kejayaannya di bawah Sultan Mahmud, yang pada akhir masa pemerintahannya membangun sebuah benteng untuk menghentikan ekspansi maritim Portugis dan bergabung dengan koalisi angkatan laut melawan mereka, yang dihancurkan pada tahun 1509 oleh Raja Muda Francisco de Almeida, di pertempuran Diu. Putranya, Muzaffar II, menjaga hubungan baik dengan Afonso de Albuquerque. Penggantinya, Bahadur Shah, menyerahkan wilayah Bassein, termasuk benteng Diu, kepada Gubernur Nuno da Cunha (1535). Ia meninggal di tangan Portugis pada tahun 1536. (Lihat bab 2, nn . 14–17 di atas.) Pada tahun 1572 Gujarat dianeksasi oleh kaisar Moghul Akbar, yang serangannya terhadap wilayah Portugis gagal. Pada abad kedelapan belas, wilayah ini dikuasai oleh suku Maratha, yang kemudian menyerahkannya kepada Inggris.
Bab 17
1 . amucks : Dari bahasa Melayu amoq , yang berarti “serangan hiruk pikuk, atau orang yang dirasuki amarah.” Dalgado membedakan antara dua jenis pengamuk Timur , yaitu mereka yang, tergerak oleh rasa dendam, berusaha mati-matian untuk menyakiti musuh-musuhnya sebanyak mungkin, seperti di India; dan mereka yang, karena didominasi oleh amarah, membunuh orang-orang yang tidak bersalah, seperti yang terjadi di kepulauan Malaysia. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut hanya digunakan dalam frasa “to run amuck.”
2 . Tenasserim: Sebuah divisi dari Burma paling selatan yang dulunya merupakan bagian dari kerajaan Pegu . Ini adalah garis pantai sempit antara Thailand di timur dan Laut Andaman di barat, membentang ke selatan sejauh hampir enam ratus mil, dari Teluk Martaban hingga Tanah Genting Kra , dan mencakup banyak pulau lepas pantai. Tenasserim sudah lama tunduk pada Siam dan Burma, namun tetap berada di tangan Burma ketika perang panjang antara Thailand dan Burma berakhir pada akhir abad kedelapan belas. Sebagai akibat dari Perang Inggris-Burma pertama (1824–26), wilayah ini berada di bawah kekuasaan Inggris. Saat ini wilayah ini merupakan bagian dari Republik Burma.
3 . Sornau : Nama yang sering diberikan kepada Siam pada awal abad keenam belas. Ini merupakan perubahan dari bahasa Persia Shahr-i-nao , yang berarti “kota baru,” nama Ayuthia , ibu kota yang didirikan di Menam sekitar tahun 1350, tampaknya telah dikenal oleh para pedagang di Teluk Persia. Lihat juga bab 36, catatan 10 di bawah.
4 . Pedir : Pada tahun 1524 kerajaan Pedir ditaklukkan oleh bangsa Achino yang dulunya tunduk padanya. Lihat bab 14, catatan 9 di atas.
5 . Pasay: Lihat bab 13, catatan 17 di atas dan catatan 6 di bawah.
6 . merebut bentengmu di Pasay: Pada tahun 1524 Portugis meninggalkan benteng mereka di Pasay, melarikan diri dalam kekacauan dari musuh Achinese. Menurut João de Barros, semuanya dimulai ketika pada tahun 1519 Gaspar da Costa terdampar di lepas pantai Achin dan orang-orang yang selamat ditawan oleh Raja Abraemo , raja Achin . Raja Pedir , seorang teman Portugis, meminta Abraemo untuk melepaskan para tawanan kepadanya, namun ia menolak melakukannya. Hal ini menyebabkan perang antara Achin dan Pedir , yang akhirnya dikalahkan. Hal ini diikuti dengan penangkapan dua kapal Portugis lainnya, sehingga raja Achin mendapati dirinya dilengkapi dengan artileri dan amunisi Portugis sehingga ia mampu meraih kemenangan telak atas raja Pedir , yang melarikan diri ke Benteng Portugis di Pasay, yang kemudian mengalami kelaparan, dengan pasokan makanan terputus. Komandannya, André Henriques, menyampaikan kabar kepada Rafael Perestrello di Bengal, yang mengirim Domingos de Seixas untuk membeli makanan di Tenasserim, di mana ia ditangkap oleh raja Siam, dan secara keliru dituduh melakukan pembajakan yang dilakukan oleh orang-orang Portugis lainnya di daerah tersebut. (Lihat bab 1, n. 2 di atas.) Henriques juga meminta bantuan dari raja Aaru dan, pada saat yang sama, menulis surat kepada gubernur India, meminta dibebaskan dari tugasnya, karena kesehatan yang buruk. Namun, ketika Lopo de Azevedo datang menggantikannya, dia menolak menyerahkan komando benteng kepadanya dan Azevedo berangkat ke Malaka. Setelah itu Henriques menyerahkan komando kepada saudara iparnya, Aires Coelho, dan berangkat ke India. Dalam perjalanan dia bertemu dengan dua kapal Portugis dan meyakinkan mereka untuk kembali ke Pasay bersamanya. Meskipun ada bala bantuan, Portugis memutuskan untuk meninggalkan benteng tersebut. Di laut, mereka bertemu dengan armada yang terdiri dari tiga puluh lanchara yang membawa makanan dan orang-orang yang dikirim untuk membantu mereka oleh raja Aaru , yang sedang berbaris melalui darat bersama pasukannya. Yang lebih memalukan lagi, sesampainya di Malaka, mereka menemukan dua buah kapal sedang bersiap-siap datang membantu mereka. Adapun sekutu Sumatra mereka, raja Pasay berlindung di Malaka, di mana ia meninggal dalam kemiskinan, dan raja Pedir dan Daya menjalani hidup mereka di pengasingan, di kerajaan Aaru . Lihat Barros, di Barros dan Couto, déc . 3, bk. 8, bab. 1–4, 239–81; Correia, jilid. 2, bab. 13, 766–69; bab. 17, 790–96. Castanheda (vol. 2, bk. 6, bab 16, 179–80; bab 50 dan 51, 232–34) dan Andrade (bagian 1, bab 43, 106; bab 50, 127–28; bab .51, 129–32) memberikan versi yang lebih pendek mengenai peristiwa-peristiwa ini, yang dalam beberapa hal berbeda dari yang diberikan oleh Barros dan Correia.
7 . dapur menuju Maluku: Pada tahun 1528, Simão de Sousa Galvão berangkat dari Cochin, menuju Maluku untuk menjalankan tugasnya sebagai kapten benteng. Karena terjebak dalam badai, dapurnya terhempas ke pantai Achin , di mana kapal tersebut direbut dan orang-orang yang selamat dibawa menghadap raja, yang, secara mengejutkan, memperlakukan mereka sebagai tamu terhormat . Tanpa mereka sadari saat itu, perlakuan baik yang mereka terima adalah karena raja yang cerdik itu mengetahui kehadiran duta besar raja Aaru di Malaka yang pergi ke sana untuk meminta bantuan Portugis dalam perang mereka melawan Achin . Untuk mencegah tindakan tersebut, ia mengirim beberapa tawanan Portugis ke Malaka dengan tawaran perdamaian dan persahabatan. Akibatnya, Pero de Faria, yang saat itu menjalani masa jabatan pertamanya sebagai kapten Malaka, menarik bantuan yang telah dijanjikannya kepada Aaru , dan duta besar pun berangkat dengan marah. Untuk menguji ketulusan raja Achin , Pero de Faria mengirimkan beberapa utusan Portugis ke Achin , yang diterima dengan baik, namun meninggal secara misterius dalam perjalanan pulang. Tidak ada lagi yang terdengar tentang perkiraan perjanjian damai sampai kedatangan Garcia de Sá, yang menggantikan Pero de Faria sebagai kapten Malaka pada tahun berikutnya. Lihat Barros, di Barros dan Couto, déc . 4, bk. 2, bab. 17, 227–33; bk. 6, bab. 18, 103–10; Couto, di Barros dan Couto, Desember . 4, bk. 4, bab. 7, 282–92; bk. 5, bab. 8, 378–85; Castanheda , jilid. 2, bk. 7, bab. 83, 513–15; Correia, jilid. 3, bab. 6, 267–71; dan Andrade, pt. 2, bab. 37, 389–92; bab. 46, 418–20.
8 . Kedah: Bekas kerajaan, Semenanjung Malaya selatan, di Selat Malaka. Masuk Islam pada abad kelima belas, merupakan anak sungai Malaka sebelum ditaklukkan oleh Portugis (1511), kota ini ditaklukkan oleh orang Achinese pada abad ketujuh belas, disewakan kepada perusahaan British East India pada tahun 1786, tunduk pada Siam pada tahun 1821–1909 , dipindahkan ke Inggris Raya pada tahun 1909, diambil alih oleh Jepang pada tahun 1941, dan akhirnya pada tahun 1948 menjadi bagian dari Federasi Malaya. Mengenai apa yang terjadi pada tiga nao di lepas pantai Kedah, kronik tidak menyebutkan apa-apa.
9 . kapal Malaka: Setelah mengetahui kedatangan Garcia de Sá, yang menggantikan Pero de Faria sebagai kapten Malaka pada tahun 1529, raja Achin mengirim rombongan tawanan Portugis lainnya untuk mengatur perjanjian damai, dengan syarat yang sama yang ditawarkan ke Pero de Faria tahun sebelumnya. Yakin akan ketulusan raja, Garcia de Sá mengirim galleon São Jorge seberat dua ratus ton ke Achin , yang penuh dengan barang dan senjata. Setibanya mereka di pelabuhan Achin , mereka diserang secara berbahaya, kapal galleon disita, dan orang-orang yang selamat dibawa ke raja, yang kemudian membunuh mereka bersama dengan orang Portugis lainnya yang ditawan tahun sebelumnya dan mendapat hiburan yang berlimpah. Lihat catatan 7 di atas. Lihat juga Barros, dalam Barros dan Couto, déc . 4, bk. 6, bab. 18, 103–10; Couto, di Barros dan Couto, Desember . 4, bk. 5, bab. 9, 385–91; Castanheda , jilid. 2, bk. 7, bab. 100, 545–47; Correia, jilid. 3, bab. 12, 303–5; dan Andrade, pt. 2, bab. 46, 418–20.
10 . Selangor: Bekas kerajaan, Semenanjung Malaya selatan, di Selat Malaka. Sebelum abad keenam belas, Selangor tunduk pada kekuatan yang mendominasi Semenanjung Malaya. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Malaka secara nominal diperintah oleh raja Bintang ( Riouw modern ) dan Ujantana (Johor), namun pada akhir abad ketujuh belas wilayah ini ditaklukkan oleh suku Bugis dari Sulawesi, yang pada suatu waktu mengancam akan menghancurkan Malaka. mendominasi Malaya dari Selangor. Pada tahun 1874 ia menerima perlindungan Inggris; pada tahun 1895 menjadi bagian dari Negara Federasi Melayu dan Federasi Malaya pada tahun 1948. Ibu kotanya, Kuala Lampur , juga merupakan ibu kota federasi tersebut.
11 . Lopo Chanoca : Lihat bab 4, catatan 13 di atas.
12 . posisi yang tidak terlalu aman: Kenyataannya, Portugis tidak pernah merasa aman di benteng mereka di Malaka. Selama 130 tahun keberadaannya, kecuali pada masa-masa damai yang jarang terjadi, mereka harus terus-menerus mempertahankan diri dari musuh-musuh mereka di Malaysia. Setelah penaklukan Malaka oleh Albuquerque pada tahun 1511, raja Muslim yang digulingkan, Mahmud Shah, melarikan diri ke Bintang ( Riouw ), dari sana, bersama dengan sekutu Jawanya, ia terus mengganggu Portugis, dalam perjuangan terus-menerus untuk mendapatkan kembali kepemilikannya. tahta, perjuangan yang dilanjutkan oleh putranya, raja Ujantana (Johore), hingga kekalahannya pada tahun 1534, ketika ia terpaksa berdamai dengan Estêvão da Gama, yang saat itu menjadi kapten Malaka. Namun Portugis tidak pernah bisa meredakan kebencian yang membara dari orang-orang Achi, yang sepanjang abad ke-16 terus mengirimkan armadanya melawan Malaka. Kemudian, pada abad ketujuh belas, dengan kedatangan Belanda, benteng ini harus mempertahankan diri pada tahun 1601, 1606, 1613, 1615, 1620, dan 1635, sebelum akhirnya jatuh pada tahun 1641 ke tangan kekuatan gabungan kedua musuh tersebut. Menarik untuk dicatat bahwa selama dua masa jabatan Pero de Faria sebagai kapten Malaka (1528–29 dan 1539–44), benteng ini menikmati periode yang relatif damai dan stabil. Lihat Ian A. Macgregor, “Catatan tentang Portugis di Malaya,” Jurnal Royal Asiatic Society Cabang Malayan 28, no. 2 (1955): 5–47; dan Marsden, 322–64. Sehubungan dengan kekalahan raja Ujantana pada tahun 1534, lihat Castanheda , vol. 2, bk. 8, bab. 85–88, 708–9; Barros, di Barros dan Couto, Desember . 4, bk. 9, bab. 13, 534–41; Couto, di Barros dan Couto, Desember . 4, bk. 8, bab. 12, 283–92; dan Andrade, pt. 3, bab. 6, 597–602.
Bab 18
1 . passeivao : Dari bahasa Melayu paseban , yang berarti “beranda atau teras yang mengelilingi ruang audiensi,” di Malaysia.
2 . kaffir: Kata tersebut sebenarnya berasal dari bahasa Arab kafir, (pl. kofra ), yang berarti “seorang kafir, seorang yang tidak beriman pada Islam.” Ketika orang-orang Arab menerapkan hal ini pada orang-orang kafir berkulit hitam, antara lain, orang-orang Portugis mengadopsinya dalam pengertian yang terbatas ini dan menyebarkannya ke negara-negara Eropa lainnya. Istilah ini sering digunakan secara hina oleh umat Islam terhadap umat Kristen, seperti dalam kasus ini.
3 . Al-Quran: Kata tersebut memiliki dua arti: (a) Al-Quran, atau kitab suci umat Islam; (b) menara atau menara masjid tempat muazin mengumandangkan panggilan salat. Pinto menggunakannya di sini dalam pengertian kedua.
4 . assegai: Juga dieja “ assagai ” atau “ hassegai .” Tombak pendek atau tombak digunakan untuk melempar dan menusuk. Dari bahasa Arab az-zagaya , istilah yang diadopsi oleh orang Arab dari bahasa Berber zaghaya , dan kemudian oleh Portugis untuk menyebut berbagai tombak mereka sendiri.
5 . catty : Dari kati Melayu -Jawa . Satuan berat variabel yang diperkenalkan dari Tiongkok ke kepulauan Malaya. Meskipun sangat bervariasi di berbagai wilayah Timur, padanan bahasa Inggris yang biasa diberikan adalah satu dan sepertiga pound.
6 . Apefingau : Tidak teridentifikasi. Anehnya, toponim ini muncul di bab 19 sebagai Fingau . Lihat bab 19, catatan 1 di bawah.
7 . Siak : Dulunya merupakan kerajaan kecil di pantai timur Pulau Sumatera yang pernah menjadi anak sungai Sultan Malaka. Pada tahun 1613 kota ini ditaklukkan oleh orang Achinese.
Informasi Tambahan: Versi asli berbahasa Portugis dapat dilihat di link Peregrinaçam de Fernam Mendez Pinto. : Em que da conta de muytas e muyto estranhas cousas que vio & ouuio no reyno da China, no da Tartaria, no do Sornau, que vulgarmente se chama Sião, no do Calaminhan, no de Pegù, no de Martauão, & em outros muytos reynos & senhorios das partes orientais, de que nestas nossas do Occidente ha muyto pouca ou nenha noticia. ... : E no fim della trata bruemente ... da morte do santo padre mestre Francisco Xauier ... : Pinto, Fernão Mendes, d. 1583 : Free Download, Borrow, and Streaming : Internet Archive.